Selasa, 05 November 2013

DETIK-DETIK MENUNGGU LAILATUL QODAR




MULTIKULTURALISME DAN TOLERANSI
 Oleh : AH. Mansur, SE, M.Pd.I

(Bagian Kedua)

Hal yang membelalakkan penulis di masjid Nabawi-Madinah adalah meleburnya latar belakang kehidupan yang paradox menjadi irama mozaik yang indah. Gemuruh suara yang lahir dari mulut para peziarah adalah bahasa – bahasa yang berbeda tetapi menjadi irama nan mengalun merdu, mendayu – dayu diantara lantunan ayat suci al-Quran. Hamba Allah dari Hindi berbicara dengan Urdunya, orang Eropa dengan Inggerisnya, orang Jawa dengan kromo inggilnya, orang Turki dengan Turkisnya, orang Malaysia dengan melayunya dan lain-lain. Dari sini kita dapat melihat kesempurnaan (syumuliyah) ajaran Islam yang mampu menghancurkan sekat – sekat dan perbedaan. Baik perbedaan karakter, budaya, warna kulit, bahasa dan bangsa. Dari sini juga kita dapat menyaksikan indahnya hubungan sosial masyarakat Islam dunia. Dan ini sesungguhnya merupakan implementasi ajaran Allah dalam firmannya ;
  Artinya ; Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (al-Hujuraat : 13).
Pergaulan multikultur yang terjadi di masjid Nabawi-Madinah adalah sebuah bukti konkrit bahwa Islam memiliki bangunan peradaban yang sangat tinggi. Islam mengajarkan persaudaraan. Islam mengajarkan tatakrama (akhlak). Islam mengajarkan tata kelola hubungan kemasyarakatan. Dan Madinah dalam konteks hubungan peradaban dunia menjadi soko guru lahirnya peradaban Islam, yang kemudian menjadi ispirasi peradaban dunia, terutama peradaban eropa-Yunani, yang oleh Barat diklaim sebagai satu-satunya sumber lahirnya peradaban dunia.
 Multikulturalisme itu muncul dan secara otomatis menjadi faham baru siapapun yang masuk kota Madinah, khususnya ketika masuk areal masjid Nabawi, disebabkan oleh aim (tujuan) dan goal (harapan puncak) yang sama, yaitu ; ‘tauhidullah ‘azza wajalla’, mentauhidkan Allah yang Maha Mulia. Tiada yang lain. Sehingga para muktamirin dengan hanya membawa Allah dalam hatinya, mereka akan mengenyampingkan yang lain – lain. Ke masjid Nabawi hanya menuju Allah, ke Raudlah hanya menuju Allah sembari bershalawat kepada nabi-Nya, ke Baqi’ hanya menuju Allah dengan mengambil ibroh dari para pejuang Islam yang setia mendampingi Rasul-Nya, ke Masjid Kuba menuju Allah dengan melihat langsung proses islamisasi kota Madinah, ke masjid kiblatain ,menuju Allah dengan melihat langsung sejarah perubahan kiblat ; yang awalnya kiblat menghadap ke masjid al-Aqsho Palestina, kemudian pindah ke Ka’bah di masjid al-Haram. Semua yang dilakukan kaum muslimin dalam perjalanan umrohnya hanyalah menuju Allah semata.
Disamping itu, ajaran Rasulullah tentang tata kehidupan bermasyarakat, terutama ketika Rasulullah Saw membentuk masyarakat Yastrib yang terdiri dari berbagai agama dan suku serta perbedaan warna kulit, adalah contoh teladan yang senantiasa mengilhami umatnya. Usaha Rasulullah mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar yang nota bene berbeda karakter (kaum anshar berprilaku lembut bersahabat, sementara kaum muhajirin berprilaku kasar dan kurang bersahabat), melibatkan Yahudi dan Nashrani dalam bela Negara, mempersatukan suku-suku yang berada di Madinah dalam sebuah pemerintahan yang demokratis, berkeadilan dan berketuhanan. Itulah beberapa hal yang menjadi teladan bagi umat Islam dalam meniti kehidupannya. Sehingga ketika mereka berada di kotanya Rasulullah Saw, terbangun motivasi untuk melakukan internalisasi nilai-nilai yang dilakukan Rasul ke dalam dirinya. Dan modal ini yang membentuk prilaku baru para pemuja Allah di tanah dan di masjid haramnya Allah.
Membanjir dan meluapnya kerinduan kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengikis dan menghilangkan segala bentuk penyakit hati dan nafsu duniawi. Penyakit tersebut antara lain ; bangga akan jabatan, riya’, ujub, takabur, gengsi, sombong, tamak, rakus dan lain – lain. Sedangkan nafsu duniawi meliputi cinta harta, wanita dan tahta. Penyakit-penyakit itu secara perlahan terkikis oleh dzikir tazkiyatun nafs dan lama-lama sirna, tenggelam dalam gelombang cinta kepada Rabb. Di dalam masjid Nabawi kita melihat setiap mulut berdzikir, bertasbih, bertahmid dan bertahlil. Sebagian yang lain dengan caranya sendiri membaca al-Quran berdiri dan duduk (qiyaman wa qu’uuda), dan bahkan ada yang sambil berbaring telentang, sembari membaca running tex al-Quran di layar handphone-nya. Sungguh suasana yang amat menakjubkan.
Keberhasilan mem-fanakan ego dan nafsu duniawi, membukakan pintu cahaya iman dalam setiap bilik hati para pemburu cinta Allah. Pangkat dan jabatan tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dalam hidupnya. Status sosialnya di masyarakat tidak lagi menjadi hal yang harus dipertahankan. Harta kekayaan tidak lagi menjadi tujuan utama dalam kesibukannya. Terkuburnya ego dan nafsu duniawi dalam diri manusia melahirkan manusia baru, manusia yang santun, manusia yang welas asih, manusia yang cinta sesama, manusia yang toleran, manusia yang selalu berprasangka baik dan manusia yang rendah hati.
Kita menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa unik yang terjadi spontan di lingkungan masjid. Misalnya orang afrika yang biasanya keras tiba-tiba menjadi seorang yang lembut dan penyabar. Ketika ia sedang tiduran telentang di masjid dan menghalangi jalan shaf, lalu ia mempersilahkan orang melangkah diatasnya tanpa ia meminggirkan badannya. Ia ikhlas dan rela keangkuhan dari status sosialnya lenyap. Ia tidak berusaha mengatakan ; “ saya ini seorang bupati, atau saya ini seorang terkemuka di Negara saya”. Tidak ! ia tidak berusaha protes untuk menunjukkan jati dirinya. Di masjidnya Nabi tiba-tiba ia menjadi orang yang sangat ikhlas. Di sudut yang lain ada orang Indonesia kena injak jempol kakinya oleh orang Syiria. Anehnya orang Indonesia yang didzolimi malah memberi isyarat untuk terus melangkahinya sedangkan orang itu terus melangkah sembari memberi isyarat meminta maaf. Tiba-tiba di masjidnya Nabi setiap orang spontan menjadi pemaaf dan menjadi sangat lapang dada. Pada saat menjelang berbuka puasa, beberapa yayasan sosial sibuk membagikan kurma, makanan ringan dan minuman untuk berbuka. Bahkan ada beberapa anak kecil menawarkan dirinya untuk sekedar mengambilkan air zamzam demi dapat mengamalkan ibadah sedekah bagi para shoimiin. Ada harmoni yang demikian indah. Satu sisi orang membutuhkan makanan untuk berbuka puasa, pada sisi lain ada orang butuh membagikan sebagian dari rizkinya di jalan Allah. Allahu Akbar….!
Fana….., itulah yang terjadi. Kecintaannya kepada Allah, kecintaannya kepada Rasulullah dan kerinduannya kepada malam lailatul qodar membuat seorang hamba hanyut dalam gelombang dzikir, sibuk tenggelam dalam khusyuk shalat, lebuh dalam buai tafakkur serta asyik berselancar diatas riak tadabbur. Saat suasana dzikir, tafakkur dan tadabbur menyelimuti serta mengendalikan diri, maka segala yang tampak dalam ruang hati adalah Allah, segala yang menetes di kelopak bunga adalah cinta kepada Allah dan segala yang mengalir dalam darah adalah kerinduan maha dalam kepada ampunan Allah. Allahlah yang menguasai diri bila manusia berhasil mem-fanakan ego dan nafsu duniawi.
Hal yang paling menakjubkan dalam wisata ruhani ini adalah bahwa setiap orang yang berangkat dengan membawa perangai dan tabiatnya, membawa kebanggaan dengan sikap primordialisme-nya, membawa sifat riya’ dengan harta bendanya, membawa sikap sombong dengan jabatannya dan jumawa terhadap keberhasilan dirinya, tiba-tiba lenyap begitu menapaki bumi Madinah. Semua sifat – sifat jelek tiba – tiba kering dan luruh bersama terik panas kota Madinah yang mencapai 48 C. Maha suci Allah yang telah melakukan intervensi, menghadapkan hambanya ke jalan yang lurus, jalan yang diridlai.
Tanpa disadari oleh siapapun proses pendidikan dan bimbingan dilakukan oleh Allah secara langsung. Karena niat dan azam hamba telah disematkan di dada dan niat itu mampu memotivasi diri untuk tidak melalukan selain yang dikehendaki Allah, tidak berbuat selain yang disukai Allah, tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah. Apa yang dilakukan hamba ini disambut langsung oleh Allah. Dan karena berada dalam sambutan Allah maka Allahlah yang kemudian menuntun dirinya. Sebagaimana firman Allah ;

Artinya ;Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka) (at-Taubah : 59).
Ahli hikmah berkata ; “jika engkau mendatangi Allah dengan berjalan kaki, maka Allah akan mendatangimu dengan berlari”.

Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau dan kandidat Doktor Pendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.