Senin, 04 November 2013

DETIK-DETIK MENUNGGU LAILATUL QODAR


LAILATUL QADAR DAN PECINTA RASULULLAH
Oleh : AH. Mansur, SE, M.Pd.I
(Bagian Satu)
Oleh karena penulis sedang berada di tanah haram dan baitnya Allah; yaitu “Makkatul Mukarromah”, maka tulisan ini lebih merupakan rangkain cerita dari peristiwa spiritual yang dialami penulis selama dalam perjalanan mengejar rahmat Allah, mengejar maghfirah Allah, mengejar pembebasan dari api nerakanya Allah. Tulisan ini juga tidak disusun sebagaimana kerangka penulisan ilmiah, karena ia lebih merupakan refleksi apa adanya, dari peristiwa – peristiwa yang terjadi spontan, tetapi syarat makna untuk membangun tangga – tangga kebathinan, menuju Rabb yang Agung.
Sesungguhnya hal yang membuat penulis dan kaum muslimin umumnya,  rela mengorbankan waktu dan harta benda menuju tanah suci di bulan Ramadhan ini, tiada lain karena kepincut terhadap ‘cinta maha dalam’ kepada apa yang disebut “Lailatul Qodar”. Kalimat itu demikian menyedot perhatian jutaan umat Islam di belahan bumi ini, sampai-sampai menguras energy lahir dan batin serta harta benda. Para hamba pemuja Allah itu sesungguhnya sedang berburu janji Allah sebagaimana yang difirmankannya dalam surat al-Qodar ayat 1 s.d. 5 ;
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ !$tBur y71u÷Šr& $tB ä's#øs9 Íôs)ø9$# ÇËÈ ä's#øs9 Íôs)ø9$# ׎öy{ ô`ÏiB É#ø9r& 9öky­ ÇÌÈ ãA¨t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr9$#ur $pkŽÏù ÈbøŒÎ*Î/ NÍkÍh5u `ÏiB Èe@ä. 9öDr& ÇÍÈ íO»n=y }Ïd 4Ó®Lym Æìn=ôÜtB ̍ôfxÿø9$# ÇÎÈ
Artinya ; Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Secara etimologi Lailatul Qodar bermakna “ Malam Kemuliaan “. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam yang Allah menurunkan al-Qur’an dan malam yang Allah melipat gandakan pahala setiap kebaikan. Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah Swt memuji bulan Ramadhan sebagai bulan yang melebihi bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah dipilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an, sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ‘alaihimus salam.” (Tafsirul Qur’anil Adzim, I/501, Darut Thoybah).
Kita mencoba menghitung seribu bulan itu berapa tahun sih? Ternyata setelah pencat – pencet kalkulator hasilnya adalah ; 1000 : 12 = 83,3, yang jika dibulatkan menjadi kurang lebih delapan puluh tiga tahun. Waktu yang tidak sedikit bila dibandingkan dengan rata – rata umur manusia. Nabi Muhammad Saw hanya berumur 63 tahun. Umatnya rata-rata berumur sama. Kalaupun lebih paling hanya ke angka 70, 80, atau paling tinggi 100 tahunan. Hitungan matematis kita tentu sangat fantastis, bila beribadah satu malam saja bisa melebihi seribu bulan atau setara dengan delapan puluh tiga tahun, apa tidak mubadzir bila malam cinta itu dibiarkan berlalu begitu saja. Apa tidak bodoh namanya bila kita melepaskan malam cinta itu berlabuh kepelukan orang. Apa nggak goblok namanya bila kita tidak berhasil menangkap malam nan molek yang menjanjikan jutaan pahala dan jaminan sorga.
Berbekal modal pemahaman religi tentang keutamaan dan kelebihan Lailatul Qodar itu, umat islam dari berbagai penjuru dunia mengepung dan menguasai masjidil haram. Mereka berusaha sesempurna mungkin mengambil momentum sepuluh hari terakhir ramadhan untuk ‘ngalap berkah’( rakus dan tamak mengejar rahmat, maghfirah dan ampunan Allah Swt ). Akibatnya dapat dibayangkan; transportasi udara dan darat dari dan ke Arab Saudi jadi sangat sibuk. Hotel-hotel, shopping centre, toko-toko, restoran – restoran, taksi – taksi dan fasilitas lainnya yang bersentuhan dengan kepentingan jamaah umroh, terus bergeliat, bergerak dan tidak berhenti kecuali adzan telah dikumandangkan dan shalat lima waktu plus taraweh dilaksanakan. Silahkan dibayangkan juga bagaimana nuansanya bila manusia dari berbagai karakter, berbagai bahasa, berbagai warna kulit, berbagai budaya, menyatu dalam satu harmoni, menyatu dalam irama cinta kepada Rabb yang Maha Kasih. Maka disinilah muncul sumber cahaya imani, menetes ke setiap diri, memberangus nafsu syaithoni dan men-fanakan segala cinta duniawi yang nisbi.
Perjalanan menuju rumah Allah melalui Bandara Internasional King Abdil Aziz Jedah – Saudi Arabia. Dari bandara rombongan perindu Rasulullah menuju Madinatul Munawwarah dan tepat jam 3:25 dini hari, tiba di hotel al-Fayrus al-Massy. Kedatangan ini langsung disambut hidangan santap sahur di lantai dua yang merupakan tempat khusus makan (math’am). Satu persatu siapa saja yang menyelesaikan makan sahurnya, langsung menuju kamar yang telah ditentukan oleh Tour Leader (Pemandu Wisata).

Para Pemburu Raudlah
Tempat yang paling seksi dan paling diburu di masjid Nabawi adalah “Raudlah”, tempat yang diisyaratkan sebagai taman sorga oleh Rasulullah Saw, sebagaimana sabdanya ; “diantara rumahku dan mimbarku adalah taman sorga”. Maka wajar saja bila para muktamirin menjadikan Raudlah sabagai tujuan awal dan utama setalah sampai di masjid Nabawi. Dan oleh karenanya tidak terlalu sulit mengkoordir jamaah untuk berangkat ke Raudlah setelah shalat subuh.
Di Raudlah, nuansa ritualnya memang sangat berbeda. Manusia dari berbagai penjuru dunia, dengan sangat antusias dan wajah penuh harap memadati setiap centi meter ruang Raudlah, dan dengan caranya sendiri-sendiri mereka meng-ekspresi-kan lautan rindu dan samudra harapan akan syafa’atnya Rasul bertabuh demikian lantang dari mulut-mulut mereka. Sebagian khusyuk membaca al-Qur’an, sebagian lainnya mewiridkan doa-doa khusus dan sebagian yang lainnya lagi berdesak-desakan mengikuti ayunan irama tubuh yang bergerak menuju ‘Maqbaroh’ nya Rasul, sembari tangannya melambai-lambai penuh cinta, dengan mata sayu dan lantunan shalawat nan syahdu mengalir dari mulut-mulut mereka ; “assalamu ‘alaika ya Rasulallah, assalamu’alaika ya habiballah”. Kalimat itu terus menerus bergemuruh menguasai hati dan emosi, beriring lambaian tangan dan kecupan cinta kepada kekasih Allah itu. Sesekali tangan-tangan mereka menyentuh dinding maqbaroh dan kemudian menciumnya dengan takdzim, dengan penuh kerinduan dan cinta.
Sungguh ini sebuah ilustrasi cinta penuh makna. Cinta yang teramat dalam. Cinta yang mengakar dan menancap ke jantung hati. Cinta yang tulus nan suci. Cinta yang tak lekang oleh panas dan tak lebur oleh badai. Cinta sejati kepada Rasulullah Saw. Muncul gelitik Tanya dari dasar hati kita; kenapa sedemikian dalam dan mulia cinta umat kepada Rasulnya? Kenapa sedemikian melangit kerinduan umat kepada pemimpinnya? Jawabannya ternyata sangat sederhana sekali, yaitu; karena Rasulullah Saw mendidik umatnya dengan cinta dan kasih sayang maka lahirlah pribadi-pribadi penuh cinta dan kasih. Karena Rasul memimpin umat manusia dengan cinta maka lahirlah budaya masyarakat yang ber-tradisi dan bersendikan cinta.
Seorang pemimpin, siapapun dan di Negara manapun ia berada, bila dalam kepemimpinannya mengaplikasikan nilai-nilai dan ajaran Rasul, bila dalam menerapkan kebijakannya berpihak kepada keinginan masyarakatnya, bila prilaku kesehariannya menampilkan sosok ‘akhlakul karimah’, bila stigma konsistensi, konsekwensi dan kometmen dilekatkan padanya, maka bersiaplah menjadi orang yang panjang umur. Panjang umur dalam artian jasanya akan dikenang oleh pengikutnya selama hidupnya, bahkan sampai ia meninggalkan dunia fana ini. Ibarat pepatah ; “ Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meningglkan nama”.
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw adalah ibroh yang luar biasa untuk diteladani dan diimani, jika para pemimpin dunia menginginkan Negaranya subur makmur, sejahtera lahir bathin dan bahagia dunia akhirat. Ibarat pepatah; “ gemah ripah loh jenawi, toto tentrem kerto raharjo”. Rasulullah manawarkan sebuah konsep tata Negara, konsep kehidupan sosial kemasyarakatan dan konsep rahmatan lil ‘alamin, dengan lankah – langkah sebagai berikut ;
Pertama ; dalam rangka membangun Negara yang kuat Rasulullah menjadikan masjid Nabawi sebagai pusat pemerintahan. Ini agar semua hasil musyawarah yang terkait dengan kebijakan Negara berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, berlandaskan nilai-nilai tauhed kepada Rabb, Allah Swt. Sehingga puncaknya dapat dicapai Negara yang “baldatun thoyyibatun warobbun ghafur”.
Kedua ; dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang harmoni, saling menghargai dan saling mencintai, Rasulullah Saw mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar, menanamkan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, baik sebagai hamba kepada khaliqnya, maupun sebagai manusia kepada sesama, termasuk sebagai makhluk kepada makhluk yang lainnya.
Ketiga ; dalam rangka membangun kehidupan masyarakat madani, yaitu sebuah masyarakat yang saling menghargai perbedaan ras, suku, golongan dan bahkan agama, Rasulullah Saw menyusun dan mendeklarasikan ‘Piagam Madinah’, dimana dalam piagam tersebut Rasulullah memberikan hak-haknya kaum Yahudi dan Nashrani untuk beribadah menurut kepercayaannya, men-fasilitasi komunikasi antar suku dan tidak memaksakan agama Islam (la ikroha fiddin). Dalam kepemimpinan beliau Islam benar-benar melaksanakan fungsinya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Keempat : dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan serta cinta tanah air, beliau membangun komitmen bersama antar penduduk kota Madinah, meliputi agama Islam, Yahudi dan Nashrani dan  keterlibatan suku-suku yang ada di Madinah, untuk sama-sama berjuang mempertahankan kota Madinah dari serangan musuh dan ancaman orang-orang luar Madinah.
Sebuah teladan yang luar biasa dari seorang Nabi yang ummi. Seorang Nabi yang tidak secara khusus bersekolah di lembaga pendidikan formal. Seorang manusia biasa yang mengawali hidupnya dengan tidak melihat ayahnya. Seorang pengembala yang kering dari kehidupan akademik menurut pandangan kasat mata. Tetapi tentu bila dipandang pada dimensi kenabian, sejarah kehidupan apapun yang dialami langsung oleh Rasul adalah proses pendidikan yang langsung ditangani oleh Allah Swt. Misalnya lahir tanpa merasakan kasih sayang seorang ayah, adalah pendidikan mendewasakan diri. Mengembala kambing punya pamannya adalah pendidikan kepemimpinan, membawa dagangan Siti Khadijah ke negeri Syam adalah pendidikan kejujuran dan tanggung jawab, dan banyak lagi peristiwa – peristiwa yang dialami Nabi Muhammad Saw adalah merupakan proses pendidikan Allah.
Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau dan kandidat Doktor Pendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Konsep Pendidikan Dalam Al-Qur'an




KONSEP PENDIDIKAN DALAM AL-QUR`AN
Oleh: AH. Mansur, SE, M.Pd.I
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa, kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.
Dalam al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah).
Analisis pengantar tulisan kali ini mengupas tentang pengertian pendidikan, istilah-istilah pendidikan dalam al-Qur'an, hakikat dan prinsip dasar, serta analisis problem di dunia pendidikan Islam terutama di Indonesia, bagaimana konsep ideal pendidikan Islam? dan bagaimana realitas pendidikan Islam di Indonesia? serta bagaimana mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu?  

Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an
Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur'an dengan istilah ‘at-Tarbiyah’, ‘at-Ta’lim’, dan ‘at-Ta’dhib’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabbi’, kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur'an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kata-kata di atas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.
Konferensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977, ternyata tidak berhasil menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati, hal ini dikarenakan; 1) banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, 2) luasnya aspek yang dikaji oleh pendidikan.
Para ahli memberikan definisi at-Tarbiyah, bila diidentikan dengan ‘arrab’ sebagai berikut;
Pertama,  Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan.
Kedua, Menurut Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.
Ketiga, Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah yang berarti (pertumbuhan dan perkembangan).
Keempat, al-Jauhari yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata at-Tarbiyah dengan rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.
Dari pandangan beberapa pakar tafsir ini maka kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.  
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan at-ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut;
Pertama, Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya . At-ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.
Kedua, Munurut Rasyid Ridho, at-ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah al-Baqarah: 31  
Artinya : “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.  
Ketiga, Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-ta’lim disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.
Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
Keempat, Pengunaan at-ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam
pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya .
Kata ‘addaba’ yang juga berarti mendidik dan kata ‘ta’dib’ yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.
Kelima, Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakuip keseluruhan aspek-aspek pendidikan.  
Masih lagi pengertian pendidikan Islam dari berbagai tokoh pemikir Islam, tetapi cukuplah pendapat diatas untuk mewakili pemahaman kita tentang konsep pendidikan Islam (al-Qur'an ). Konsep filosofis pendidikan Islam adalah bersumber dari hablum min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablum min al-nas (hubungan dengan sesama manusia) dan hablum min al-alam (hubungan dengan manusia dengan alam sekitar) yang selanjutnya berkembang ke berbagai teori yang ada seperti sekarang ini. Inprirasi dasar yaitu berasal dari al-Qur'an.
Setelah definisi dari beberapa pakar pendidikan kita ketengahkan mengenai ‘term’ pendidikan menurut al-Qur`an, maka pertanyaan kemudian apa tujuan pendidikan Islam, Tujuan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education)  
Tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalamai proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.
Sebagai pendidikan yang nota benenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam yang disampaikan beberapa tokoh adalah bisa diuraikan sebagai berikut;
Pertama, Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identik dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya.
Kedua, Dr. Ali Ashraf; ‘tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umunya”
Ketiga,  Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)”  
Keempat,  Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian teguh”.  
Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Setelah kita mengetahui apa tujuan pendidikan menurut al-Qur`an, sekarang kita akan mengupas mengenai apa hakekat pendidikan dalam al-Qur'an  Hakekat atau nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Nilai bersifat praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyrakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah sebagai suatu cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu yang bersifat khayal.
Dari beberapa pengertian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah; proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam pada peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Sehingga dapat dijabarkan pada enam pokok pikiran hakekat pendidikan Islam yaitu;
Pertama, Proses tranformasi dan internalisasi, yaitu upaya pendidikan Isla harus dilakukan secara berangsur-angsur, berjenjang dan Istiqomah, penanaman nilai atau ilmu, pengarahan, pengajaran dan pembimbingan kepada anak didik dilakukan secara terencana, sistematis dan terstuktur dengan menggunakan pola, pendekatan dan metode/sistem tertentu.
Kedua, Kecintaan kepada Ilmu pengetahuan, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan pengahayatan, pengamalan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang bercirikhas Islam, dengan disandarkan kepada peran dia sebagai khalifah fil ardhi dengan pola hubungan dengan Allah (hablum min Allah), sesama manusia (hablum minannas) dan hubungan dengan alam sekitas (hablum min al-alam).
Ketiga, Nilai-nilai Islam, maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam praktek pendidikan harus mengandung nilai Insaniah dan Ilahiyah. Yaitu: a) nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah sebanyak 99 yang tertuang dalam “al Asmaul Husna” yakni nama-nama yang indah yang sebenarnya karakter idealitas manusia yang selanjutnya disebut fitrah, inilah yang harus dikembangkan. b) Nilai yang bersumber dari hukum-hukum Allah, yang selanjutnya di dialogkan pada nilai insaniah. Nilai ini merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa dan karsa manusia yang tumbuh sesuai dengan kebutuhan manusia.
Keempat, Pada diri peserta didik, maksudnya pendidikan ini diberikian kepada peserta didik yang mempunyai potensi-potensi rohani. Potensi ini memmungkinkan manusia untuk dididik dan selanjutnya juga bisa mendidik.
Kelima, Melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, tugas pokok pendidikan Islam adalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi manusia, sehingga tercipta dan terbentuklah kualitas generasi Islam yang cerdas, kreatif dan produktif.
Keenam, Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan hidup, dengan kata lain ‘insan kamil’ yaitu manusia yang mampu mengoptimalkan potensinya dan mampu menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani, dunia dan akherat. Proses pendidikan yang telah dijalani menjadikan peserta didik bahagia dan sejahtera, berpredikat khalifah fil ardhi.  
Prinsip diatas adalah pikiran idealitas pendidikan Islam terutama di Indonesia, tetapi dalam mewujudkan cita-cita tersebut banyak sekali permasalah yang telah menghambat pencapaian cita-cita tersebut malah terkadang membelokkan tujuan utama dari pendidikan Islam. Problem pendidikan Islam harus menjadi tanggung jawab bersama baik dari pendidik, pemerintah, orang tua didik dan anak didik itu sendiri, jadi kesadaran dari semua pihak sangatlah diharapkan.
Melengkapi uraian mengenai hakekat pendidikan dalam al-Qur`an, kemudian akan dikupas mengenai apa saja prinsip-prinsip Pendidikan Islam.  Kata ‘prinsip’ adalah akar kata dari principia yang diartikan sebagai permulaan, yang dengan suatu cara tertentu melahirkan hal-hal lain, yang keberadaannya tergantung dari pemula itu’ . jadi kalau berbicara mengenai prinsip pendidikan Islam, maka pelaksanaan pendidikan ini telah digariskan oleh prinsip atau konsep dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
Pertama, Pendidikan Islam sebagai suatu proses pengembangan diri, manusia adalah makhluk paedagogik, yaitu makhluk Allah yang dapat dididik dan dapat mendidik. Potensi itu ada dengan adanya pemberian Allah berupa akal-pikiran, perasaan, nurani, yang akan dijalani manusia baik sebgai makhluk individu maupun sebagai makhluk yang bermasarakat. Potensi yang besar tidak akan bisa kita manfaatkan jika kita tidak berusaha untuk mengaktifkan, mengembangkan dan melatihnya. Hal itu membutuhkan sebuah proses yang akan memakan waktu, tenaga bahkan biaya, tetapi mengingat potensi yang luar biasa yang kita akan raih hal itu tidak ada artinya apa-apa. Jadi pendidikan adalah proses untuk mengembangakan potensi diri.  
Kedua, Pendidikan Islam; pendidikan yang bebas; Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan berkehendak dan berbuat yang diberikan Allah kepada manusia, kebebasan ini tentunya terikat dengan hukum syara’. Kebebasan disini berarti manusia bebas memilih prosesnya masing-masing dari prinsip ini seorang pendidik tidak bisa memaksa anak didik untuk menentukan pilihan yang harus dijalani anak didik. Pendidik hanya mengarahkan kemana potensi yang dominan yang bisa dikembangkan oleh peserta didik tersebut.  
Ketiga, Pendidikan Islam penuh dengan nilai insaniah dan ilahiyah; Agama Islam adalah sumber akhlak, kedudukan akhlak sangatlah penting sebagai pelengkap dalam menjalankan fungsi kemanusiaan di bumi. Pendidikan merupakan proses pembinaan akhlak pada jiwa. Meletakkan nilai-nilai moral pada anak didik harus diutamakan. Nilai-nilai ketuhanan harus dikedepankan, pendidikan Islam haruslah memperhatikan pendidikan akhlak atau nilai dalam setiap pelajaran dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi dan mengutamakan fadhilah dan sendi moral yang sempurna .  
Keempat, Prinsip Keseimbangan hidup; Dalam pendidikan Islam prinsip keseimbangan meliputi;
1.       Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat
2.       Keseimbangan antara kebutuhan jasmanai dan rohani
3.       Keseimbangan antara kepentingan individu dan social
4.       Keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal.

             Prinsip ini telah ditegaskan dalam al-Qur'an (Al-Qashas;77);
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”
            Kelima, Prinsip persamaan; Kesempatan belajar dalam Islam sama antara laki-laki dan perempuan, oleh karena itu kewajiban untuk menuntut ilmu juga sama. Sistem pendidikan tidak mengenal perbedaan dan tidak membeda-bedakan latar belakang orang itu jika dia mau menuntut ilmu. Semua punya potensi yang sama untuk di didik dan punya kesempatan yang sama untuk memproses diri dalam pendidikan.
           Keenam, Prinsip seumur hidup, sepanjang masa; Pendidikan yang dianjurkan tidak mengenal batas waktu, tidak mengenal umur. Seumur hidup manusia harusnya terdidik, mulai dari lahir sampai ke liang lahat. Seluruh kehidupan kita digunakan sebagai proses pendidikan, sebagai proses untuk menjadi hamba yang baik, menjadi insan kamil.  
           Ketujuh, Prinsip percaya pada diri sendiri; Orang telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Sebenarnya sudah mati sebelum mereka hidup, sebab tidak bisa melihat dunia dengan potensi panca indranya sendiri. Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan berbekal akal, perasaan yang bisa dikembangkan. dengan inilah harkat manusia lebih tinggi di banding makhluk lainya. Atau bahkan karena akalnya pun manusia bisa unggul dari manusia satu dengan manusia lainya.
           Hal diatas merupakan konsep pendidikan Islam yang ideal, tetapi bagaimana realitas pendidikan Islam sekarang? Problem pendidikan Nasional kita tidak bisa di anggap pemasalahan yang ringan, prestasi pendidikan kita jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Ketertinggalan pembanganan pendidikan Indonesia tercermin dalam Human Development index Report (1999), yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-105 se-Asia Tenggara, sungguh prestasi yang tidak membanggakan. Problem pendidikan kita adalah problem sistemik pendidikan artinya; permasalahan menyangkut keseluruhan komponen pendidikan, mulai dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan sistem pendidikan nasional, manajerial pemerintah, kompetensi guru/dosen, sarana-prasarana, kurikulum, dukungan masyarat dan lain sebagainya. Oleh karena itu penangannya juga harus melibatkan berbagai pihak, dan sudah seharusnya permasahan ini merupakan tanggung jawab kita bersama.

Paradigma Pendidikan Islam dan Pengembangannya
           Bertolak dari asumsi bahwa ‘life is education and education is life’ dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapakan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Namun pertanyaan selanjutnya; apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Jawaban pertanyaan ini setidaknya muncul bebarapa paradigma pengembangan pendidikan Islam yaitu: pertama; paradigma Formisme; kedua; paradigma mekanisme dan ketiga paradigma organism;
           Pertama; paradigma Formisme; dalam paradigma ini aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau district. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan seperti; laki-laki dan perempuan, STAIN/IAIN dan Non STAIN/IAIN, madrasah dan non Madrasah, pendidkan keagamaan dan non keagamaan, demikian seterusnya, pandangan ini berlanjut pada cara memandang aspek kehidupan dunia dan akherat. Kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya dietakkan pada kehidupan akherat saja atau kehidupan rohani saja. Oleh kerena itu pengembangannya (PAI) hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, pendidikan (agama) Islam hanya berkutat mengurusi persoalan ritual dan priritual, sementara kehidupan sosial ekonomi politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan lainya dianggap sebagai bidang duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan umum. Istilah pendidikan agama dan pendidakan umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.  
           Kedua; paradigma mekanisme, paradigma ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nila politik, nilai ekonomi, nilai rasional dan sebagainya.sebagai impliksinya, pengembangan pendidikan Islam tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari para pembinaya dan sekalius pimpinan dari lembaga tersebut. Terutama dlam membangun kerjasama dengan mata pelajaran/kuliah lain. Hubungan antara pendidikan agama dengan beberapa metapelajaran dapat bersifat horisontal lateral (Indipendent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertikal linear.  
           Ketiga paradigma organisme, paradigma ini memandang bahwa Islam adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas berbagai komponen) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanschanauung) Islam, yang dima nifestasikan pada sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami.melalui upaya ini maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat diintegrasikan nilai-nilai Ilmu pengetahuan, ilmu agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memilki pematangan profesional, dan sekaligus hidup dalam nilai-nilai agama.
           Dari ketiga paradigma diatas, berkembang pemahaman ditengah masyarakat yang cengderung lebih memilih lembaga pendidikan umum dari pada lembaga Islam, karena pertimbangan kualitas lembaga Islam yang setingkat dibawah lembaga pendidikan umum, hal ini perlu di sikapi dengan positif dengan semangat memajukan lembaga pendidikan agama Islam.  
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT” Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia menjadi Imam atau pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama) .  
           Untuk memahami profil imam atau pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu; itba’ syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-qur’an dan Hadits) dan sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam ini), orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus itba’ sunnahtilah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator dan teladang bagi orang-orang yang bertaqwa
           Menyadari bahwa pendidikan, sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang ahli pendidikan, Christoper J. Lucas, seperti dikutip oleh Steeinbrink adalah sebagai basis penyimpanan kekuatan yang luar biasa. Yakni memiliki akses ke seluruh aspek kehidupan, memberi informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup di masa depan serta membantu generasi dalam mempersiapkan kebutuhan esensialnya dalam menghadapi perubahan, maka ke depan reorientasi pendidikan Islam perlu diarahkan pada pemberian ruang gerak yang seluas-luasnya pada fungsi esensial dari pendidikan . Dengan demikian lembaga pendidikan Islam tidak sekedar mendapatkan pengakuan peran kualitatif, melainkan yang lebih penting lagi adalah untuk merebut pengakuan kualitatif dari masyarakat atau pemerintah
           Ini memang merupakan suatu pekerjaan yang besar yang perlu mendapat dukungan dari segenap unsur dan kelompok baik dari penyelenggara maupun pemikir pendidikan. Akan tetapi apapun perubahan yang ingin diraih, kebijakan-kebijakan dalam pengembangan pendidikan Islam perlu mengakomodasi tiga kepentingan , yaitu:  
           Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh bagi aspirasi umat Islam, yakni menjadikan lembaga pendidikan Islam sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup yang Islami.
           Kedua, kebijakan yang ditempuh harus lebih memperjelas dan memperkukuh keberadaan Lembaga Pendidikan Islam sebagai ajang pembinaan masyarakat sehingga mampu melahirkan generasi yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian serta produktif sederajat dengan sistem sekolah. Ini dimaksudkan agar Lembaga Pendidikan Islam sanggup mengantarkan peserta didik menguasai dasar-dasar pengetahuan secara memadai, baik dalam bidang bahasa, matematika, fisika, kimia, biologi, ilmu pengetahuan sosial dan pengetahuan kewarganegaraan serta sebagai tempat pengemblengan diri untuk menumbuhkan kreativitas seni, mengembangkan keterampilan dan etos kerja.
           Ketiga, kebijakan yang dijalankan hendaknya harus bisa dan mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Untuk itu Lembaga Pendidikan Islam seyogyanya diarahkan untuk melahirkan sumber daya manusia memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, era industrialisasi dan era informasi. Serta menjadi tumpuan dalam memperbaiki bangsa ini.  
Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau dan kandidat Doktor Pendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.