Minggu, 17 Mei 2015

MORAL, ETIKA, BUDI PEKERTI, AKHLAK DAN KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI





Beda Konsep, Satu Muara
secara substansi makna moral, budi pekerti, etika dan akhlak menjadi bagian tak terpisahkan dengan karakter, tetapi masing – masing memiliki sumber dan maknanya sendiri. Setelah diurai, ia akan memiliki persamaan dan perbedaan;
1)  Moral
Moral berasal dari bahasa latin yakni ‘mores’, kata jamak dari ‘mos’ yang berarti adat kebiasaan.  Dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia yang baik dan yang wajar. Istilah moral senantiasa mengacu kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Intinya, objek dari moral adalah perbuatan manusia dengan ukuran baik buruk, bertujuan membentuk karakter manusia.
2)  Budi Pekerti
Secara etimologis budi pekerti dapat dimaknai sebagai penampilan diri yang berbudi. Secara leksikal budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Secara operasional, budi pekerti dapat dimaknai sebagai prilaku yang tercermin dalam kata, perbuatan, pikiran, sikap dan perasaan, keinginan dan hasil karya. Dalam hal ini budi pekerti diartikan  sebagai sikap atau prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga maupun masyarakat bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jadi diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas dan kesinambungan masa depan dalam suatu system nilai moral, dan yang menjadi pedoman  prilaku manusia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3)  Etika
Secara etimologis kata ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata ‘ethos’ yang berarti adat atau kebiasaan baik yang tetap. Orang yang pertama kali menggunakan kata-kata itu  adalah seorang filosof Yunani, yakni Aristoteles (384-322 SM). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, perkataan, sikap, kewajiban dan lain sebagainya. Intinya, etika juga merupakan objek prilaku manusia dengan ukuran baik dan buruk persepsi manusia dengan tujuan membentuk karakter manusia.
4)  Akhlak
Secara etimologis akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitive) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan. Sesuai dengan bentuk tsulatsi mazid wazan af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai) at-thabi’ah (kelakuan, tabiat atau watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik) dan al-dien (agama). Secara terminologis akhlak ialah suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Selanjutnya Hamzah Ya’qub (2008) mengurai kata akhlak dari segi persesuaiannya. Misalnya dengan kata khalqun yang berarti kejadian yang erat hubungannya dengan khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan). Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan ada hubungan baik antara kholiq dan makhluq. Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam al-Qur’an; Surat al-Qolam ayat 4, ‘Waiinaka la’ala khuluqin ‘adzim” (sesungguhnya engkau ya Muhammad, mempunyai budi pekerti yang luhur).
Berangkat dari definisi akhlak diatas, maka akhlak terbagi menjadi dua bagian. Pertama adalah akhlak yang baik yang dinamakan akhlaq al-mahmudah (akhlak terpuji) atau biasa dikenal dengan akhlaq al-karimah (akhlak yang mulia). Kedua disebut akhlak mamdudah (akhlak tercela).
Memperhatikan definisi diatas maka dapat disimpulkan persamaan dan perbedaan antara moral, budi pekerti, etika dan akhlak, sebagai berikut;
NILAI
SUMBER
UKURAN
TUJUAN
Moral
Persepsi Manusia
Baik dan Buruk
Membentuk karakter
Budi Pekerti
Persepsi Manusia
Prilaku Baik
Etika
Persepsi Manusia
Menurut Adat dan Kebiasaan
Baik dan buruk menurut adat dan kebiasaan
Akhlak
Al-Qur’an dan as-Sunnah/ Wahyu
Baik dan buruk menurut Allah

Sri Narwanti dalam bukunya “Pendidikan Karakter”, mengurai persamaan dan perbedaan antara akhlak, moral dan karakater sebagai berikut;
1.  Sumber Acuan;
a)  Moral bersumber dari norma atau adat istiadat
b)  Akhlak bersumber dari wahyu
c)  Karakter bersumber dari penyadaran dan kepribadian
2.  Sifat Pemikiran;
a)  Moral bersifat empiris
b)  Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
c)  Karakter merupakan perpaduan antara akal, kesadaran dan kepribadian
3.  Proses Munculnya Perbuatan;
a)  Moral muncul karena pertimbangan suasana
b)  Akhlak muncul secara spontan tanpa pertimbangan
c)  Karakter merupakan proses dan bisa mengalami perubahan.
                            
