Beda Konsep, Satu Muara
secara substansi makna
moral, budi pekerti, etika dan akhlak menjadi bagian tak terpisahkan dengan
karakter, tetapi masing – masing memiliki sumber dan maknanya sendiri. Setelah
diurai, ia akan memiliki persamaan dan perbedaan;
1) Moral
Moral berasal
dari bahasa latin yakni ‘mores’, kata jamak dari ‘mos’ yang berarti adat
kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia moral
diartikan dengan susila. Moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia yang baik dan yang wajar. Istilah moral senantiasa
mengacu kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Intinya, objek
dari moral adalah perbuatan manusia dengan ukuran baik buruk, bertujuan
membentuk karakter manusia.
2) Budi Pekerti
Secara etimologis budi
pekerti dapat dimaknai sebagai penampilan diri yang berbudi. Secara
leksikal budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Secara
operasional, budi pekerti dapat dimaknai sebagai prilaku yang tercermin dalam
kata, perbuatan, pikiran, sikap dan perasaan, keinginan dan hasil karya. Dalam
hal ini budi pekerti diartikan sebagai
sikap atau prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga maupun masyarakat
bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jadi
diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas dan kesinambungan masa depan
dalam suatu system nilai moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia untuk bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
3) Etika
Secara etimologis kata ‘etika’
berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata ‘ethos’ yang berarti adat atau kebiasaan
baik yang tetap. Orang yang pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani, yakni
Aristoteles (384-322 SM). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika
adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, perkataan, sikap,
kewajiban dan lain sebagainya. Intinya, etika juga merupakan objek prilaku
manusia dengan ukuran baik dan buruk persepsi manusia dengan tujuan membentuk
karakter manusia.
4) Akhlak
Secara etimologis akhlak
berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitive) dari kata
akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan. Sesuai dengan bentuk tsulatsi mazid wazan af’ala,
yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai) at-thabi’ah (kelakuan,
tabiat atau watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman),
al-muru’ah (peradaban yang baik) dan al-dien (agama). Secara terminologis akhlak ialah suatu keinginan
yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi
akal/pikiran. Selanjutnya Hamzah Ya’qub (2008) mengurai kata akhlak dari segi
persesuaiannya. Misalnya dengan kata khalqun yang berarti kejadian yang erat
hubungannya dengan khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan).
Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan
ada hubungan baik antara kholiq dan makhluq. Perkataan ini bersumber dari
kalimat yang tercantum dalam al-Qur’an; Surat al-Qolam ayat 4, ‘Waiinaka
la’ala khuluqin ‘adzim” (sesungguhnya engkau ya Muhammad, mempunyai budi
pekerti yang luhur).
Berangkat dari definisi
akhlak diatas, maka akhlak terbagi menjadi dua bagian. Pertama adalah akhlak
yang baik yang dinamakan akhlaq al-mahmudah (akhlak terpuji) atau
biasa dikenal dengan akhlaq al-karimah (akhlak yang mulia). Kedua
disebut akhlak mamdudah (akhlak tercela).
Memperhatikan definisi diatas
maka dapat disimpulkan persamaan dan perbedaan antara moral, budi pekerti,
etika dan akhlak, sebagai berikut;
NILAI
|
SUMBER
|
UKURAN
|
TUJUAN
|
Moral
|
Persepsi Manusia
|
Baik dan Buruk
|
Membentuk karakter
|
Budi Pekerti
|
Persepsi Manusia
|
Prilaku Baik
|
|
Etika
|
Persepsi Manusia
Menurut Adat dan Kebiasaan
|
Baik dan buruk menurut adat
dan kebiasaan
|
|
Akhlak
|
Al-Qur’an dan as-Sunnah/
Wahyu
|
Baik dan buruk menurut Allah
|
Sri Narwanti dalam bukunya
“Pendidikan Karakter”, mengurai persamaan dan perbedaan antara akhlak, moral
dan karakater sebagai berikut;
1. Sumber Acuan;
a) Moral bersumber dari norma atau adat istiadat
b) Akhlak bersumber dari wahyu
c) Karakter bersumber dari penyadaran dan
kepribadian
2. Sifat Pemikiran;
a) Moral bersifat empiris
b) Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan
akal
c) Karakter merupakan perpaduan antara akal,
kesadaran dan kepribadian
3. Proses Munculnya Perbuatan;
a) Moral muncul karena pertimbangan suasana
b) Akhlak muncul secara spontan tanpa pertimbangan
c) Karakter merupakan proses dan bisa mengalami
perubahan.
Urgensi Pendidikan
Karakter
Thomas Lichona, seorang
professor pendidikan dari Cortland
University, mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda zaman yang kini
terjadi, yang harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju kehancuran.
Sepuluh tanda zaman tersebut adalah ;
1)
dan
kebencian antar agama, suku, ras, Meningkatnya kekerasan di kalangan
remaja/masyarakat.
2)
Penggunaan
bahasa atau kata-kata yang memburuk/ tidak baku.
3)
Pengaruh
per group (geng) dalam tindak kekerasan, menguat.
4)
Meningkatnya
prilaku merusak diri, seperti penggunaan narkotika, alcohol dan sek bebas.
5)
Semakin
kaburnya pedoman moral baik dan buruk.
6)
Menurunnya
etos kerja.
7)
Semakin
rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.
8)
Rendahnya
rasa tanggung jawab individu dan kelompok.
9)
Membudayanya
kebohongan dan ketidakjujuran.
10) Adanya saling curiga kelompok dan bangsa.
Memperhatikan tanda zaman
yang semakin memburuk diatas, maka membangun karakter individu, keluarga dan
masyarakat menjadi sangat penting dalam kerangka membangun karakter bangsa yang
berakhlak, beradab dan berbudaya. Untuk itu pendidikan karakter harus dimulai
dari lingkungan terdekat dan yang secara kuantitas memiliki waktu paling banyak
berinteraksi dengan anak, yakni lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga
memiliki waktu lebih dari 70% berinteraksi dengan anak, sedangkan sekolah hanya
meiliki kurang lebih sekitar 30% atau kurang lebih tujuh jam perhari.
Bila dilihat dari sisi
besarnya peran dan tanggung jawab pendidikan, maka pendidikan di keluarga
memiliki peran dan tanggung jawab paling besar. Setelah itu pendidikan di
sekolah, dan sisanya anak dibentuk dalam lingkungan masyarakat. Porsi tersebut
terjadi pada fase anak-anak, antara 0 tahun sampai dengan 12 tahun. Pada fase
berikutnya porsi keluarga mulai berkurang karena anak sudah mulai memperluas
interaksinya dengan masyarakat. Pada fase seperti ini, biasanya porsi kehidupan
anak akan terbagi antara lain; di keluarga 40%, di masyarakat 30% dan di
sekolah 30%. Dalam kondisi ini , bila di keluarga pendidikan tidak dipersiapkan
dengan baik, terutama pendidikan peraktis melalui pembiasaan yang baik meliputi
; kata-kata, prilaku, penanaman nilai-nilai aqidah dan akhlaqul karimah, maka
lingkungan lainnya harus mendominasi dalam upaya mempengarui perkembangan sikap
dan mental seorang anak. Sekolah merupakan lingkungan lain yang harus mengambil
alih peran dan tanggung jawab pembinaan karakter seorang anak.
Akan
sangat berbahaya sekali, bagi sebuah keluarga yang sudah mengalami erosi nilai
akibat kesibukan orang tua diluar rumah, sedangkan sekolah tidak mampu
menyuguhkan system pendidikan yang mengarah kepada pembentukan dan pembinaan
karakter. Maka harapan yang terakhir adalah lingkungan masyarakat. Padahal
lingkungan masyarakat tidak bisa menjamin tersedianya tradisi atau budaya yang
dapat memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan dan perkembangan karakter
anak. Karena kehidupan masyarakat relative tidak bisa
didesain oleh seorang penguasa sekalipun. Ia biasanya berjalan natural
sebagaimana adanya dan sebagaimana adatnya. Bila adat dan tradisinya baik, ia
akan memberikan sumbangsih bagi pembentukan karakter baik. Sebaliknya, bila
adat dan tradisinya jelek, ia akan memberikan pengaruh dalam hal-hal yang
buruk. Disinilah, peran pendidikan karakter dibutuhkan kehadirannya, ditengah
hancurnya tata nilai dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Sebagai bagian dari warga
Negara dan sebagai bagian dari ummat Islam, seyogyanya kita semua mengemban
amanah untuk bersama-sama membangun kehidupan masyarakat yang berkarakter,
berbudaya dan beradab. Yang tentu saja semuanya itu harus berangkat dari
pendidikan karakter. Ada beberapa alasan mengapa pendidikan karakter ini
menjadi tanggung jawab bersama selaku warga Negara, antara lain;
1)
Pembentukan
karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas
tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan
akhlak mulia.
2)
Amanah
UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk
manusia Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter
sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
3)
Pendidikan
karakter menurut Thomas Lichona, adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), serta tindakan (action).
Tanpa ketiganya maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan
karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, maka seorang anak
akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi inilah yang akan menjadi bekalh
dalam rangka mempersiapkan anak di masa depan.
Karakter Seorang Mukmin
Karakter seorang mukmin semestinya
berdasar kepada akhlak yang bersumber dari wahyu. Rasulullah Saw menjabarkan
akhlak itu sebagaimana sabdanya ;
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم إن من أخلاق المؤمن قوة فى دين وحزما فى لين وإيمانا فى
يقين وحرصا فى علم وشفقة فى مقة وحلما فى علم وقصدا فى غنى وتجملا فى فاقة وتحرجا
عن طمع وكسبافى حلال وبرا فى إستقامة ونشاطا فى هدى ونهيا عن شهوة ورحمة للمجهود
وإن المؤمن من عباد الله لايحيف على من يبغض ولايأثم فى من يحب ولايضيع ماستودع
ولايحسد ولا يطعن ولايلعن ولا يعترف بالحق وإن لم يشهد عليه ولايتنابز بالألقاب فى
الصلاة متخشعا إلى الزكاة مسرعا فى الزلازل وقورا فىالرخاء شكورا قانعا بالذى له
لايدعى ما ليس له ولا يجمع فى الغيظ ولايغلبه الشخ عن معروف يريده يخالط الناس كى
يعلم ويناطقهم كى يفهم وإن ظلم وبغى عليه صبر حتى يكون الرحمن هواللذى ينتصر له
(رواه الحكيم عن جندب)
Inti dari hadits ini menjelaskan 28 (dua
puluh delapan) macam karakter seorang mukmin, antara lain ;
NO
|
NILAI KARAKTER
|
NO
|
NILAI KARAKTER
|
01
|
Kuat Agamanya (ibadahnya)
|
15
|
Tidak berlebihan ketika mencintai sesuatu
|
02
|
Tegas dalam prinsip, luwes dalam sikap
|
16
|
Tidak menyia-nyiakan amanah
|
03
|
Imannya disertai dengan keyakinan
|
17
|
Tidak hasud dan tidak melaknat orang lain
|
04
|
Memiliki keinginan kuat dalam
mencari ilmu
|
18
|
Bersaksi dalam kebenaran
|
05
|
Memiliki kasih sayang kepada orang yang
menderita
|
19
|
Tidak memanggil orang dengan panggilan yang
buruk
|
06
|
Sabar dalam mencari ilmu
|
20
|
Khusyuk dalam shalatnya
|
07
|
Sederhana ketika kaya
|
21
|
Cepat dalam mengeluarkan zakat
|
08
|
Berpenampilan indah ketika mengalami
kesulitan hidup (tidak menampakkan kesusahan)
|
22
|
Tabah dan sabar ketika mendapatkan ujian
|
09
|
Menjauhkan diri dari sifat rakus
|
23
|
Syukur ketika mendapatkan kesenangan
|
10
|
Berusaha memiliki usaha yang halal
|
24
|
Tidak mau mengambil yang bukan haknya
|
11
|
Istiqomah dalam kebaikan
|
25
|
Mampu mengendalikan diri ketika marah
|
12
|
Aktif dalam mendapatkan hidayah Allah
|
26
|
Tidak kikir dalam kebaikan
|
13
|
Mampu mengendalikan diri dari nafsu syahwat
|
27
|
Bergaul dan berinteraksi dengan sesame
manusia
|
14
|
Tidak kasar pada orang yang membencinya
|
28
|
Bersabar ketika menghadapi kedzaliman
|
Konsep Pendidikan Karakter Islami
Pengertian Pendidikan Karakter Islami
Merujuk
kepada beberapa pendapat dalam perspektif pemikiran Islam tentang definisi
karakter, antara lain;
1) Imam Abu Hamadi al-ghazali; “ akhlak adalah
sifat yang tertanam (terpatri) dalam jiwa yang darinya menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan (perenungan) terlebih dahulu”.
2) Ibnu Maskawaih; “ akhlak adalah keadaan
gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran”.
3) Muhammad bin Ali Asy-Syarif al-Jurjani; “
akhlak adalah suatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa perlu berpikir dan merenung”.
4) Muhammad bin Ali al-Faruqi at-Tahanawi; “
akhlak adalah keseluruhan kebiasaan, siafat alami, agama dan harga diri”.
5) Imam Ghazali; “karakter lebih dekat dengan
akhlak, yaitu sepontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan
yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu
dipikirkan lagi”.
6) Ibn Taimiyah; “karakter itu adalah tabiat
yang merupakan fitrah manusia. Fitrah tersebut menjadi
bahasan pokok dalam pendidikan. Bahasan pokok tersebut mengenai dimensi ibadah
untuk mentauhidkan Allah Swt agar menjadi kebutuhan. Sehingga sumber kekuatan,
kebahagiaan (sa’adah), dan islah kepribadian adalah iman”.
Berdasarkan pada beberapa
definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan karakter
islami ialah upaya internalisasi nilai-nilai yang dilakukan secara sadar dan
simultan, kontinyu, berbasis keteladanan yang bersumber pada al-Qur’an dan
as-Sunnah, untuk membina dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang mukmin,
muttaqin, muhsin dan berakhlak mulia.
Tujuan, Fungsi dan Prinsip Pendidikan Karakter
1.
Tujuan
Pada dasarnya pendidikan
karakter bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergotong – royong, berjiwa patriotik, berkembang
dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai
oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
2.
Fungsi
Diantara fungsi – fungsi
pendidikan karakter adalah ;
a)
mengembangkan
potensi dasar manusia agar berhati baik, berpikiran baik dan berprilaku baik,
b)
membangun
dan memperkuat prilaku bangsa yang
berkeadaban di tengah kehidupan mulkultural,
c)
meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
3.
Prinsip
Kemendiknas memberikan
rekomendasi 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif,
sebagai berikut ;
Ø Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai
basis karakter;
Ø Mengidentifikasi karakter secara komprehensif
supaya mencakup pemikiran, perasaan dan prilaku;
Ø Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan
efektif untuk membangun karakter;
Ø Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki
kepedulian;
Ø Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menunjukkan prilaku yang baik;
Ø Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang
menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka
untuk sukses;
Ø Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para
peserta didik;
Ø Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai
komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia
pada nilai dassar yang sama;
Ø Adanya pembagian kepemimpinan moral dan
dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter;
Ø Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
dalam usaha membangun karakter;
Ø Mengivaluasi karakter sekolah, fungsi staf
sekolah sebagai guru-guru karakter dan manifestasi karakter positif dalam
kehidupan peserta didik;
Nilai-Nilai Karakter
Islami
Nilai-Nilai Karakter Islami adalah persepsi baik dan buruk yang berbasis kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jauh berbeda dengan nilai-nilai
karakter universal, yaitu nilai baik dan buruk yang berstandar pada persepsi manusia. Ummat Islam sudah semestinya
menanamkan nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Agar
penggunaan istilah dan implementasinya tidak bias, dan bahkan lebih bermakna
serta esensi nilai keislamannya lebih eksis melekat pada diri seorang muslim.
Dengan begitu seorang muslim dapat menunjukkan jati dirinya pada posisi yang jelas;
“muslim”. Tidak pada posisi yang abu-abu.
Nilai-nilai karakter yang
bersumber dari produk budaya maupun yang bersumber dari wahyu, hampir – hampir
tidak terjadi kontroversi soal substansi baik dan buruk. Tetapi pasti terjadi
perdebatan ketika menyoal esensi dari sebuah objek nilai. Nilai moral seperti “jujur”
misalnya, akan sangat berbeda nilainya ketika jujur dipersepsikan oleh
pandangan umum manusia, dengan jujur ketika dilihat dari dimensi wahyu. Jujur
dalam persepsi manusia hanya menyangkut soal hubungan manusia dengan manusia,
soal pengakuan orang lain terhadap individu, dan soal eksistensi serta
aktualisasi diri. Tapi jujur dalam dimensi wahyu akan menyangkut soal martabat
(‘izzah), ibadah (worship) dan pahala (reward) dari
al-khaliq, termasuk juga hal-hal yang terkait dalam persepsi umum. Ada juga
yang menurut pandangan dan pengakuan masyarakat umum, sebuah pekerjaan itu
bernilai baik, tapi dalam pandangan Islam tidak baik. Silaturrahmi misalnya.
Menurut pandangan umum silaturrahmi itu pekerjaan baik, tapi ketika
silaturrahmi dilakukan dalam rangka ikut merayakan hari raya agama lain, ia
akan membentur konsep aqidah dalam Islam. Maka silaturrahmi dalam bentuk
seperti ini menjadi tidak baik.
Penulis adalah Dosen Tetap Institut Agama
Islam (IAI) Al-Azhaar Lubuklinggau.
Merangkap beberapa jabatan; Wakil Rektor 1 IAI Al-Azhaar, Pimpinan Pondok
Pesantren Al-Azhaar, Ketua Yayasan Permata Nusantara Al-Azhaar dan Ketua
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Lubuklinggau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar