TINJAUAN
KRITIS TERHADAP PAHAM MENYIMPANG
DALAM
DUNIA ISLAM
Oleh
: AH. Mansur, SE.M.Pd,I
Menyoal masa depan Islam Indonesia khususnya,
serta Islam internasional pada umumnya, yang terjadi hari ini adalah munculnya
indikasi kuat sekolompok aktivis yang secara bersama-sama membangun paradigma
baru tentang Islam, terutama Islam Indonesia di mata dunia Internasional.
Karena Islam, terutama pasca serangan 11 September 2001 yang menghancurkan Gedung
WTC (World Trade Centre), telah dimaknai oleh Barat sebagai agama kekerasan,
dan pada saat itu hal-hal yang menyangkut agama menjadi kian sensitif. Padahal
mayoritas masyarakat muslim dunia tidak pernah menganggap Barat sebagai musuh.
Kasus hancurnya gedung World Trade Center (WTC)
di New York, Washington DC, yang diduga dilakukan sekelompok ekstrimis Islam di
bawah komando Osama bin Laden, membuat penilaian negatif masyarakat Barat
terhadap umat Islam semakin kencang dan hubungan keduanya mencapai titik nadir.
Kondisi itu mengakibatkan kaum muslimin di
dunia menuai stigma buruk dan disebut sebagai pengikut ajaran agama dogmatis
yang hanya menyebarkan teror dan kekerasan. Pandangan yang sangat buruk itu
terjadi karena masyarakat barat melampiaskan kekecewaannya terhadap umat Islam
yang diyakininya sebagai kaum yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kaum
lainnya. Padahal kebanyakan penduduk barat itu tidak tahu secara persis ajaran
Islam sesungguhnya dan hanya didasari atas pemberitaan kasus terorisme dari
media massa yang pemberitaan dan content-nya hanya menyudutkan umat Islam dengan
stigma kekerasan, non kompromistis dengan agama lain, sehingga membuat umat
lain menjadi berang kepada umat Islam.
Masalah yang dihadapi ummat Islam dewasa ini
sebenarnya bukan masalah ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi masalah
perang pemikiran (ghazghatul fikr). Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh
bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari
pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah liberalisasi
pemikiran keagamaan.
Ummat Islam saat ini menghadapi dua masalah
sekaligus. Pertama, persoalan internal yang dari waktu ke waktu belum
menunjukkan akan berakhir, yaitu masalah fanatisme madzhab (aliran), taklid
buta, bid’ah, khurafat, yasinan, tahlilan, qunut dan sebagainya. Kedua,
persoalan eksternal berupa masuknya paham liberalisme, sekulerisme,
relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran
keagamaan bangsa Indonesia.
Akar Sejarah munculnya Paham – Paham Baru
Untuk memahami pluralisme agama,
perlu ditelusuri sejarahnya, paling kurang sejak awal abad ke-20 . Ketika itu
seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch mengungkapkan perlunya
bersikap pluralis ditengah berkembangnya konplik internal agama Kristen maupun
antar agama. Dalam artikelnya berjudul " The Place of Christianity
among the Word Relegions", ia menyatakan, umat Kristiani tidak berhak
mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senanda banyak dilontarkan sejumlah
pemikir dan teolog Kristen antara lain, seperti William E. Hocking dan
sejarawan terkenal Arnold Toynbee. Oleh karena itu gerakan ini dapat dikatakan
sebagai "liberalisasi agama Kristen" yang telah dirintis dan
diasaskan oleh tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiremacher pada sekitar
abad pertengahan ke-19 lewat pergerakannya yang dikenal dengan "Liberal
Protestantism". Konplik internal Kristen yang hebat ketika itu sampai
mendorong Presiden AS, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang
antar aliran tersebut. Pada awal-awal abad ke-20 juga mulai bermunculan
bermacam-macam aliran fundamentalis Kristen di Amerika Serikat. Jadi selain
konplik antar aliran Kristen, ternyata faktor politik juga sangat erat dengan
latar belakang gagasan ini. Sebagai sebuah bentuk liberalisasi agama,
Pluralisme Agama adalah respon teologis terhadap political pluralism (baca
: liberalisasi politik) yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh
para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal dan yang secara nyata dipraktikan
oleh Amerika Serikat. Kecendrungan umum dunia Barat pada waktu itu telah
berusaha menuju modernisasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modernisasi
itu adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka, dari sinilah lahir political
pluralism. Jika dilihat dari konteks itu, maka Relegious Pluralism pada
hakikatnya adalah gerakan politik par excellen dan bukan gerakan agama. Setiap
manusia dipandang sama " by virtue of being human", tidak
ada ras, suku, bangsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling
unggul.
Invasi Pemikiran Barat
Barat,
setelah berhasil mendesak gereja memperkecil otoritasnya dalam dunia
politik dan berhasil membangun paradigma
baru dengan apa yang disebut secular-liberal, akhirnya disadari atau tidak
produk budaya, sosial, system ekonomi dan bangunan pemikirannya menggurita ke
seluruh dunia. Mengapa demikian? Tidak lain karena Barat sejak berakhirnya
perang dingin menjadi raksasa peradaban yang berhasil menghegemoni dunia.
Pemikiran tentang pentingnya memisahkan kewajiban dan tanggung jawab yang
berbeda antara agama dengan kekuasaan (kekaisaran), yang pada awalnya digagas
oleh Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di Amerika, pelan-pelan
diterima oleh gereja. Bahkan Arend Theodor Van Leeuwen, mencatat dalam bukunya,
‘Christianity in Word History’, “penyebaran Kristen di Eropa membawa
pesan skularisasi. Krestenisasi dan skularisasi terlibat bersama dalam suatu
hubungan yang dialektikal”.
Dapat
dibayangkan, bila gereja yang awalnya sangat konservatif terhadap pembaruan
pemikiran, apalagi sampai mendobrak tradisi gereja, berhasil ditaklukkan, itu berarti awal kemerdekaan dan kebebasan
yang luar biasa bagi para penggagas, dan bahkan menjadi pintu gerbang lahirnya
generasi pemuja secularism-liberalism. Yang sangat disayangkan, penyebaran
paham secular-liberal yang awalnya bertujuan membebaskan masyarakat dari
cengkraman gereja yang begitu kuat dan
hegemonic, ternyata akhirnya merambah ke masalah keagamaan. Ditandai dengan
munculnya pemikiran Yahudi Liberal (Liberal Judaism) dengan tokohnya Abraham
Gieger, termasuk bermunculannya paham-paham baru dalam teologi Kristen. Proses
sekularisasi-liberalisasi agama ini, secara terus menerus, dari generasi ke
generasi, menggelobal dan bahkan dipromosikan ke agama-agama lain, termasuk
Islam.
Di
Indonesia, paham secular-liberal ini dikembangkan dengan bahasa-bahasa yang
lebih sederhana, menarik dan provokatif. Seolah-olah pluralisme agama sebuah
keharusan yang wajib dipeluk oleh seluruh pemeluk agama, menggantikan pahan
lamanya, eksklusivisme. Invasi pemikiran ini sesungguhnya sudah lama menjalar
ke Indonesia melalui orang-orang yang berkesempatan belajar di Eropa, terutama
di Negeri Paman Syam, Amerika Serikat. Tetapi penyebarannya menjadi semakin
intens dan luas setelah peristiwa sabotase gedung Word Trade Centre (WTC) pada
11 September 2001. Bahkan kegiatan penyebarannya lebih terorganisir dengan
pendanaan yang sangat besar melalui LSM-LSM luar negeri dan dalam negeri yang
sengaja dibentuk untuk itu.
Upaya
westernisasi (pembaratan) atas nama studi Islam di Perguruan Tinggi
semakin mendapatkan angin, ketika gerakan pemikiran mereka mendapatkan dukungan
serius dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dengan program
pengiriman para dosen IAIN ke McGill untuk mengadopsi metode studi agama ala
Barat. Hal ini terungkap dalam sebuah buku berjudul ‘Paradigma Baru
Pendidikan Islam’, yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam – Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Departemen Agama RI (2008) ditulis ;
“Melalui pengiriman para dosen
IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat massif dari seluruh Indonesia, berarti
juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang tradisional studi Islam ke
arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang sangat menyolok terjadi pada
tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan tingkat grass root.”
Program
inilah diantaranya yang berhasil signifikan dalam memproduksi pemikiran baru
studi agama di Indonesia. Termasuk yang paling besar juga berinvestasi dalam
menjembatani proses transformasi tradisi pemikiran Barat ke dalam khazanah
pemikiran Islam kontemporer – ditandai dengan bomingnya istilah-istilah baru
seperti – Islam Fundamentalis, Islam Radikal, Islam Militan, Islam Moderat,
Islam Inklusif, Islam Eksklusif, Islam Pluralis, dan sebagainya.
Selanjutnya
pemikiran Islam kontemporer ini tumbuh subur di hampir seluruh Perguruan Tinggi
Islam di Indonesia, terutama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN),
antara lain UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
IAIN Raden Fatah Palembang, dan lain-lain. Produk pemikiran baru ini juga
berhasil masuk ke ormas-ormas Islam semacam NU dan Muhammadiyah, dan bahkan ke
pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Baik melalui proses asimilasi gagasan
para dosen Perguruan Tinggi dengan mahasiswa alumni pesantren, maupun melalui
jalur workshop dan seminar dengan tema pembaruan pendidikan Islam, oleh
aktivis-aktivis yang bergerak di bidang itu.
Tokoh-Tokoh Pembaharu Pemikiran Islam Berikut Karya dan Pendapatnya.
1.
Buku FIQIH LINTAS AGAMA karya Tim Penulis PARAMADINA yang
terdiri dari Prof DR. Nurcholish Majid (Pendiri Paramadina), Prof. DR.
Komaruddin Hidayat (RektorUIN Jakarta), DR. Kautsar Azhari Noer (Dosen UIN
Jakarta), DR. Zainun Kamal (Dosen UtN Jakarta). KH, Masdar F. Mas’udi (Ketua
PBNU), Zuhairi Misrawi, Lc (Kader Muda NU dan anggota Baitul Muslimin
Indonesia-PDIP), Budhy Munawar Rachman (Dir. Program Paramadina), Ahmad Gaus AF
(Dir. Publikasi Liberal for All Foundation – USA), dan sebagai Editor; Mun’im A.
Sirry, MA (Peneliti Paramadina). Diterbitkan oleh Yayasan Waqaf Paramadina
& The Asian Foundation, tahun 2004.
ISI
BUKU :
a)
Menghina FIQIH sebagai belenggu kehidupan dan memfitnahnya
sebagai ajaran yang mendiskreditkan agama lain, bahkan sebagai penyebar kebencian
dan kecurigaan terhadap agama Islam. (Kata Pengantar hal. ix dan Mukadimah hal.
2).
b)
Mengnina periode dan generasi AS-SALAF ASH-SHOLIH sebagai
penyebab kebekuan pemahaman, dan memfitnah IMAM SYAFI’I sebagai penyebab tidak
berkembangnya pemikiran Islam lebih dua belas abad. (Mukadimah hal 4- 5).
c)
Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah
DISKRIMINATIF, EKSKLUSIF dan FUNDAMENTALISTIK. (hal. 142).
d)
Umat beragama apa pun tidak kafir, karena semua agama sama
dan benar. sehingga tidak boleh ada yang mengklaim bahwa agarnanya yang paling
benar. (hal 133, 167, 206 – 207).
e)
Atas Dasar HIKMAH dan KEMASLAHATAN persaudaraan,
persahabatan, kedamaian, kerukunan, solidaritas, persatuan dan kehangatan
pergaulan antar umat beragama, maka BOLEH mengucapkan SALAM kepada NON MUSLIM,
bahkan WAJIB menjawab salam mereka. (hal. 72. 77 – 76), BOLEH mengucapkan
SELAMAT NATAL alau Selamat Hari Besar Agama apa pun, bahkan BOLEH ikut
merayakannya (hal.84-85), BOLEH MENDO’AKAN dan MINTA DO’A dari NON MUSLIM,
termasuk DO’A BERSAMA, bahkan semua itu DIANJURKAN. (hal. 102 -103, 107), BOLEH
MASUK MASJID mana saja dan kapan saja bagi NON MUSLIM, termasuk MASJIDIL HARAM
dan MASJID NABAWI. (hal. 110 & 118), Hukum JIZYAH melecehkan NON MUSLIM,
maka harus DINASAKH. (hal.151- 152), BOLEH Kawin Beda Agama dan HARUS ada Waris
Beda Agama (hal. 164 & 167).
2.
Buku LOBANG HITAM AGAMA karya Sumanto AI-Qurtuby (alumnus
IAIN Semarang) dengan Pengantar : Ulil Abshar Abdalla (Kader Muda NU, Pendiri
JIL dan Dir. Freedom Institute), dan di-endos cover yang penuh pujian oleh :
Gus Dur (Mantan Ketua PBNU & Mantan Presiden RI), DR. Moeslim Abdurrahman
(Cendikiawan Muhammadiyah), Anif Sirsaeba Alafsana (Pengasuh Pesantren Karya
Basmala Indonesia), Ahmad Tohari (Budayawan), dan Trisno S. Sutanto (Pengamat
Sosial dan Keagamaan). Diterbitkan oleh Ilham Institute dan Rumah Kata, tahun
2005.
ISI BUKU :
a. PENISTAAN TERHADAP AGAMA, meliputi ;
Agama bukan produk Tuhan (hal. 31), Agama adalah penjajah budaya dan pemasung
intelektual (hal. 55 & 58), Agama mematikan akal dan nalar (hal. 59), Agama
sumber konflik dan pembawa bencana (hal 83 & 37), Islam adalah strategi
budaya Muhammad dan merupakan sinkretik, serta campuran budaya : Judaisme,
Kristianisme dan Arabisme (hal 216. 217 dan 225) dan Penulisan bahasa arab
adalah Arabisme (hal. 22)
b. PENISTAAN TERHADAP AL-QUR’AN.
Pahamnya antara lain; Kemaslahatan lebih diutamakan daripada ayat-ayat Tuhan
(hal. 31), Umar ikut menciptakan Al-Qur’an (hal. 32), Teks Al-Qur’an tidak
autentik (hal. 34 & 37). Nabi dan para sahabat adalah para pencipta
Al-Qur’an (hal. 43), Al-Qur’an angker dan perangkap bangsa Quraisy, serta
dibuat oleh manusia dan bukan kitab suci (hal. 64 – 65), Al-Qur’an membelenggu
kebebasan dan rnenciptakan tragedi kemanusiaan (hal. 117), Muhammad, Islam dan
Al-Qur’an tidak terlepas dari distorsi / penyimpangan (hal. 126), Kandungan Al-Qur’an
kontroversi (hal. 142). Al-Qur’an saja bermasalah, apalagi Kitab Kuning (hal.
146).
c. PENISTAAN TERHADAP NABI, SHAHABAT
& ULAMA. Hasil pemikirannya antara lain ; Utsman pelaku nepotisme dan
keliru membuat mushaf Al-Qur’an (hal.39), Nabi dan para Tokoh Non Muslim
seperti : Gandhi, Luther, Bunda Terresa & Romo Mangun bersama-sama menunggu
di Surga (hal. 45), Kisah Heroik Para Nabi dan Mu’jizatnya hanya dongeng
seperti : Sinetron “Saras 008″ atau kisah heroik James Bond (hal. 58), Nalar
Politik Tirani dibentuk oleh Khulafa’ Rasyidin (hal 124), Para sahabat Nabi
telah memperagakan Politik Islam dengan sangat sempuma mengerikannya (hal.
134), Imam AI-Mawardi mengkhianati hak-hak rakyat dan seorang Rasis / Arabisme
(hal150 & 155), Doktrin Politik Sunni ambigu dan out of date / kadaluarsa
(hal 167), Al-’Asy’ari dan Al-Ma’turidi menjalin persekongkolan politik (hal.
171) dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA) adalah sekte yang telah memanipulasi
teks-teks keagamaan (hal. 229).
d. PENISTAAN TERHADAP SYARI’AT ISLAM.
Inti kajiannya adalah; Syari’at Islam menciptakan gerombolan mafia dan
anjing-anjing penjilat kekuasaan (hal. 70), Syari’at Islam diskriminatif
terhadap perempuan dan non muslim (hal.131-132) dan Formalisasi Syari’at Islam
bukan hanya Utopis, tapi juga Tirani (hal. 134).
e. PERNYATAAN 10 BESAR TOKOH SEPILIS
INDONESIA.
· Prof. DR. Dawam Rahardjo : Mantan
Pengurus PP Muhammadiyah “Kalau Islam tidak bisa dikontrol oleh negara
sebaiknya Islam dilarang saja di Indonesia”, dilontarkan dalam Kolokium
International Center Islam and Pluralism (ICIP) pada Selasa, 11 Oktober 2005 di
Jakarta, dikutip http://www.christianpost.co.id/, “Pindah Agama tidak Murtad!”
dilontarkan dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia pada Rabu, 25 Januari 2006 di Pekanbaru-Riau, dikutip Suara
Pembaruan.
· Prof. DR. Musdah Mulia. MA : Ahli
Peneliti di Depag Rl dan Dosen UIN Jakarta “Tidak ada perbedaan antara Lesbian
dan tidak Lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai didasarkan pada
keimanan mereka”. dilontarkan dalam Dialog Publik di Jakarta pada 27 Maret
2008. (Suara Islam edisi 42, 18 April – 1 Mei 2008, hal. 12). Di tahun 2004
menjadi Kordinator Tim Pengurus Utamaan Gender (PUG) – Depag RI, yang
menerbitkan Counter Legal Draft – Kompilasi Hukum Islam (CLD – KHI) yang
berisi, antara lain : Poligami tidak sah, Kawin Beda Agama sah, Laki-laki
terkena ‘iddah 130 hari. Waris anak laki dan perempuan sama. (50 Tokoh Islam
Liberal Indonesia Budi Handrianto, hal. 237 – 241).
· Prof. DR. M. Amin Abdullah Mantan
Rektor UIN Yogyakarta.
“Tafsir-tafsir klasik AI-Qur’an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.” (Pengantar untuk buku Hermeneutika Pembebasan, karya llham B. Saenong, terbitan Teraju – Jakarta, tahun 2002).
“Tafsir-tafsir klasik AI-Qur’an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.” (Pengantar untuk buku Hermeneutika Pembebasan, karya llham B. Saenong, terbitan Teraju – Jakarta, tahun 2002).
· Prof. DR.Abdul Munir Mulkhan :
Mantan Pengurus Muhammadiyah.
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar Tiap pintu adalah jalan pemeiuk tiap Agama memasuki kamar surganya.” (dari bukunya : Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Kreasi Wacana. Yogyakarta, tahun 2002, hal. 44).
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar Tiap pintu adalah jalan pemeiuk tiap Agama memasuki kamar surganya.” (dari bukunya : Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Kreasi Wacana. Yogyakarta, tahun 2002, hal. 44).
· DR M Luthfi Asy-Syaukani : Dosen di
Universitas Paramadina, mengatakan ; “Pada gilirannya, perangkat dan
konsep-konsep Agama seperti Kitab Suci, Nabi, Malaikat, dan lain-lain tak
terlalu penting lagi.” (Kompas. 3 September 2005). Dalam Dialog antara Luthfi
Syaukani – Adnin Armas, MA di Mailing List (milis) Islam Liberal, tanggal 10
Mei 2001, Luthfi menyatakan bahwa buku-buku karya kaum Orientalis atau Liberal
seperti : AAA. Fyzee, M. Watt, H.A.R. Gibb, Denny, Laroui, Nashr Hamid Abu
Zayd, An- Na’im, Fatima Mernissi, dan lain-lain, lebih disukai dari pada kitab-
kitab Para Ulama Salaf seperti : Syafi’i, Bukhori, Ghazali, dan lain- lain,
yang dinilainya sebagai buku-buku biasa yang membosankan. (Pengaruh
Kristen-Orientalis terhadap Islam, GIP. Jakarta, tahun 2003, hal. 36-37).
· Ulil Abshar Abdallah, MA : Kader
Muda NU dan Pendiri JIL. Pendapatnya ; “Menurut saya, tidak ada yang disebut
Hukum Tuhan dalam pengertian seperti yang dipahami orang Islam. Misalnya Hukum
Tuhan tentang pencurian, jual-beli, pernikahan, pemerintahan dan lain-lain.” (Kompas,
18 November 2002). Pendapatnya yang lain ; “Rasul Muhammad adalah Tokoh
Historis yang harus dikaji dengan kritis (sehingga tidak hanya menjadi mitos
yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang
juga banyak kekurangannya).” (Kompas, 18 November 2002). Selanjutnya ; “Negara
Sekuler lebih unggul daripada Negara Islam ala fundamentalis, sebab Negara
Sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.”
(Tempo edisi 19-25 November 2002). Yang lain lagi ; “Semua agama sama. Semuanya
menuju jalan kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar.” (Gatra, 21
Desember 2002). Yang terakhir ; “Dari segi substansi saya tidak menyesali
tulisan saya.” (Gatra, 21 Desember 2002).
· Goenawan Mohamad Wartawan Tempo,
yang juga tokoh SEPILIS yang RASIS dan FASIS serta berhaluan SOSIALIS. Pernah
membela SALMAN RUSHDI dengan alasan kebebasan mencipta, dan MEMBELA AHMADIYAH
dengan alasan kebebasan beragama, serta MENOLAK RUU ANTI PORNOGRAFI DAN
PORNOAKSI (RUU APP) lewat tulisannya yang berjudul: RUU Porno : Arab atau
Indonesia ? Dia menyimpulkan bahwa RUU APP adalah ARABISASI (Koran Tempo 8
Maret 2006)
Produk Evolusi Pemikiran Barat Terhadap Islam
1.
Liberalisme
Secara terminology Liberalisme dapat
diartikan sebagai paham kebebasan, yaitu paham yang menghendaki adanya
kebebasan individu, sebagai titik tolak dan sekaligus tolok ukur dalam
interaksi sosial. Pengertian tersebut dapat dipahami dari konteks kelahirannya
di Eropa.
Menurut paham liberal, individu
mempunyai kedudukan sangat fundamental, maka kebebasan individu harus dijamin.
Sebagai reaksi terhadap kondisi zamannya, liberalisme mulanya berorientasi pada
kebebasan politik, kemerdekaan agama dan ekonomi.
Pada kehidupan politik melahirkan
pengertian tentang negara yang demokrasi. Pada bidang politik penganut ajaran
liberalisme menginginkan adanya pembatasan kekuasaan negara. Monarki absolut
dianggap tidak relevan. Dalam bidang ini liberalisme berkaitan dengan
demokrasi.
Pada kehidupan agama, liberalisme
dimulai pada masa Renaisanse yang memperjuangkan kebebasan manusia dari
kungkungan gereja/agama.
Pada kehidupan ekonomi, liberalisme
menentang monopoli atau campur tangan pemerintah dalam berusaha, dengan kata
lain menuntut ekonomi bebas. Semboyan mereka : Laisser Faire, Laisser Passer,
Le Monde Va De Lui- Meme". (Produksi bebas, perdagangan bebas, hukum
kodrat kalau akan menyelengarakan harmoni dunia). Dan nasionalisme menurut
adanya UUD Pendidikan Umum, kemerdekaan pers, kemerdekaan berbicara,
kemerdekaan mengeluarkan pendapat, dan beragama.
Liberalisme merupakan antitesis dari
sistem perdagangan yang menggunakan sistem merkhantilisme. Pedagang besar
sering disebut borjuis, mereka ingin memperoleh kebebasan dalam melakukan
usaha. Pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran.
Mereka menyatakan bahwa pemerintahan yang paling baik seharusnya paling sedikit
ikut campur dalam bidang ekonomi. Pandangan ini dikemukakan oleh Adam Smith
(Bapak Ekonomi liberal kapitalis) yang menyatakan bahwa hukum pasar akan diatur
oleh “ invisible hands”.
Negara menurut paham liberalisme
tradisional fungsinya sebagai penjaga malam. Dalam sistem liberalisme peluang
tumbuhnya sistem kapitalisme sangat besar. Sejak timbulnya kapitalisme dan
kemenangan paham liberalisme, imperialisme barat berubah menjadi imperialisme
modern.
Ciri imperialisme modern adalah:
·
Daerah
jajahan sebagai pensuplai bahan baku.
·
Masyarakat
jajahan sebagai sasaran penjualan hasil produksi.
Dalam hubungannya dengan perkembangan nasionalisme di negara Asia –
Afrika, liberalisme memberikan gambaran kontradiktif dari bangsa penjajah
(Eropa pada waktu itu). Hal ini berarti di satu sisi mendengungkan kebebasan,
namun di daerah jajahan sama sekali tidak memberi kebebasan pada bangsa yang
dijajah.
Liberalisme muncul di Eropa abad ke 17, memuncak pada abad ke 19
dan tenggalam pada abad ke 20. Istilah liberalisme ini berasal dari kata
liberales (bahasa Spanyol), yaitu nama partai pada abad ke-19 yang
memperjuangkan pemerintahan konstitusional untuk Spanyol. Waktu itu masyarakat
Eropa ingin berontak terhadap kehidupan politik, budaya serta agama yang
cenderung bersifat absolut. Masyarakat ingin membebaskan diri dari belenggu
absolutisme yang diciptakan golongan bangsawan dan agamawan.
2.
Skularisme
Secara
etimologis, sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasalatin), mempunyai arti dengan dua konotasi, yaitu
waktu dan lokasi: waktu menunjukan
kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’, dan lokasi menunjuk kepada
pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Sekularisme
juga memiliki arti ‘fashluddin anil haya’,yaitumemisahkan peran agama dari
kehidupan yang berarti agama hanya mengurusi
hubungan antara individu dan penciptanya saja. Maka sekularisme secara
bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini.Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat
spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti
dari ajaran agama.
Sekularisme
secara terminology sering didefinisikan
sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara
negara (politik) dan agama (state and religion).
Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang
mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya
dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama
adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang
bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti
hubungan manusia dengan Tuhan. Maka,menurut para sekular, negara dan
agama yang dianggap masing-masing mempunyai
kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada
pada jalurnya sendiri sendiri.
Paham sekuler ini pertama mulai mendunia ketika Harvey
Cox, menulis sebuah buku berjudul “The Secular City”, kemudian menurut Cox, sekularisasi adalah akibat logis dari dampak
kepercayaan Bible terhadap sejarah.
Selanjutnya, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas menuju sekularisasi, yaitu
“disentchantmen of nature” yang dikaitkan dengan penciptaan
(Creation), “desacralization of politics” dengan migrasi
besar-besaran (Exodus) kaum yahudi dari Mesir, dan “deconsecration of values”
dengan perjanjian sinai (Sinai Covenant).
Jadi menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia
dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju dunia
kini. Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka ummat kristen tidak
seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan bible. Maka, tugas kaum
kristiani adalah menyokong dan memelihara sekularisasi.
Yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan antarasekularisasi
dan sekularisme. Menurut Syed naquib Al Attas, Sekularisasi adalah suatu proses
yang berkelanjutan dan berakhir terbuka dimana nilai-nilai dan pandangan-pandangan dunia secara terus menerus diperbarui sesuai
dengan perubahan evolusioner sejarah. Jadi,
sekularisasi merupakan proses keterbukaan pandangan pada nilai-nilai
yang berlangsung tiada ujung –yang selalu berevolusi- sesuai dengan zaman dan
keadaan manusia.
3.
Pluralisme
Pluralisme ( pluralism),
terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham)
yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini
termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster's Revised Unabridged
Dictionary (1913 + 1828) arti pluralism adalah:
“Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah
kerangka dimana dan interaksi beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu
sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa
konflik asimilasi”.
Pluralisme
dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang
paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu
pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Secara garis
besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi
Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pluralisme
tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang
dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan
tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai dimana-mana. Di dalam
masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekerja. Tetapi seseorang dikatakan
menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam
lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama
adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak
agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
terciptanya kerukunan, dalam ke-bhinnekaan
Kedua,
pluralisme
harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu
realita dimana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan disuatu
lokasi. Sebagi contoh adalah kota New York. Kota ini adalak kota kosmopolitan.
Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan
orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di
kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya dibidang agama,
sangat minimal, kalaupun ada.
Ketiga,
konsep
pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan
berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan
oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya.
Sebagai
contoh, “kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa Eropa bahwa “Colombus
menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan “kepercayaan/kebenaran” penduduk
asli benua tersebut yang menyatakan “Colombus mencaplok Amerika”.
Sebagai
konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa pun harus
dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama,
walaupu berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi harus
diterima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang
masa. Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter yang
berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada
perubahan sosial.
Persolannya
kemudian, paham pluralism yang awalnya dimaksudkan untuk membangun konsep
interaksi antara beberapa kelompok agar saling menghormati dan toleransi atas
perbedaan, ujungnya merambah ke
doktrinasi pluralism agama. Sebagai sebuah cara pandang, bagaimana memandang
agama-agama yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang
benar atau semua agama benar.
4.
Multikulturalisme
Multikulturalisme
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang
ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya
(multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai,
sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme
berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan
nilai atau memiliki kepentingan tertentu.
Pendapat
pakar tentang multikulturalisme sebagai berikut ;
·
Azyumandi Azra; “Multikulturalisme” pada
dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.
·
Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007). Masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes
several cultural communities with their overlapping but none the less distinc
conception of the world, system of [meaning, values, forms of social
organizations, historis, customs and practices”;
·
Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174. Multikulturalisme
mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang,
serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
·
Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan
Jary 1991, Watson 2000; Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
·
A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’
Muzhar; Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan
dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis,
budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan
semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan
kemajemukan tersebut.
· Furnivall
berpendapat ; “Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri
dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik”.
· Clifford Gertz
mengatakan ; “Masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi
dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub
sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial”.
· Nasikun
berpandangan ; “Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat
majemuk sejauh masyarakat tersebut secara setruktur memiliki sub-subkebudayaan
yang bersifat deverseyang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang
disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari
satu-kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial”.
· Kesimpulan saya
adalah ; Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari
berbagai elemen, baik itu suku, ras, dll yang hidup dalam suatu kelompok
masyrakat yang memiliki satu pemerintaha tetapi dalam masyarakat itu masig
terdapat segmen- segmen yang tidak bisa disatukan.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme
dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya
secara normatif (istilah
‘monokultural’ juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum
terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau
lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan
sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan
resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking
countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan
ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial
di antara elit.[rujukan?] Namun
beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan
monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat
di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa
negara lainnya.
5.
Kesetaraan
Gender/Feminisme
Feminisme
adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori-teori
sosial, gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan paham ini dimotivasi dan
difokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan, khususnya dalam
istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi.
Salah
satu tipe utama dari feminisme secara institusional, difokuskan pada pembatasan
atau pemberantasan ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak,
kepentingan dan isu-isu kaum perempuan dalam masyarakat. Tipe lainnya yang
berlawanan dengan feminisme modern, -dengan akar sejarahnya yang mendalam-,
memfokuskan pada pencapaian dan penegakan hak keadilan oleh dan untuk
perempuan, dengan dihadap-hadapkan dengan laki-laki, untuk mempromosikan
kesamaan hak, kepentingan dan isu-isu menurut pertimbangan gender.
Jadi,
seperti halnya suatu ideologi, gerakan politik atau filsafat manapun, tidak
pernah didapati bentuk feminis yang tunggal dan universal yang mewakili semua
aktivis feminis. Dalam menggemakan feminis anarkhis, seperti Emma Goldman,
telah berasumsi bahwa hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan dan semua organisasi
perlu dirombak dengan desentralisasi ultra-demokrasi. Sebagian feminis lainnya
berpendapat bahwa pemimpin pusat (central leader) dalam organisasi apapun
berasal dari struktur kekeluargaan yang andosentrik. Maka struktur seperti ini
perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana tersebut melihat bahwa esensi
feminisme sebenarnya adalah isu seks dan gender.
Para
aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak
reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi,
menghapus undang-undang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi),
kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan
(maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual
harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual
violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk
isu-isu patriarkhi dan penindasan.
Tinjauan Kritis Terhadap Paham Menyimpang
1.
Liberalisme
Agama
Pandangan
yang mengatakan bahwa agama merupakan masalah pribadi dan oleh karenanya setiap
individu memiliki kebebasan memeluk agama yang diyakininya, sesungguhnya tidak
bertentangan dengan Islam. Allah sendiri berfirman “ bagimu agamamu dan
bagiku agamaku” (al-kafirun : 6) dan ayat yang artinya “ tidak ada
paksaan dalam agama”( al-Baqarah : 256), menunjukkan bahwa Islam sepakat
dalam hal ini. Tetapi ketika kemerdekaan individu memilih agama melanggar batas
– batas aqidah, disini terbentang jurang pemisah yang sangat tajam antara nilai
kebebasan persepsi Barat dengan nilai – nilai teologi Islam.
Kebebasan
dalam persepsi Barat merupakan nilai yang berangkat dari paham relativisme,
dimana kebebasan bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai zamannya. Misalnya
perkawinan sesama jenis (lesbianisme), dulu dikutuk keras oleh gereja. Tetapi
seiring dengan perubahan paradigm tentang arti kebebasan akhirnya gereja
melegalkan lesbianisme. Dan bahkan beberapa Negara sudah melegalkan perkawinan
sesama jenis dalam konstitusi negaranya. Kebebasan relative ini mendorong orang
berpindah – pindah keyakinan/agama, atau bahkan boleh memilih untuk tidak
beragama.
Konsepsi
Islam tentang kebebasan beragama bersifat absolute, bersumber wahyu. Walaupun
Islam tidak menghendaki adanya paksaan dalam bergama, tetapi tidak memberikan
ruang toleransi kepada pemeluknya untuk berpindah – pindah keyakinan. Sebab
Islam mengimani hal-hal prinsip dalam beraqidah, yaitu ; kafir, murtad, iman,
taqwa, mukmin, muslim, dll. Al-Qur’an tidak membolehkan perkawinan sesama
jenis, maka sampai kapanpun ajaran itu tidak akan berubah.
2.
Pluralism
agama
Diskusi sengit antara Prof. Malikan
dengan Rahmat dalam novel “KEMI”, karangan Adian Husaini, tentang Metodologi
Studi Agama-Agama, sangat menarik untuk dibahas disini. Prof. Malikan
berpendapat bahwa agama – agama di dunia ini sama – sama mengajarkan kebenaran,
sama – sama menuju Tuhan yang satu. “Seharusnya kita keluar dari garis ufuk dan
melihat agama-agama dari titik pandang ketinggian yang sama. Maka kita akan melihat agama-agama
yang ternyata menyembah Tuhan yang sama, hanya cara menyembah dan cara menyebut
Tuhannya saja yang berbeda. Padahal hakikatnya sama.”
Pandangan ini jelas-jelas sangat
bertentangan dengan keimanan ummat Islam. Sebagaimana firman Allah ; “
Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam”. Dan ummat Islam
mengimani seluruh isi al-Qur’an tanpa reserve. Jadi kalau ada paham yang
bertolak belakang dengan realitas ajaran Islam, pasti ditolak. Contoh misalnya
ajaran Kristen menyatakan bahwa Nabi Isa mati dibunuh dan disalib demi menebus
dosa ummatnya. Realitas ajaran ini sangat bertentangan dengan al-Qur’an yang
menyatakan bahwa Nabi Isa tidak mati dibunuh dan disalib. Pada titik pandang
ini, tidak bisa keyakinan seseorang dinetralkan untuk tujuan pembenaran
terhadap agama lain. Agama atau keyakinan itu adalah sikap dan pilihan hidup,
jadi harus jelas berada di posisi mana.
3.
Pemisahan
negara dan agama
Pemuja paham Sekularisme
berpandangan bahwa antara agama dan Negara itu memiliki kewajiban dan tanggung
jawabnya masing – masing. Agama adalah urusan individu dengan Tuhan. Karenanya
agama tidak boleh meng-intervensi invidu, Negara, sosial dan budaya. Paham
sekularisme menggagas aturan – aturan, undang – undang dan nilai – nilai yang
menjadi pedoman dalam menjalankan politik pemerintahan, pengembangan budaya dan
tatanan sosial, haruslah mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dan
disepakati bersama. Cengkeraman dogma Injil (Kristen), Taurat (Yahudi) dan
al-Qur’an (Islam) tidak boleh menjadi hukum negera.
Paham ini yang kemudian melahirkan
paham-paham baru dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti ;
demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), pembebasan pemerintahan monarki, kekuasaan
di tangan rakyat (civil society), civilization, dll. Padahal Rasulullah Saw,
memimpin pemerintahan di Madinah, berhadapan dengan suku-suku dan agama yang
beragam, menggunakan wahyu sebagai sumber hukumnya. Dan terbukti mampu
membangun peradaban baru di dunia Arab, yang terus berkembang selama ratusan
tahun, menjadi imperium raksasa di dunia internasional.
4.
Toleransi
tanpa batas
Kehidupan yang mengutamakan
kebersamaan, toleransi dan saling menghormati antar kelompok masyarakat
meliputi, sosial budaya, ekonomi, suku, ras dan agama, adalah dogma yang
diperjuangkan oleh penganut paham multikulturalisme. Paham ini berpandangan
bahwa menghormati pendapat dan keyakinan orang lain, toleransi antar kehidupan
sosial, budaya, ekonomi dan agama, merupakan misi yang harus dijunjung tinggi.
Kehidupan beragama tidak boleh menjadi sekat dan tembok yang menjauhkan manusia
yang satu dengan manusia lainnya. Sebaliknya, agama seyogyanya menjadi tali
pemersatu antar umat beragama, sekalipun agama yang berbeda dengan keyakinan
kita.
Islam yang diperaktekkan oleh
Rasulullah Saw, sesungguhnya telah memperakarsai sikap tasamuh (toleran),
menghormati pendapat dan keyakinan orang lain. Di Madinah Rasulullah Saw. hidup
berdampingan dengan umat Yahudi, umat Nasrani dan beragam suku yang tinggal di
sekitar Madinah. Rasulullah menjadi model toleran yang sangat baik dan bahkan
diakui oleh umat lainnya. Tetapi untuk hal-hal yang perinsip, soal yang
menyangkut aqidah, tidak semestinya umat Islam melakukan tindakan bodoh dengan
ikut merayakan ‘Natal’ misalnya, berdoa bersama-sama dengan umat Kristen dalam
satu majelis, menolak poligami dan melegalkan kawin beda agama, mendebat
ketidakadilan waris antar laiki-laki dan perempuan, dll. Penghormatan kepada
agama lain tidak boleh menjerumuskan umat kepada kemusyrikan dan kekafiran.
Disinilah garis rentang yang sangat
jauh antara ajaran Islam yang dogmatis bersumber wahyu, dengan nilai – nilai
yang merupakan hasil produk budaya. Toleran tidak berarti menjual agamanya,
toleran tidak berarti menjerumuskan aqidahnya. Toleran tidak boleh menjadikan
keyakinan umatnya bias, tidak bermakna. Toleran hanya boleh pada batas-batas
kemanusiaan tanpa harus melabrak aqidah.
5.
Kesetaraan
hak antara laki-laki dan perempuan
Pendapat orang yang mengatakan
derajat perempuan dengan laki-laki itu sama, sangat bertentangan dengan
al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah ; “kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum
perempuan” (an-Nisa’: 34 ) Emansipasi
tidak semestinya dimaknai sebagai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki
dan perempuan pada sudut pandang yang sama. Sehingga paham kesetaraan gender
menisbikan fitrah dirinya. Kesetaraan gender harus difahami laki-laki dan
perempuan memiliki hak dan kewajiban sesuai fitrahnya. Memiliki hak yang sama,
ya. Dan memiliki kewajiban yang sama, ya. Tetapi hak dan kewajiban laki-laki
dan perempuan berbeda substansinya. Laki-laki memiliki karakter menguasai karena
memiliki tubuh yang lebih kekar dan kuat, laki-laki melindungi, laki-laki
bekerja untuk kebutuhan rumah tangganya dan laki-laki menjadi pemimpin.
Sementara perempuan karakternya lemah lembut karena memiliki tubuh yang lebih
kecil dengan otot-otot yang lemah, perempuan karakternya minta dilindungi,
minta dikasihi, disayangi, perempuan menyusui, merawat dan membesarkan anak.
Oleh karenanya maka tidak rasional
bila perempuan memimpin, perempuan bekerja keras (kecuali pekerjaan yang sesuai
dengan fitrahnya), perempuan menjadi imam shalat dan menjadi kepala rumah
tangga. Itu berlawanan dengan fitrahnya sebagai perempuan.
Kesimpulan
Dari keseluruhan paparan dalam makalah ini dapat disimpulkan antara
lain ;
1.
Paham-paham
menyimpang dalam Islam di Indonesia ternyata telah berkembangan demikian massif
dan tumbuh subur justru di perguruan tinggi Islam, sekolah Islam dan pesantren.
Paham-paham tersebut antara lain ; liberalism, sekularisme, plularisme,
multikulturalisme, kesetaraan gender dan lain – lain, yang semuanya berusaha
merekonstruksi Islam dari berbagai sisi.
2.
Invasi
penyebarluasan paham Barat (westernisasi) telah puluhan tahun dilakukan oleh
pluralis Barat melalui para pelajar Indonesia yang studi di Barat, dan mejadi
lebih intens pasca peristiwa 11 Maret 2001. Dukungan Kementerian Agama juga
memiliki andil sangat besar dalam menumbuh suburkan paham-paham menyimpang ini.
3.
Umat
Islam Indonesia saat ini berhadapan dengan dua masalah besar; pertama,
masalah internal berupa perbedaan persepsi soal, yasinan, tahlilan, qunut,
khurafat, talqin, dll. Kedua, masalah eksternal berupa masuknya paham baru yang
realitasnya menanamkan keraguan pada kebenaran agama, wahyu, tuhan, nabi,
malaikat dan kebenaran Islam. Dekonstruksi makna pada ajaran yang sifatnya
absolute dikaburkan dengan alasan dan logika yang mereka anggap modern dengan
mengatas namakan peradaban baru.
Rekomendasi
1.
Kepada
umat Islam dunia, khususnya Islam di Indonesia agar selektif dalam menerima
pemikiran – pemikiran baru keagamaan. Karena paham-paham menyimpang yang
bernama ; liberalism, sekularisme,
pluralism, multikulturalisme dan persamaan gender, sudah demikian dekat dengan
kehidupan umat Islam itu sendiri. Bisa di sekolah, di keluarga dan kelompok
masyarakat.
2.
Kepada
pemimpin lembaga pendidikan Islam di seluruh Indonesia untuk berhati-hati
menerima pemikiran baru dalam Islam. Rekrutmen tenaga guru, dosen dan tenaga
kependidikan harus melalui seleksi yang ketat guna menghindari arus
sekularisasi dan liberalisasi yang pada puncaknya akan mengubah pandangan agama
generasi umat Islam.
3.
Kepada
pemerintah kiranya me-repersepsi soal pembaruan pemikiran Islam, agar tidak
terjebak dalam kubangan pemahaman yang salah tentang pemikiran Islam yang benar
menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan menurut persepsi manusia yang terperangkap
dalam kepentingan hidup sesaat.