Urgensi Pendidikan Karakter
Thomas Lichona, seorang professor pendidikan dari Cortland  University, mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda zaman yang kini terjadi, yang harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju kehancuran. Sepuluh tanda zaman tersebut adalah ;
1)     dan kebencian antar agama, suku, ras, Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/masyarakat.
2)     Penggunaan bahasa atau kata-kata yang memburuk/ tidak baku.
3)     Pengaruh per group (geng) dalam tindak kekerasan, menguat.
4)     Meningkatnya prilaku merusak diri, seperti penggunaan narkotika, alcohol dan sek bebas.
5)     Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk.
6)     Menurunnya etos kerja.
7)     Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.
8)     Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok.
9)     Membudayanya kebohongan dan ketidakjujuran.
10) Adanya saling curiga kelompok dan bangsa.
Memperhatikan tanda zaman yang semakin memburuk diatas, maka membangun karakter individu, keluarga dan masyarakat menjadi sangat penting dalam kerangka membangun karakter bangsa yang berakhlak, beradab dan berbudaya. Untuk itu pendidikan karakter harus dimulai dari lingkungan terdekat dan yang secara kuantitas memiliki waktu paling banyak berinteraksi dengan anak, yakni lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga memiliki waktu lebih dari 70% berinteraksi dengan anak, sedangkan sekolah hanya meiliki kurang lebih sekitar 30% atau kurang lebih tujuh jam perhari.
Bila dilihat dari sisi besarnya peran dan tanggung jawab pendidikan, maka pendidikan di keluarga memiliki peran dan tanggung jawab paling besar. Setelah itu pendidikan di sekolah, dan sisanya anak dibentuk dalam lingkungan masyarakat. Porsi tersebut terjadi pada fase anak-anak, antara 0 tahun sampai dengan 12 tahun. Pada fase berikutnya porsi keluarga mulai berkurang karena anak sudah mulai memperluas interaksinya dengan masyarakat. Pada fase seperti ini, biasanya porsi kehidupan anak akan terbagi antara lain; di keluarga 40%, di masyarakat 30% dan di sekolah 30%. Dalam kondisi ini , bila di keluarga pendidikan tidak dipersiapkan dengan baik, terutama pendidikan peraktis melalui pembiasaan yang baik meliputi ; kata-kata, prilaku, penanaman nilai-nilai aqidah dan akhlaqul karimah, maka lingkungan lainnya harus mendominasi dalam upaya mempengarui perkembangan sikap dan mental seorang anak. Sekolah merupakan lingkungan lain yang harus mengambil alih peran dan tanggung jawab pembinaan karakter seorang anak.
Akan sangat berbahaya sekali, bagi sebuah keluarga yang sudah mengalami erosi nilai akibat kesibukan orang tua diluar rumah, sedangkan sekolah tidak mampu menyuguhkan system pendidikan yang mengarah kepada pembentukan dan pembinaan karakter. Maka harapan yang terakhir adalah lingkungan masyarakat. Padahal lingkungan masyarakat tidak bisa menjamin tersedianya tradisi atau budaya yang dapat memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan dan perkembangan karakter anak. Karena kehidupan masyarakat relative tidak bisa didesain oleh seorang penguasa sekalipun. Ia biasanya berjalan natural sebagaimana adanya dan sebagaimana adatnya. Bila adat dan tradisinya baik, ia akan memberikan sumbangsih bagi pembentukan karakter baik. Sebaliknya, bila adat dan tradisinya jelek, ia akan memberikan pengaruh dalam hal-hal yang buruk. Disinilah, peran pendidikan karakter dibutuhkan kehadirannya, ditengah hancurnya tata nilai dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Sebagai bagian dari warga Negara dan sebagai bagian dari ummat Islam, seyogyanya kita semua mengemban amanah untuk bersama-sama membangun kehidupan masyarakat yang berkarakter, berbudaya dan beradab. Yang tentu saja semuanya itu harus berangkat dari pendidikan karakter. Ada beberapa alasan mengapa pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab bersama selaku warga Negara, antara lain;
1)     Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
2)     Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk manusia Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
3)     Pendidikan karakter menurut Thomas Lichona, adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), serta tindakan (action). Tanpa ketiganya maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, maka seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi inilah yang akan menjadi bekalh dalam rangka mempersiapkan anak di masa depan.

Karakter Seorang Mukmin
Karakter seorang mukmin semestinya berdasar kepada akhlak yang bersumber dari wahyu. Rasulullah Saw menjabarkan akhlak itu sebagaimana sabdanya ;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن من أخلاق المؤمن قوة فى دين وحزما فى لين وإيمانا فى يقين وحرصا فى علم وشفقة فى مقة وحلما فى علم وقصدا فى غنى وتجملا فى فاقة وتحرجا عن طمع وكسبافى حلال وبرا فى إستقامة ونشاطا فى هدى ونهيا عن شهوة ورحمة للمجهود وإن المؤمن من عباد الله لايحيف على من يبغض ولايأثم فى من يحب ولايضيع ماستودع ولايحسد ولا يطعن ولايلعن ولا يعترف بالحق وإن لم يشهد عليه ولايتنابز بالألقاب فى الصلاة متخشعا إلى الزكاة مسرعا فى الزلازل وقورا فىالرخاء شكورا قانعا بالذى له لايدعى ما ليس له ولا يجمع فى الغيظ ولايغلبه الشخ عن معروف يريده يخالط الناس كى يعلم ويناطقهم كى يفهم وإن ظلم وبغى عليه صبر حتى يكون الرحمن هواللذى ينتصر له (رواه الحكيم عن جندب)
Inti dari hadits ini menjelaskan 28 (dua puluh delapan) macam karakter seorang mukmin, antara lain ;
NO
NILAI KARAKTER
NO
NILAI KARAKTER
01
Kuat Agamanya (ibadahnya)
15
Tidak berlebihan ketika mencintai sesuatu
02
Tegas dalam prinsip, luwes dalam sikap
16
Tidak menyia-nyiakan amanah
03
Imannya disertai dengan keyakinan
17
Tidak hasud dan tidak melaknat orang lain
04
Memiliki keinginan kuat dalam mencari ilmu
18
Bersaksi dalam kebenaran
05
Memiliki kasih sayang kepada orang yang menderita
19
Tidak memanggil orang dengan panggilan yang buruk
06
Sabar dalam mencari ilmu
20
Khusyuk dalam shalatnya
07
Sederhana ketika kaya
21
Cepat dalam mengeluarkan zakat
08
Berpenampilan indah ketika mengalami kesulitan hidup (tidak menampakkan kesusahan)
22
Tabah dan sabar ketika mendapatkan ujian
09
Menjauhkan diri dari sifat rakus
23
Syukur ketika mendapatkan kesenangan
10
Berusaha memiliki usaha yang halal
24
Tidak mau mengambil yang bukan haknya
11
Istiqomah dalam kebaikan
25
Mampu mengendalikan diri ketika marah
12
Aktif dalam mendapatkan hidayah Allah
26
Tidak kikir dalam kebaikan
13
Mampu mengendalikan diri dari nafsu syahwat
27
Bergaul dan berinteraksi dengan sesame manusia
14
Tidak kasar pada orang yang membencinya
28
Bersabar ketika menghadapi kedzaliman

Konsep Pendidikan Karakter Islami
Pengertian Pendidikan Karakter Islami
Merujuk kepada beberapa pendapat dalam perspektif pemikiran Islam tentang definisi karakter, antara lain;
1) Imam Abu Hamadi al-ghazali; “ akhlak adalah sifat yang tertanam (terpatri) dalam jiwa yang darinya menimbulkan perbuatan-perbuatan yang gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (perenungan) terlebih dahulu”.
2) Ibnu Maskawaih; “ akhlak adalah keadaan gerak jiwa  yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran”.
3) Muhammad bin Ali Asy-Syarif al-Jurjani; “ akhlak adalah suatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa perlu berpikir dan merenung”.
4) Muhammad bin Ali al-Faruqi at-Tahanawi; “ akhlak adalah keseluruhan kebiasaan, siafat alami, agama dan harga diri”.
5) Imam Ghazali; “karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu sepontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi”.
6) Ibn Taimiyah; “karakter itu adalah tabiat yang merupakan fitrah manusia. Fitrah tersebut menjadi bahasan pokok dalam pendidikan. Bahasan pokok tersebut mengenai dimensi ibadah untuk mentauhidkan Allah Swt agar menjadi kebutuhan. Sehingga sumber kekuatan, kebahagiaan (sa’adah), dan islah kepribadian adalah iman.
Berdasarkan pada beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan karakter islami ialah upaya internalisasi nilai-nilai yang dilakukan secara sadar dan simultan, kontinyu, berbasis keteladanan yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, untuk membina dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang mukmin, muttaqin, muhsin dan berakhlak mulia.

Tujuan, Fungsi dan Prinsip Pendidikan Karakter
1.     Tujuan
Pada dasarnya pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong – royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
2.     Fungsi
Diantara fungsi – fungsi pendidikan karakter adalah ;
a)     mengembangkan potensi dasar manusia agar berhati baik, berpikiran baik dan berprilaku baik,
b)     membangun dan memperkuat  prilaku bangsa yang berkeadaban di tengah kehidupan mulkultural,
c)      meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

3.     Prinsip
Kemendiknas memberikan rekomendasi 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut ;
Ø Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter;
Ø Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan prilaku;
Ø Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter;
Ø Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian;
Ø Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan prilaku yang baik;
Ø Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses;
Ø Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik;
Ø Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dassar yang sama;
Ø Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter;
Ø Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter;
Ø Mengivaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik;
 
Nilai-Nilai Karakter Islami
Nilai-Nilai Karakter Islami adalah persepsi baik dan buruk yang berbasis kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jauh berbeda dengan nilai-nilai karakter universal, yaitu nilai baik dan buruk yang berstandar pada persepsi manusia. Ummat Islam sudah semestinya menanamkan nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Agar penggunaan istilah dan implementasinya tidak bias, dan bahkan lebih bermakna serta esensi nilai keislamannya lebih eksis melekat pada diri seorang muslim. Dengan begitu seorang muslim dapat menunjukkan jati dirinya pada posisi yang jelas; “muslim”. Tidak pada posisi yang abu-abu.
Nilai-nilai karakter yang bersumber dari produk budaya maupun yang bersumber dari wahyu, hampir – hampir tidak terjadi kontroversi soal substansi baik dan buruk. Tetapi pasti terjadi perdebatan ketika menyoal esensi dari sebuah objek nilai. Nilai moral seperti “jujur” misalnya, akan sangat berbeda nilainya ketika jujur dipersepsikan oleh pandangan umum manusia, dengan jujur ketika dilihat dari dimensi wahyu. Jujur dalam persepsi manusia hanya menyangkut soal hubungan manusia dengan manusia, soal pengakuan orang lain terhadap individu, dan soal eksistensi serta aktualisasi diri. Tapi jujur dalam dimensi wahyu akan menyangkut soal martabat (‘izzah), ibadah (worship) dan pahala (reward) dari al-khaliq, termasuk juga hal-hal yang terkait dalam persepsi umum. Ada juga yang menurut pandangan dan pengakuan masyarakat umum, sebuah pekerjaan itu bernilai baik, tapi dalam pandangan Islam tidak baik. Silaturrahmi misalnya. Menurut pandangan umum silaturrahmi itu pekerjaan baik, tapi ketika silaturrahmi dilakukan dalam rangka ikut merayakan hari raya agama lain, ia akan membentur konsep aqidah dalam Islam. Maka silaturrahmi dalam bentuk seperti ini menjadi tidak baik.

Penulis adalah Dosen Tetap Institut Agama Islam (IAI)       Al-Azhaar Lubuklinggau. Merangkap beberapa jabatan; Wakil Rektor 1 IAI Al-Azhaar, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Azhaar, Ketua Yayasan Permata Nusantara Al-Azhaar dan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Lubuklinggau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar