JANGAN
PILIH CALON PEMIMPIN YANG MINTA DIPILIH
( Refleksi
Terhadap Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz)
Oleh:
AH.Mansur,SE,M.Pd.I
A.
Pendahuluan
Profesi sebagai seorang pemimpin
saat ini sungguh sangat menggiurkan. Hampir semua orang yang aktif dalam
organisasi public, organisasi bisnis, organisasi birokrasi dan organisasi
politik menginginkan kue kekuasaan yang disebut “PEMIMPIN”. Dan ternyata memang,
makhluk yang bernama “PEMIMPIN” itu, mampu menyedot perhatian banyak orang,
dari kelas teri sampai kelas kakap.
Di ruang public yang bernama sekolah
seorang siswa kepingin jadi “Ketua Kelas”, di Perguruan Tinggi seorang
mahasiswa kepingin jadi “ Ketua BEM”, di lingkungan bisnis seorang pengusaha
kepingin jadi “ Ketua Kadin”, di lingkungan profesi seorang dokter kepingin
jadi “Ketua IDI”, dan lain-lain. Bahkan rakyat jelatapun kini sudah boleh
bermimpi jadi PRESIDEN.
Hatta di kota yang bernama Jakarta,
kota nan cantik, molek, seksi, kaya financial sekaligus kaya masalah,
metropolis nan populis, yang menjadi tujuan investasi paling menarik di bidang
perdagangan, wisata, industry dan lain-lain, kini mejadi sorotan public lantaran sebentar
lagi akan menghelat PILKADA. Penulis yakin hampir setiap orang sedang bermimpi
bagaimana meretas jalan menuju kursi “Gubernur”. Persoalannya, ada yang berani
maju karena didukung oleh beberapa factor, antara lain; kekekuatan politik,
kekuasaan, financial, hegemoni kelompok, dukungan masyarakat tertentu, dan
lain-lain. Dan ada yang tidak berani maju karena tidak punya basis politik,
tidak punya fulus, tidak kuat dukungan akibat tidak punya basis politik dan
fulus.
Jaman edan seperti sekarang ini;
pintar, cerdas, intelek, punya dukungan massa, punya integritas, terkenal dan
lain-lain, tidak menjamin seseorang bisa maju dalam kancah pertarungan politik
yang kita sebut “PILKADA”. Karena filosofi Negara yang berlaku saat ini adalah
filosofi; siapa yang kuat hebat. Kuat disini maksudnya; kuat dukungan politik,
kuat financial, kuat ‘molitikin’ lawan, kuat berjanji manis, kuat menutupi
kebohongan diri, kuat mempromosikan diri yang baik-baik dan kuat mensiasati
atau menjegal popularitas lawan atau rival.
Kasus menjelang pelaksanaan Pilkada
di jakarta, semua kandidat menyusun kalimat paling indah untuk menjerat
perhatian public, semisal ; Berdaya Bareng - Bareng, Jakarta Jangan Berkumis, Tiga
Tahun Bisa, Jakarta Maju Terus, Beresin Jakarta, dan lain-lain. Memperhatikan
jargon-jargon kampanye mereka, sungguh sangat menggelitik dan menggiring
masyarakat kepada sebuah pertanyaan; Lho, bagaimana membuktikannya, menjabat
saja belum pernah, ello sudah menjabat, apa yang ello bangun, emang ello amanah
selama ini menjabat, siap melayani rakyat tidak harus dibuktikan setelah
menjabat, mestinya buktikan dulu sebelum menjabat. Pertanyaan itu pasti
mengalir demikian derasnya di kalangan masyarakat, tapi pasti hanya sebatas di
pikiran saja. Tidak sampai meluap ke permukaan.
Intinya dengan berbagai cara mereka
berusaha untuk dipilih dan terpilih. Anehnya, cara-cara yang dilakukan
seringkali tidak edukatif, tidak bermartabat dan tidak menunjukkan sebagai
seorang yang professional. Cara-cara yang dilakukan seringkali menabrak etika
kepemimpinan, menabrak batas – batas kemanusiaan, menabrak sendi-sendi
keagamaan. Dimanapun, di Indonesia ini, seringkali calon pemimpin membangun
eksistensi dirinya tidak dengan mengedepankan esensi dari sebuah kampanye.
Kampanye hanya dimanfaatkan untuk membangun sebuah opini yang tidak ada
kaitannya dengan visi-misi.
Coba perhatikan, bila ada seorang
kandidat bernyanyi dan berjoget dalam sebuah pesta, sambil nyawer, manabur
lembaran rupiah kepada biduanita, kepada pengunjung, kepada anak-anak, terus
apa yang dihasilkan dari kampanye seperti ini, selain orang akan berkata; anda
ini seorang calon pemimpin, tetapi kok kelakuannya urakan? Uang anda ini dari
mana? Terus kalau misalnya anda nanti jadi pemimpin, kota ini akan dibawa
kemana? Anda ini sepertinya dermawan, apakah anda akan tetap seperti ini jika
anda tidak berkepentingan ingin jadi pemimpin? Dan banyak lagi pertanyaan yang
pasti mengusik benak kita semua. Ini menurut penulis, cara-cara kampanye yang
melanggar batas-batas kemanusiaan. Karena berusaha membeli perhatian public
dengan uang. Bukan dengan visi-misi, bukan dengan kerja nyata.
Ada juga calon yang mencoba membeli
perhatian public dengan mencitrakan dirinya sebagai sosok agamais, islamis,
reformis dan segala yang is lainya. Membangun citra dirinya melalui kegiatan
keagamaan, ritual keagamaan dan kegiatan sosial. Itu bagus. Tapi tidak
semestinya dilakukan setelah adanya kepastian pencalonan dirinya. Supaya apa
yang dilakukannya itu benar-benar berangkat dari sebuah karakter, kebiasaan dan
dari akhlaq yang mulia. Tidak karena tendensi apapun.
Maaf , keritik yang dilakukan
penulis ini tidak dalam rangka memojokkan siapapun, tidak untuk mendiskriditkan
siapapun. Tapi ini hak partisipasi warga, agar kita semua dan siapapun untuk
meluruskan niat, memperbaiki niat, untuk kota Jakarta yang kita cintai bersama.
Penulis sangat cinta dan sangat mendukung para calon pemimpin masa depan.
Tentunya calon pemimpin yang benar-benar ikhlas dari lubuk hati ingin mengabdi
dan berpihak kepada kepentingan rakyat.
B.
Kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar Bin Abdul Aziz
Mungkin
ini hanya sebuah refleksi saja, bahwa pada masa kepemimpinan Islam ada beberapa
pemimpin yang sangat ideal untuk kita jadikan ‘ibroh’, untuk kita jadikan guru
dan kaca perbandingan. Abu Bakar as-Shiddiq misalnya. Beliau terpilih menjadi
pemimpin bukan karena ambisi. Tidak melalui siasat yang secara sadar
dipersiapkan sebelumnya. Tidak neko-neko. Tetapi karena situasi menginginkan
beliau jadi pemimpin, maka beliau terima dengan lapang dada, dengan semangat
mengemban amanah, dengan semangat meneruskan perjuangan Rasulullah SAW. Sikap
tersebut beliau tunjukkan pada pidato perdananya di hadapan kaum muslimin,
berbunyi ;
“ Saya telah dinobatkan menjadi pemimpin kalian. Tapi saya bukan
orang terbaik diantara kalian. Jika saya berbuat baik, maka dukunglah saya.
Jika saya tersesat, maka luruskanlah saya. Bila saya melakukan perbuatan di
jalan Allah, taatilah saya. Tetapi bila saya berkhinat kepada Allah, tidak ada
kewajiban kalian taat kepada saya. Jika ada kekurangan dalam diri saya, maka
sempurnakan kekurangan itu dengan kelebihan yang ada pada diri kalian. Jika ada
kekurangan pada diri kalian, maka saya akan menutupinya dengan kelebihan yang
ada pada diri saya”.
Ini
adalah pidato politik pemimpin paling bermartabat dalam sejarah. Pidato yang
memberikan pesan bahwa kekuasaan itu bukan untuk menguasai dan kepemimpinan itu
bukan untuk menjajah hak-hak warga. Pemimpin harus sadar betul bahwa ia tidak
bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan rakyatnya. Ia tidak akan mampu membangun tanpa
pajak rakyat. Ia tidak bisa membuat proyek super mega tanpa uang rakyat. Ia
tidak bisa menjadi pemimpin tanpa dipilih rakyat. Berkat rakyatlah pemimpin itu
menjadi pemimpin.
Para
calon pemimpin semestinya juga belajar kepada sejarah kepemimpinan Umar Bin
Abdul Aziz yang sangat fenominal. Seorang tokoh pemimpin yang hanya dalam kurun
waktu kurang lebih dua tahun lima bulan, mampu mengatasi berbagai persoalan
negerinya dengan sangat baik.
Dari
garis keturunan ayahnya beliau adalah putra Marwan bin Hakam. Sementara dari
garis ibunya beliau putra Ummu ‘Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab. Jadi
beliau adalah cucu Umar bin Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar
as-Shiddiq. Beliau terkenal sebagai Umar as Tsani (Umar kedua) dan namanya
selalu dinisbatkan kepada kakeknya. Beliau juga terkenal sebagai ‘Amirul
Mukminin’ kelima setelah terputusnya system kepemimpinan demokrasi Islam pasca
terbunuhnya Sayidina Ali RA. Sebutan itu dilekatkan kepada beliau karena dalam
pemerintahannya beliau menerapkan system demokrasi islami, walaupun beliau
berada dalam system pemerintahan monarki.
Beliau
diangkat menjadi khalifah berdasarkan wasiat pamannya sebelum meninggal dunia,
Sulaiman bin Abdul Malik, tanpa sepengetahuannya. Ketika surat wasiat itu
dibacakan di hadapan seluruh kaum muslimin yang berkumpul di masjid, beliau
berada di sana bersama kaum muslimin. Dan ketika ditengah pembacaan surat
wasiat itu nama beliau disebut untuk melanjutkan kepemimpinan Bani Umayah,
beliau sepontan tersungkur dan menangis. Dengan isyarat dan kata-kata, beliau
berusaha untuk menolak penunjukan itu. Tapi surat wasiat sudah dibacakan dan
umat muslim sangat mendukung. Maka tiada jalan lain kecuali menerima amanah
itu, suka atau tidak suka.
Sampai
pulang ke rumahnya beliau masih terus menangis. Terbayang beban dan tugas berat
menantang di hadapannya. Bukan karena takut dengan tugas, tapi takut tidak
dapat melaksanakan amanah itu dengan baik. Takut kekuasaan itu membuatnya
melupakan Allah. Takut kekuasaannya itu membuatnya terpedaya bujuk rayu syetan.
Takut kekuasaannya tidak menyentuh ke seluruh masyarakat yang dipimpinnya dan
menyebabkan murka Allah.
Pada
masa kepemimpinannya yang singkat, Umar bin Abdul Aziz menghadapi
karut-marutnya system pemerintahan, kebiasaan hidup berfoya-foya, banyak
pejabat merampas tanah rakyat, merajalelanya perjudian dan pesta pora minuman
keras. Kondisi itu berlangsung secara turun temurun akibat besarnya kekuasaan
Bani Umayyah dan kekayaan yang melimpah ruah. Budaya hidup materialisme dan
hodonisme sedemikian kental menyatu dalam prilaku kehidupan masyarakat.
Menghadapi
kondisi tersebut Umar bin Abdul Aziz melakukan perubahan monumental mulai dari
rumah tangganya. Langkah pertama beliau meninggalkan cara hidup bermewah
mewahan dan menjadi seorang yang zahid dan abid. Menyerahkan semua harta
kekayaannya, termasuk berlian yang dipakai istrinya ke Baitul Maal, serta
mengharamkan dirinya mengambil sesuatupun dari Baitul Maal.
Reformasi
pemerintahan dilakukannya dengan mengganti pejabat yang tidak amanah, pejabat
yang korup, pejabat yang bermewah mewahan, pejabat yang tidak mau mengerti
kehendak rakyatnya, serta mengembalikan hak-hak rakyat yang dirampas pejabat
dan mengembalikannya ke Baitul Maal.
Pada
masanya tanah dan ladang tidak produktif dihidupkan, sumur-sumur digali dan
masjid-masjid dibangun. Zakat, infaq dan shadaqah didistribusikan dengan cara
yang benar, sehingga kemiskinan sulit dijumpai. Dan bahkan pada masa
pemerintahannya banyak orang kaya yang kesulitan menyalurkan zakat, infaq dan
shadaqahnya karena tidak ada lagi orang miskin.
C.
Larangan Berambisi Menjadi Pemimpin
Meskipun
menjadi pemimpin kelihatan jumawa, kelihatan berkuasa dan kelihatan bergengsi,
ternyata pekerjaan memimpin mengandung banyak kemudlaratan. Kekuasaan dapat
menggelincirkan orang kepada sifat sombong dan ujub. Kekuasaan dapat menyeret
orang kepada sifat korup. Dan kekuasaan dapat menjerat manusia kepada
perbuatan-perbuatan nista; seperti main perempuan, pesta narkoba, minuman keras
dan lain-lain. Oleh karenanya Rasulullah dalam beberapa kesempatan melarang
sahabat-sahabatnya berambisi menjadi pemimpin, sebagaimana sabdanya ;
“Dari
Abdurahman bin Samurah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda
kepadaku, “Wahai Abdurahman bin Samurah, janganlah kamu minta kepemimpinan!
Jika kamu diberi atas permintaanmu, niscaya akan dipasrahkan kepadamu. Namun
jika kamu diberi tanpa meminta maka kamu akan diitolongnya”.
Sabda
Rasulullah yang lain ;
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya
kalian berambisi terhadap kepemimpinan dan itu akan menjadi penyesalan di hari
kiamat. Sungguh nikmat kehidupan orang yang menyusui dan sungguh sengsara
kehidupan orang yang disapih”.
Hadist
Nabi riwayat lain ;
Dari
Abu Musa Radhiyallahu Anhu, ia berkata, ‘Aku datang menghadap Rasulullah SAW
bersama dua orang lelaki dari kaumku”, maka salah satu dari kedua orang
tersebut berkata, “Berilah kami kepemimpinan wahai Rasulullah.” Orang
yang lainpun mengatakan demikian. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak
memberikan kepada yang meminta dan juga tidak memberikan kepada yang
berambisi.”
Dari
beberapa hadis yang diriwayatkan oleh tiga sahabat Nabi diatas, sangat jelas
sekali bahwa kepemimpinan itu tidak baik diberikan kepada orang yang berambisi dan
meminta.
Secara
filosofis religious, sesuatu yang diperoleh dengan ambisi, dapat dipastikan
pengendalinya adalah syetan. Syetan pasti menjerumuskan. Ambisi melahirkan
sikap tidak mau kalah. Tidak mau kalah melahirkan siasat dan tipu muslihat
untuk meraih kemenangan. Mengahalalkan berbagai cara untuk mendapatkan yang
diinginkannya.
Teori
ini secara filosofis akan mendorong orang kepada kesombongan. Karena ia
menganggap bahwa kemenangannya dan kesuksesannya itu dari usahanya sendiri,
tanpa intervensi Tuhan. Akan melahirkan orang yang serakah (korup) karena ia
memperoleh semuanya dengan modal, maka modal harus dikembalikan. Akan
melahirkan orang yang munafik, karena di depan manusia ia harus berpura-pura
adil, bersih, tidak korup, tapi dibelakang ia memimpin sidang para pejabat
korup. Di depan masyarakat ia mengatakan pendidikan agama itu penting, tapi
diatas mejanya ia mencoret anggaran-anggaran untuk pendidikan agama,
pembangunan masjid, pembangunan madrasah dll. Akan membuat hatinya terpenjara,
karena satu sisi ia ingin berpihak kepada kepentingan rakyat, tapi pada sisi
yang lain ia harus menunaikan janjinya memuluskan proyek-proyek pengusaha
pendukungnya. Akan mendorongnya menjadi pelupa. Lupa akan janjinya, lupa
keluarganya, dan bahkan lupa Tuhannya.
Kondisi
inilah yang mungkin dikhawatirkan Rasulullah dengan sabdanya ;
Dari
Ma’qil bin Yassar Radhiyallau Anhu, ia berkata; “Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba pun yang Allah beri wewenang untuk mengatur
rakyat kemudian meninggal di hari kematiannya dalam kondisi menipu rakyatnya,
niscaya Allah haramkan baginya masuk sorga.”
D.
Penutup
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang diperoleh dengan meminta atau
dengan ambisi akan melahirkan pemimpin yang tidak baik. Maka ada baiknya
masyarakat dalam memilih pemimpin mulai bersikap rasional, tidak pragmatis.
Masyarakat harus mulai memilih dengan hati nurani. Dan bahkan lebih radikal
lagi, masyarakat harus mulai memperhatikan; siapa calon pemimpin yang tidak
berambisi, yang tidak meminta, dan bahkan calon pemimpin yang berani berkata; “
Jangan Pilih Saya”.
Penulis
adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau dan
kandidat Doktor Pendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn
Khaldun Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar