Jumat, 08 November 2013

JANGAN PILIH CALON PEMIMPIN YANG MINTA DIPILIH




JANGAN PILIH CALON PEMIMPIN YANG MINTA DIPILIH
( Refleksi Terhadap Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz)
Oleh: AH.Mansur,SE,M.Pd.I
A.      Pendahuluan

Profesi sebagai seorang pemimpin saat ini sungguh sangat menggiurkan. Hampir semua orang yang aktif dalam organisasi public, organisasi bisnis, organisasi birokrasi dan organisasi politik menginginkan kue kekuasaan yang disebut “PEMIMPIN”. Dan ternyata memang, makhluk yang bernama “PEMIMPIN” itu, mampu menyedot perhatian banyak orang, dari kelas teri sampai kelas kakap.

Di ruang public yang bernama sekolah seorang siswa kepingin jadi “Ketua Kelas”, di Perguruan Tinggi seorang mahasiswa kepingin jadi “ Ketua BEM”, di lingkungan bisnis seorang pengusaha kepingin jadi “ Ketua Kadin”, di lingkungan profesi seorang dokter kepingin jadi “Ketua IDI”, dan lain-lain. Bahkan rakyat jelatapun kini sudah boleh bermimpi jadi PRESIDEN.

Hatta di kota yang bernama Jakarta, kota nan cantik, molek, seksi, kaya financial sekaligus kaya masalah, metropolis nan populis, yang menjadi tujuan investasi paling menarik di bidang perdagangan, wisata, industry dan lain-lain,  kini mejadi sorotan public lantaran sebentar lagi akan menghelat PILKADA. Penulis yakin hampir setiap orang sedang bermimpi bagaimana meretas jalan menuju kursi “Gubernur”. Persoalannya, ada yang berani maju karena didukung oleh beberapa factor, antara lain; kekekuatan politik, kekuasaan, financial, hegemoni kelompok, dukungan masyarakat tertentu, dan lain-lain. Dan ada yang tidak berani maju karena tidak punya basis politik, tidak punya fulus, tidak kuat dukungan akibat tidak punya basis politik dan fulus.

Jaman edan seperti sekarang ini; pintar, cerdas, intelek, punya dukungan massa, punya integritas, terkenal dan lain-lain, tidak menjamin seseorang bisa maju dalam kancah pertarungan politik yang kita sebut “PILKADA”. Karena filosofi Negara yang berlaku saat ini adalah filosofi; siapa yang kuat hebat. Kuat disini maksudnya; kuat dukungan politik, kuat financial, kuat ‘molitikin’ lawan, kuat berjanji manis, kuat menutupi kebohongan diri, kuat mempromosikan diri yang baik-baik dan kuat mensiasati atau menjegal popularitas lawan atau rival.

Kasus menjelang pelaksanaan Pilkada di jakarta, semua kandidat menyusun kalimat paling indah untuk menjerat perhatian public, semisal ; Berdaya Bareng - Bareng, Jakarta Jangan Berkumis, Tiga Tahun Bisa, Jakarta Maju Terus, Beresin Jakarta, dan lain-lain. Memperhatikan jargon-jargon kampanye mereka, sungguh sangat menggelitik dan menggiring masyarakat kepada sebuah pertanyaan; Lho, bagaimana membuktikannya, menjabat saja belum pernah, ello sudah menjabat, apa yang ello bangun, emang ello amanah selama ini menjabat, siap melayani rakyat tidak harus dibuktikan setelah menjabat, mestinya buktikan dulu sebelum menjabat. Pertanyaan itu pasti mengalir demikian derasnya di kalangan masyarakat, tapi pasti hanya sebatas di pikiran saja. Tidak sampai meluap ke permukaan.

Intinya dengan berbagai cara mereka berusaha untuk dipilih dan terpilih. Anehnya, cara-cara yang dilakukan seringkali tidak edukatif, tidak bermartabat dan tidak menunjukkan sebagai seorang yang professional. Cara-cara yang dilakukan seringkali menabrak etika kepemimpinan, menabrak batas – batas kemanusiaan, menabrak sendi-sendi keagamaan. Dimanapun, di Indonesia ini, seringkali calon pemimpin membangun eksistensi dirinya tidak dengan mengedepankan esensi dari sebuah kampanye. Kampanye hanya dimanfaatkan untuk membangun sebuah opini yang tidak ada kaitannya dengan visi-misi.

Coba perhatikan, bila ada seorang kandidat bernyanyi dan berjoget dalam sebuah pesta, sambil nyawer, manabur lembaran rupiah kepada biduanita, kepada pengunjung, kepada anak-anak, terus apa yang dihasilkan dari kampanye seperti ini, selain orang akan berkata; anda ini seorang calon pemimpin, tetapi kok kelakuannya urakan? Uang anda ini dari mana? Terus kalau misalnya anda nanti jadi pemimpin, kota ini akan dibawa kemana? Anda ini sepertinya dermawan, apakah anda akan tetap seperti ini jika anda tidak berkepentingan ingin jadi pemimpin? Dan banyak lagi pertanyaan yang pasti mengusik benak kita semua. Ini menurut penulis, cara-cara kampanye yang melanggar batas-batas kemanusiaan. Karena berusaha membeli perhatian public dengan uang. Bukan dengan visi-misi, bukan dengan kerja nyata.

Ada juga calon yang mencoba membeli perhatian public dengan mencitrakan dirinya sebagai sosok agamais, islamis, reformis dan segala yang is lainya. Membangun citra dirinya melalui kegiatan keagamaan, ritual keagamaan dan kegiatan sosial. Itu bagus. Tapi tidak semestinya dilakukan setelah adanya kepastian pencalonan dirinya. Supaya apa yang dilakukannya itu benar-benar berangkat dari sebuah karakter, kebiasaan dan dari akhlaq yang mulia. Tidak karena tendensi apapun.

Maaf , keritik yang dilakukan penulis ini tidak dalam rangka memojokkan siapapun, tidak untuk mendiskriditkan siapapun. Tapi ini hak partisipasi warga, agar kita semua dan siapapun untuk meluruskan niat, memperbaiki niat, untuk kota Jakarta yang kita cintai bersama. Penulis sangat cinta dan sangat mendukung para calon pemimpin masa depan. Tentunya calon pemimpin yang benar-benar ikhlas dari lubuk hati ingin mengabdi dan berpihak kepada kepentingan rakyat.



B.       Kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar Bin Abdul Aziz

Mungkin ini hanya sebuah refleksi saja, bahwa pada masa kepemimpinan Islam ada beberapa pemimpin yang sangat ideal untuk kita jadikan ‘ibroh’, untuk kita jadikan guru dan kaca perbandingan. Abu Bakar as-Shiddiq misalnya. Beliau terpilih menjadi pemimpin bukan karena ambisi. Tidak melalui siasat yang secara sadar dipersiapkan sebelumnya. Tidak neko-neko. Tetapi karena situasi menginginkan beliau jadi pemimpin, maka beliau terima dengan lapang dada, dengan semangat mengemban amanah, dengan semangat meneruskan perjuangan Rasulullah SAW. Sikap tersebut beliau tunjukkan pada pidato perdananya di hadapan kaum muslimin, berbunyi ;

“ Saya telah dinobatkan menjadi pemimpin kalian. Tapi saya bukan orang terbaik diantara kalian. Jika saya berbuat baik, maka dukunglah saya. Jika saya tersesat, maka luruskanlah saya. Bila saya melakukan perbuatan di jalan Allah, taatilah saya. Tetapi bila saya berkhinat kepada Allah, tidak ada kewajiban kalian taat kepada saya. Jika ada kekurangan dalam diri saya, maka sempurnakan kekurangan itu dengan kelebihan yang ada pada diri kalian. Jika ada kekurangan pada diri kalian, maka saya akan menutupinya dengan kelebihan yang ada pada diri saya”.

Ini adalah pidato politik pemimpin paling bermartabat dalam sejarah. Pidato yang memberikan pesan bahwa kekuasaan itu bukan untuk menguasai dan kepemimpinan itu bukan untuk menjajah hak-hak warga. Pemimpin harus sadar betul bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan rakyatnya. Ia tidak akan mampu membangun tanpa pajak rakyat. Ia tidak bisa membuat proyek super mega tanpa uang rakyat. Ia tidak bisa menjadi pemimpin tanpa dipilih rakyat. Berkat rakyatlah pemimpin itu menjadi pemimpin.

Para calon pemimpin semestinya juga belajar kepada sejarah kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz yang sangat fenominal. Seorang tokoh pemimpin yang hanya dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun lima bulan, mampu mengatasi berbagai persoalan negerinya dengan sangat baik.

Dari garis keturunan ayahnya beliau adalah putra Marwan bin Hakam. Sementara dari garis ibunya beliau putra Ummu ‘Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab. Jadi beliau adalah cucu Umar bin Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar as-Shiddiq. Beliau terkenal sebagai Umar as Tsani (Umar kedua) dan namanya selalu dinisbatkan kepada kakeknya. Beliau juga terkenal sebagai ‘Amirul Mukminin’ kelima setelah terputusnya system kepemimpinan demokrasi Islam pasca terbunuhnya Sayidina Ali RA. Sebutan itu dilekatkan kepada beliau karena dalam pemerintahannya beliau menerapkan system demokrasi islami, walaupun beliau berada dalam system pemerintahan monarki.

Beliau diangkat menjadi khalifah berdasarkan wasiat pamannya sebelum meninggal dunia, Sulaiman bin Abdul Malik, tanpa sepengetahuannya. Ketika surat wasiat itu dibacakan di hadapan seluruh kaum muslimin yang berkumpul di masjid, beliau berada di sana bersama kaum muslimin. Dan ketika ditengah pembacaan surat wasiat itu nama beliau disebut untuk melanjutkan kepemimpinan Bani Umayah, beliau sepontan tersungkur dan menangis. Dengan isyarat dan kata-kata, beliau berusaha untuk menolak penunjukan itu. Tapi surat wasiat sudah dibacakan dan umat muslim sangat mendukung. Maka tiada jalan lain kecuali menerima amanah itu, suka atau tidak suka.

Sampai pulang ke rumahnya beliau masih terus menangis. Terbayang beban dan tugas berat menantang di hadapannya. Bukan karena takut dengan tugas, tapi takut tidak dapat melaksanakan amanah itu dengan baik. Takut kekuasaan itu membuatnya melupakan Allah. Takut kekuasaannya itu membuatnya terpedaya bujuk rayu syetan. Takut kekuasaannya tidak menyentuh ke seluruh masyarakat yang dipimpinnya dan menyebabkan murka Allah.

Pada masa kepemimpinannya yang singkat, Umar bin Abdul Aziz menghadapi karut-marutnya system pemerintahan, kebiasaan hidup berfoya-foya, banyak pejabat merampas tanah rakyat, merajalelanya perjudian dan pesta pora minuman keras. Kondisi itu berlangsung secara turun temurun akibat besarnya kekuasaan Bani Umayyah dan kekayaan yang melimpah ruah. Budaya hidup materialisme dan hodonisme sedemikian kental menyatu dalam prilaku kehidupan masyarakat.

Menghadapi kondisi tersebut Umar bin Abdul Aziz melakukan perubahan monumental mulai dari rumah tangganya. Langkah pertama beliau meninggalkan cara hidup bermewah mewahan dan menjadi seorang yang zahid dan abid. Menyerahkan semua harta kekayaannya, termasuk berlian yang dipakai istrinya ke Baitul Maal, serta mengharamkan dirinya mengambil sesuatupun dari Baitul Maal.

Reformasi pemerintahan dilakukannya dengan mengganti pejabat yang tidak amanah, pejabat yang korup, pejabat yang bermewah mewahan, pejabat yang tidak mau mengerti kehendak rakyatnya, serta mengembalikan hak-hak rakyat yang dirampas pejabat dan mengembalikannya ke Baitul Maal.

Pada masanya tanah dan ladang tidak produktif dihidupkan, sumur-sumur digali dan masjid-masjid dibangun. Zakat, infaq dan shadaqah didistribusikan dengan cara yang benar, sehingga kemiskinan sulit dijumpai. Dan bahkan pada masa pemerintahannya banyak orang kaya yang kesulitan menyalurkan zakat, infaq dan shadaqahnya karena tidak ada lagi orang miskin.



C.      Larangan Berambisi Menjadi Pemimpin

Meskipun menjadi pemimpin kelihatan jumawa, kelihatan berkuasa dan kelihatan bergengsi, ternyata pekerjaan memimpin mengandung banyak kemudlaratan. Kekuasaan dapat menggelincirkan orang kepada sifat sombong dan ujub. Kekuasaan dapat menyeret orang kepada sifat korup. Dan kekuasaan dapat menjerat manusia kepada perbuatan-perbuatan nista; seperti main perempuan, pesta narkoba, minuman keras dan lain-lain. Oleh karenanya Rasulullah dalam beberapa kesempatan melarang sahabat-sahabatnya berambisi menjadi pemimpin, sebagaimana sabdanya ;

“Dari Abdurahman bin Samurah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Wahai Abdurahman bin Samurah, janganlah kamu minta kepemimpinan! Jika kamu diberi atas permintaanmu, niscaya akan dipasrahkan kepadamu. Namun jika kamu diberi tanpa meminta maka kamu akan diitolongnya”.

Sabda Rasulullah yang lain ;

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya kalian berambisi terhadap kepemimpinan dan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Sungguh nikmat kehidupan orang yang menyusui dan sungguh sengsara kehidupan orang yang disapih”.

Hadist Nabi riwayat lain ;

Dari Abu Musa Radhiyallahu Anhu, ia berkata, ‘Aku datang menghadap Rasulullah SAW bersama dua orang lelaki dari kaumku”, maka salah satu dari kedua orang tersebut berkata, “Berilah kami kepemimpinan wahai Rasulullah.” Orang yang lainpun mengatakan demikian. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak memberikan kepada yang meminta dan juga tidak memberikan kepada yang berambisi.”



Dari beberapa hadis yang diriwayatkan oleh tiga sahabat Nabi diatas, sangat jelas sekali bahwa kepemimpinan itu tidak baik diberikan kepada orang yang berambisi dan meminta.

Secara filosofis religious, sesuatu yang diperoleh dengan ambisi, dapat dipastikan pengendalinya adalah syetan. Syetan pasti menjerumuskan. Ambisi melahirkan sikap tidak mau kalah. Tidak mau kalah melahirkan siasat dan tipu muslihat untuk meraih kemenangan. Mengahalalkan berbagai cara untuk mendapatkan yang diinginkannya.

Teori ini secara filosofis akan mendorong orang kepada kesombongan. Karena ia menganggap bahwa kemenangannya dan kesuksesannya itu dari usahanya sendiri, tanpa intervensi Tuhan. Akan melahirkan orang yang serakah (korup) karena ia memperoleh semuanya dengan modal, maka modal harus dikembalikan. Akan melahirkan orang yang munafik, karena di depan manusia ia harus berpura-pura adil, bersih, tidak korup, tapi dibelakang ia memimpin sidang para pejabat korup. Di depan masyarakat ia mengatakan pendidikan agama itu penting, tapi diatas mejanya ia mencoret anggaran-anggaran untuk pendidikan agama, pembangunan masjid, pembangunan madrasah dll. Akan membuat hatinya terpenjara, karena satu sisi ia ingin berpihak kepada kepentingan rakyat, tapi pada sisi yang lain ia harus menunaikan janjinya memuluskan proyek-proyek pengusaha pendukungnya. Akan mendorongnya menjadi pelupa. Lupa akan janjinya, lupa keluarganya, dan bahkan lupa Tuhannya.

Kondisi inilah yang mungkin dikhawatirkan Rasulullah dengan sabdanya ;

Dari Ma’qil bin Yassar Radhiyallau Anhu, ia berkata; “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba pun yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat kemudian meninggal di hari kematiannya dalam kondisi menipu rakyatnya, niscaya Allah haramkan baginya masuk sorga.”

D.      Penutup

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang diperoleh dengan meminta atau dengan ambisi akan melahirkan pemimpin yang tidak baik. Maka ada baiknya masyarakat dalam memilih pemimpin mulai bersikap rasional, tidak pragmatis. Masyarakat harus mulai memilih dengan hati nurani. Dan bahkan lebih radikal lagi, masyarakat harus mulai memperhatikan; siapa calon pemimpin yang tidak berambisi, yang tidak meminta, dan bahkan calon pemimpin yang berani berkata; “ Jangan Pilih Saya”.



Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau dan kandidat Doktor Pendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar