Minggu, 17 Mei 2015

PERGULATAN PESANTREN DI TENGAH PERSAINGAN GLOBAL (SEBUAH PROSES MENCARI IDENTITAS DIRI)

A.      Pendahuluan
Perkembangan pesantren dari waktu ke waktu mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Perkembangan itu ditandai dengan adaptasi dan inovasi tiada henti dari berbagai aspek menyesuaikan diri dengan tantangan dan kebutuhan zamannya. Pergumulan pesantren dengan berbagai problematikanya dalam menghadapi perubahan dan kemajuan zaman telah membantu membangun jati dirinya sebagai lembaga pendidikan yang kokoh dan mengakar pada tradisi masyarakat di mana ia berada dan dilahirkan. Keberadaannya di tengah – tengah masyarakat senantiasa menjadi wadah perekat umat serta sebagai centre of agent, yaitu ; 1) agent of change (agen perubahan), 2) agent of knowladge (agen ilmu pengetahuan), dan 3) agent of culture (agen budaya)[1].
Sembari mengemban misinya tersebut pesantren terus bergulat di pentas sejarah mengaktualisasi diri dengan proses evolusi dan inovasi, menyeimbangkan eksistensinya dengan modernitas yang terjadi dari zaman ke zaman. Walaupun tidak dipungkiri bahwa masih ada sebagian kecil pesantren yang konsisten pada bidang garapan dakwah dan pelestarian tradisi salaf (tradisional) dengan kajian kutub at turast (kitab kuning), focus pada kajian ilmu-ilmu agama (ke-akhiratan) seperti tasawuf, fiqih, tauhid, tajwid, al-Qur’an berikut tafsirnya, ilmu mantiq dan lainya[2], serta menutup mata terhadap kemajuan dan kompleksitas tantangan global, dimana generasi kita akan hidup di dalamnya. Padahal Rasulullah mengajarkan dalam hadist nya ;
إعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل لأخرتك كأنك تموت غدا
“ Bekerjalah dalam urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk urusan akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”
Allah Swt pun menuntun umat-Nya agar senantiasa memanjatkan doa dengan kalimat yang meng-integrasikan antara dunia dan akhirat, dalam doa sapu jagat ;
Oßg÷YÏBur `¨B ãAqà)tƒ !$oY­/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$#
Dan diantara mereka berkata; Tuhan, berikan kami kehidupan dunia yang baik, dan kehidupan akhirat yang baik pula, dan peliharalah kami dari siksa api neraka” (Q.S. al-Baqarah, 2:201)
Ayat dan hadist diatas seakan ingin memberikan penjelasan bahwa kehidupan dunia dan akhirat adalah tujuan kehidupan manusia, meliputi tujuan jangka pendek, menengah dan panjang. Islam juga memberikan pesan yang jelas mengenai pentingnya keseimbangan hidup antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. Sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’an ;

“ Hendaklah kamu berbuat sebaik-baiknya untuk akhiratmu, tapi jangan melupakan nasibmu di dunia ini” (Q.S. al-Qashas, 28:77)
Dalam konteks perkembangan pesantren dan perjuangannya melakukan metamorphosis, baik pada aspek kesejarahan, sistem pendidikan dan modernisasi yang dilakukannya dalam rangka menjawab tantangan dunia global, pesantren telah, sedang dan berusaha terus menerus meng-inovasi dirinya agar senantiasa eksis menebarkan visi dan misinya, dengan tetap berpegang teguh pada falsafah ; “al muhafadzatu ‘ala al qadimi al shalih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah”(memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Bertitik tolak dari konsep diatas, pesantren memerankan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang fleksibel, dinamis dan terbuka terhadap perubahan yang mengarah pada kemanfaatan peningkatan keilmuan,[3] tanpa harus meninggalkan tradisi kajian kitab kuningnya. Menyongsong gelombang kehidupan modern ini, pesantren perlu melakukan diversifikasi keilmuan khusus atau keahlian praktis, seperti ke-wirausahaan, pertanian, industry, keterampilan dan penguasaan teknologi tepat guna, agar alumni pesantren dapat berdaya guna serta berdaya saing dalam percaturan kehidupan politik, birokrasi, interpreounership dan profesi.[4]

B.       Pergulatan Pesantren Klasik Menuju Modernitas
Jika meneropong jauh ke belakang, pesantren yang kemudian menjadi salah satu trade merk pendidikan Islam di Indonesia, sesungguhnya merujuk kepada sistem pendidikan keagamaan yang berlangsung pada awal dakwah Rasulullah Saw di masjid Nabawi- Madinah, dimana pada masa itu telah dikenal adanya kelompok ahl al-shuffah, yaitu para sahabat yang menginap di salah satu tempat dalam masjid Nabawi dengan tujuan memperdalam Islam. Salah satu tokohnya adalah Abu Hurairah[5].
Pola belajar para sahabat dengan menetap di bagian tertentu dalam masjid terus berlangsung sampai masa pemerintahan khulafa’u al-rasyidin dan mengalami modernisasi pada masa Bani Umaiyah, serta mengalami puncak kejayaannya pada masa Daulah Abbasiyah, ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu aqliyah dan munculnya madrasah serta memuncaknya perkembangan kebudayaan Islam. Sedangkan periode kemundurannya dimulai sejak jatuhnya Bagdad dan Mesir ke tangan Napoleon, ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat. Berakhirnya kekuasaan Napoleon Bonaparte di Mesir, juga menjadi awal pembaharuan pendidikan Islam ditandai dengan kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.[6]
Di Indonesia sendiri, pendidikan Islam (khususnya pesantren) telah mengalami fase-fase, yaitu ; 1) Fase datangnya Islam ke Indonesia, 2) Fase pengembangan melalui proses adaptasi, 3) Fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, 4) Fase Kedatangan orang barat (masa penjajahan Belanda), 5) Fase penjajahan Jepang, 6) Fase Indonesia merdeka, dan 7) Fase pembangunan.[7]
Dalam pengamatan penulis bahkan saat ini sudah memasuki fase modernisasi ditandai dengan munculnya Sekolah Islam Terpadu (SIT) dengan berbagai klaim keunggulannya[8], Pesantren Modern (PM) yang diprakarsai oleh Gontor dengan mendobrak paradigma lama masyarakat, antara lain membangun tradisi baru dengan memakai celana, kemeja dan dasi, pembudayaan bahasa Inggeris dan pembaharuan metode pembelajaran yang dahulu oleh masyarakat dianggap tradisi penjajah yang menurutnya kafir, dan pesantren yang mulai memasukkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ke dalam kurikulum pendidikannya, dan bahkan sebagian pesantren telah menggunakan media Information and Communacation Teknology (ICT) dalam proses pembelajarannya, seperti; Computer, Laptop, LCD, Proyektor dan lacer pointer presenter, sebagai media hardware-nya. Sedangkan softwere-nya sebagian pesantren telah menggunakan office-windows, exel, power point, dan lebih jauh telah masuk ke dunia maya melalui media internet semisal ; facebook, e-learning, e-labrary, e-mail, video telecomfreance, video call dan e-book.[9]
Damanhuri dalam bukunya, membagi periodisasi pesantren di Indonesia dalam dua fase, yaitu, pertama ; periode Ampel Denta (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif, meliputi cara hidup, sistem pengelolaan pendidikan, metode pengajaran dan bangunan yang sangat sederhana serta apa adanya. Kedua ; periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem pendidikan, metode pengajaran dan fisik bangunan[10]. Penamaan periodisasi ini bukan berarti menafikan pesantren yang berdiri sebelumnya. Seperti Ampel Denta misalnya, ia berdiri jauh setelah berdirinya pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Sedangkan Gontor berdiri sebagai buah inspirasi Pondok Pesantren Thawalib Padang, tempat dimana KH. Imam Zarkasyi menimba ilmu. Penyebutan nama diatas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia[11].
Fakta sejarah yang paling fenominal, yang menunjukkan adanya upaya modernisasi dan inovasi di berbagai aspek adalah kemajuan-kemajuan yang dicapai pendidikan Islam di zaman klasik. Dari sistem halaqah dengan materi berfokus kepada ilmu-ilmu agama, sampai kepada sistem madrasah yang berkembang pada abad ke-8 M, sampai dengan abad 14 M, dimana umat Islam mencapai puncak peradaban dunia dan tidak tertandingi oleh bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk Barat.
Lompatan spektakuler peradaban muslim itu, terjadi setelah sebelumnya para sarjana Muslim mengolah dan mengembangkan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi Yunani klasik. Pada masa itu muncul lembaga pendidikan Islam yang besar dan ternama, antara lain ; Madrasah Nizamiyah di Bagdad, Baitul Hikmah, Universitas Cordova di Andalusia, Universitas Al-Azhaar di Kairo-Mesir. Lahir juga pada masa itu nama-nama besar filosof dan ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Rusy, Ibnu Tufail, Ibnu Majah, Al-Khawarizmi dan Jabir Ibnu Hayyan,[12] dengan karya-karyanya di bidang kedokteran, kimia, matematika, filsafat, tasawwuf dan karya lainnya.

C.       Dialektika Pesantren Menyongsong Perubahan
Berangkat dari sejarah besar pendidikan dan peradaban Islam masa lalu, tidak selayaknya umat Islam kerdil dalam menghadapi tantangan global. Umat Islam harus dan wajib keluar dari ketertinggalan. Umat Islam wajib membekali diri dengan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dunia industry. Umat Islam wajib mempelajari metode-metode baru pembelajaran dan sistem pendidikan agar lahir generasi-generasi yang berdaya saing di masa yang akan datang. Allah Swt menganjurkan umat-Nya untuk melakukan perubahan, sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an ;
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S. Ar-Ra’d:13:11)
Ayat diatas merupakan pilihan-pilihan hidup bagi umat, apakah akan berdiri pada satu titik (statis), atau  bergerak dinamis melakukan inovasi pembaharuan dan modernisasi pada berbagai aspek kehidupan. Sehingga pesantren kedepan dapat melepaskan diri dari stigma buruknya sebagai lembaga pendidikan kumuh, kolot, jumud, tradisional dan stagnan[13]. Steenbrink,K.A, dalam sebuah studinya menyatakan bahwa sejak tahun 70-an pendidikan Islam mulai menunjukkan perubahan-perubahan dari bentuk “non-formal-tradisional” menuju “formal-modern”, bahkan pada decade tersebut pesantren-pesantren di Indonesia mulai menerima pelajaran umum.[14] Menurut Madjid, Pondok Pesantren Mambaul Ulum Surakarta pada masa kesultanan Paku Bowono tahun 1906, telah menerima mata pelajaran umum sebagai bagian dari kurikulum pendidikannya dengan memasukkan mata pelajaran al-jabar dan berhitung. Pondok Pesantren Teboireng mengiringinya pada tahun 1916 dengan memasukkan mata pelajaran bahasa Melayu, ilmu bumi dan menulis huruf latin, serta telah menggunakan gedung madrasah, bangku, meja belajar dan papan tulis[15]. Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya, Tradisi Pesantren, membantah bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang sangat statis. Dalam banyak kajiannya tentang pesantren, ia menemukan dinamika kehidupan pesantren yang sangat dinamis, berkembang dan maju. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan banyaknya varian sistem pengelolaan pesantren, dari yang bertahan pada sistem tradisonalnya (salaf), pesantren kombinasi dan pesantren modern (khalaf).[16]
Pada perkembangan terkini, pesantren telah lebih berani masuk ke sistem pendidikan formal yang modern, walaupun tidak berarti melepaskan atribut tradisionalismenya. Pesantren juga mampu meramu antara tradisi dan modernitas, sehingga menghasilkan generasi-generasi yang handal dan berkarakter. Bahkan belakangan terlihat tren yang sangat kuat sekolah-sekolah umum justru merubah sistem pendidikannya dengan sistem pesantren. Terungkap dari banyaknya sekolah umum berasrama, seperti SMA Dwi Warna di Jakarta, MAN 3 Pakjo Palembang, MAN Insan Cendikia di Serpong-Tangerang dan Ambon serta sebagian sekolah umum telah memberlakukan fullday school seperti SDIT, SMPIT, SMAIT dan bahkan muncul program non formal yang kita kenal dengan pesantren kilat[17].
Tren ekspansi sistem pesantren yang kini mewarnai sekolah-sekolah umum, menurut pengamatan penulis, adalah akibat merosotnya nilai moral dan hilangnya karakter generasi muda yang nota-bene produk sekolah. Penerapan mata pelajaran umum 70% dan agama 30% di sekolah umum berdampak kepada melemahnya nilai-nilai religious dan nilai moral-etika. Akibatnya sekolah umum kering aqidah, nilai religious dan moral.

D.      Sikap Pesantren Terhadap Perubahan
Futurolog ternama di dunia, John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam bukunya yang berjudul ; Megatrends 2000, meramalkan bahwa abad 21 adalah era baru. Suatu era dimana ekonomi global dan informasi merupakan bagian kehidupan sehari-hari. Suatu era dimana relasi menggantikan hierarki sebagai model utama untuk menyelesaikan segala persoalan kehidupan. Daya magnitiknya mampu memperbesar emosi, mempercepat perubahan, meningkatkan kesadaran, dan memaksa kita memeriksa diri, nilai-nilai dan institusi-institusi kita.[18]
Melihat tantangan global yang demikian komplek, pesantren sudah saatnya mengambil fungsi dan perannya sebagai agent of change, agent of culture dan agent of knowledge, untuk membangun kembali sistem pendidikan Islam sehingga mampu memasuki ruang cultural, teologis dan filosofis manusia secara keseluruhan. Yaitu sistem pendidikan Islam yang berwawasan Ulu al-Albab (QS. Ali Imran; 3:189-190), yakni orang yang senantiasa sibuk mengingat Allah sembari duduk, berdiri dan berbaring; dan sibuk merenungkan ciptaan-Nya di langit dan di bumi, baik di waktu siang maupun di waktu malam. Atau sistem pendidikan yang berorientasi kepada terbentuknya intellectual cociaty, di mana mereka diharapkan mampu mengusung “revolusi kebudayaan” secara komprehensif.
Menurut Abdul Adhim, dalam bukunya Ahmad Barizi; pendidikan madrasah dan Pondok Pesantren di bawah Kementerian Agama RI harus mampu merevitalisasi dan mereposisi diri kearah penciptaan lulusan yang memiliki tiga karakter sekaligus, yaitu pertama, religious skillfull people ialah insan muslim yang akan menjadi tenaga-tenaga terampil, ihklas, cerdas, mandiri, memiliki iman yang tangguh dan utuh, religious dalam sikap dan prilaku, mampu mengisi kebutuhan tenaga kerja di pelbagai sector pembangunan secara professional dan suportif; kedua, religious community leader ialah insan muslim yang ikhlas, cerdas dan mandiri sebagai penggerak dinamika dan transformasi social-budaya-ekonomi-politik yang berkeadaban; dan ketiga, religious intelektual ialan insan muslim yang memiliki integritas yang kokoh dan cakap melakukan analisis ilmiah dan secara manusiawi memiliki kepekaan social yang objektif tidak dibatasi oleh kepentingan sepihak seperti razizme, etnisisme dan komunalisme.[19]

 E.       Realitas Outcome Pendidikan Kita
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kapita yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.[20]
Fenomina ini sangat mengejutkan mengingat Indonesia pada decade 70-an menjadi pusat studi pelajar Malaysia. Indonesia pada masa itu berhasil memproduk human resourses (Sumber Daya Manusia) yang mengagumkan, walaupun hanya pada wilayah regional asia. Data diatas justru menunjukkan sebaliknya, kualitas pendidikan Indonesia semakin tahun semakin rendah, pada dunia kedepan, termasuk Indonesia akan menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
Dedi Halomoan Hasibuan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dalam media ‘Tropong UMSU’ (01/11/2011) menyatakan bahwa lembaga pendidikan di Indonesia hanya menghasilkan pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja. Penyebab utama pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan berkembangnya lapangan kerja yang tidak sesuai denagn jurusan mereka, sehingga para lulusan yang berasal dari jenjang pendidikan atas baik umum maupun kejuruan serta perguruan tinggi, tidak dapat terserap ke dalam lapangan kerja yang tersedia. Padahal, untuk menjadi seorang lulusan yang siap kerja, mereka perlu tambahan keterampilan di luar bidang akademik yang mereka kuasai. Disisi lain para pengangguran terdidik lebih memilih pekerjaan yang formal dan mereka maunya bekerja di tempat yang langsung menempatkan mereka di posisi yang enak, dapat banyak fasilitas, dan maunya langsung dapat gaji besar[21].
Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, sebagaimana dikutip Republika (15/2/2011), bahwa salah satu faktor yang menyumbangkan besarnya pengangguran terdidik ialah karena ketidaksesuaian kualifikasi yang diminta oleh dunia kerja dengan lulusan dunia kampus. "Ini lebih kepada tidak mix and match, antara lulusan kampus dengan permintaan dunia kerja," papar Fasli Jalal kepada Republika, Selasa (15/2). Hal ini membuat lulusan perguruan tinggi kesulitan mencari lowongan kerja yang sesuai. Fasli juga menambahkan hasil pemetaan dari Kemendiknas menunjukkan beberapa jurusan sudah jenuh oleh lulusannya. Beberapa diantaranya jurusan manajemen dan hukum. "Implikasinya kepada lulusan ialah tidak sesuai dengan dunia kerja," tuturnya.
Selain itu juga dunia kerja terus bergerak secara dinamis dan mungkin saja kurikulum kampus tak mampu memenuhi hal tersebut. "Nah tugas kita ialah terus mengupdate kurikulum, jadi makin dinamis permintaan lulusan kita juga makin dinamis," ucapnya[22]
Agar pesantren ke depan, meminjam bahasanya Prof. Yudian Wahyudi, tidak melakukan “bunuh diri peradaban”, ia harus meningkatkan sistem pendidikan Islam dengan kecenderungan masa depan global. Pertama, umat Islam harus mampu memanfaatkan sarana teknologi sebagai alat perjuangan (jihad)-nya. Artinya, sarana teknologi perlu dijadikan sebagai alat perjuangan umat Islam dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dan bukan sebaliknya sebagai penghalang bagi kreativitas berfikir dan berbuat bagi perubahan untuk kemajuan. Kedua, umat Islam harus secara terus menerus meningkatkan SDM yang berkualitas iptek dan imtak secara bersamaan, atau peningkatan diri ke arah kekokohan spiritual, moral dan intelektual. Ketiga, proses modernisasi adalah sesuatu yang meniscayakan bagi perombakan sistem pendidikan Islam, mulai dari paradigma, konsep, kerangka kerja dan evaluasi. Artinya, seluruh civitas akademika pendidikan Islam harus memiliki sense of depelopment ke arah yang lebih baik, sehingga lembaga pendidikan Islam ke depan akan menjadi laboratorium masa depan yang harmoni.[23]
Tim peneliti Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, dalam hasil penelitiannya, “ Pola Pengembangan Pondok Pesantren” yang diterbitkan tahun 2011, menyatakan bahwa pondok pesantren sesungguhnya belum memiliki kurikulum, jika yang dimaksud adalah kurikulum sebagaimana yang diterapkan pada lembaga pendidikan formal. Tetapi jika yang dimaksud dengan kurikulum itu sebagai ‘ manhaj’ (arah pembelajaran tertentu), pondok pesantren melakukannya sejak pesantren itu ada. Kurikulum atau manhaj yang diterapkan di pondok pesantren adalah sistem ketuntasan belajar kitab kuning dengan kitab-kitab yang menjadi rujukan masing-masing pondok pesantren[24].

F.        Kondisi Real Pesantren Saat Ini
Kondisi inilah juga yang berlangsung di hampir mayoritas Pondok Pesantren di Indonesia. Dikatakan demikian karena sejak pendidikan pesantren dikenal di masyarakat sampai saat ini belum menyusun kurikulum baku, melalui mekanisme penyusunan kurikulum standar pendidikan nasional dan jarang sekali pesantren yang secara sadar mulai me-redesain kurikulum pendidikannya sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakatnya. Yang adalah pesantren menyiapkan kurikulum baku, biasanya mengikuti pengalaman atau latar belakang pendidikan kiai, dan merekomendasikan kitab-kitab serta pola-pola pendidikan sesuai pengalaman belajarnya, tanpa melalui analisis  SWOT (Strength, Weaknees, Opportunity, threats).
Menurut pengamatan penulis, Pondok Pesantren menghadapi obyek masyarakat yang hampir sama antara pesantren yang secara geografis berada di pedesaan, pegunungan, pinggiran pantai maupun perkotaan. Sebab masyarakat pengguna pesantren cenderung berdatangan dari tempat lain dan bukan penduduk sekitar. Dan rata-rata masyarakat pesantren adalah masyarakat ekonmi menengah ke bawah sehingga dapat dibayangkan bagaimana kehidupan sosial masyarakat yang berada pada garis ekonomi tertentu.
Berdasar pada analisis inilah maka pesantren memiliki tantangan dan kendala yang hampir sama satu dengan lainnya,  antara lain ; 1) Perbedaan latar belakang pesantren para pendidik dan pengasuhnya, 2) Rendahnya rata-rata pendidikan agama masyarakat, 3) Kurangnya tenaga pendidik yang sesuai dengan kompetensinya, 4) Kurang tersedianya sarana dan prasarana,dan  5) Biaya pendidikan bergantung kepada bayaran santri.
Perbedaan latar belakang pendidikan pesantren berdampak pada perbedaan kajian kitabnya sehingga menyulitkan pesantren menetapkan kitab-kitab apa saja yang akan digunakan. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan agama berpengaruh kepada selektifitas penerimaan santri, sehingga pondok pesantren mengambil kebijakan menerima seluruh calon santri yang mendaftar. Karena kalau berdasarkan standar seleksi input, maka tidak akan banyak yang bisa diterima, sementara kuantitas pada sisi lain dibutuhkan untuk eksistensi pendidikan di semua lini. Artinya, standar penerimaan santri tidak bisa distandarkan dengan Pondok Modern atau Pondok Salafy yang telah maju. Ditambah lagi dengan kurangnya kompetensi guru dan kurangnya sarana. Kondisi itu mendorong dilakukannya inovasi kurikulum, terutama yang terkait dengan materi pelajaran dan metodenya.
Persoalan mendasar yang dihadapi Pondok Pesanatren bukan terletak pada perkembangan fisik dan kuantitas santri dan tenaga pendidiknya, tetapi justru pada persoalan-persoalan vital pendidikan yang menjadi ruh pesantren, yaitu bagaimana civitas akademika Pondok Pesantren menstandarkan kualitas pendidikannya dengan Pondok Modern, bila standar input, standar SDM, standar biaya, standar waktu, standar pengelolaan dan standar evaluasinya berbeda. Ini artinya, ada rentang derivasi yang cukup jauh untuk mengahasilkan output atau outcome yang sama dengan pondok modern yang selama ini menjadi barometer keberhasilan pendidikan pondok pesantren secara umum. Terkecuali pengurus dengan kesatria membuat standar sendiri yang lebih proporsional sesuai dengan standar input dan pengelolaannya.
Hal lain yang juga menjadi hambatan dalam pengelolaan pendidikan adalah sulitnya menyatukan visi dan misi dalam pelaksanaan pendidikan, akibat perbedaan latar belakang pendidikan para pendidiknya. Sementara Pondok Modern, telah berhasil merekrut tenaga pendidik dan tenaga kependidikannya dari alumninya sendiri. Kondisi tersebut tentu akan sangat berpengaruh kepada penggunaan otoritas pimpinan pondok pada saat menjalankan kebijakannya. Ada perbedaan psikologis antara menyuruh alumni sendiri dengan alumni pesantren lain.
Kebijakan menerima calon santri tanpa seleksipun menjadi persoalan lain yang turut memperkeruh persoalan pendidikan. Pondok Modern Gontor misalnya, dengan segala kelebihan dan kebesarannya melakukan seleksi ketat terhadap calon santri, dengan syarat-syarat yang terukur. Walaupun demikian, puluhan ribu calon santri berbondong-bondong antri setiap tahun ingin menimba ilmu disana. Sedangkan di Pondok Pesantren pada umumnya, bila melakukan standar seleksi yang sama dengan Pondok Modern Gontor, maka sulit akan mendapatkan santri, karena, pertama; calon santri yang mendaftar di Pondok Pesantren biasanaya sisa-sisa orang yang telah mengukur kemampuan dirinya tidak mungkin diterima di Gontor dan pesantren besar lainnya, kedua; calon santri rata-rata orang yang kurang mampu secara financial, ketiga; calon santri kebanyakan orang yang bermasalah dalam rumah tangganya secara akhlak, keempat; rata-rata calon santri belum bisa menbaca al-Qur’an, kelima; belum terbangunnya tradisi kepesantrenan yang kuat dan mengakar, yang menyebabkan seringnya terjadi perubahan-perubahan sistem.
Intinya, Pondok Psantren sampai saat ini belum menemukan formula pendidikan atau kurikulum baku, yang berbasis pada landasan filosofis, geografis, domografis, ekonomis, politis, serta berdasar analisis swot, bila dihubungkan dengan persoalan-persoalan diatas. Sehingga  dengan semangat falsafah “al-muhafadzatu ala al-qadimi as-shalih wa al-akhdzu bil jadidi al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal yang baru yang lebih baik), terus berusaha mencari identitas dirinya dengan terus menerus melakukan evaluasi dan inovasi pada sistem dan pengelolaan pendidikannya.

G.      Bagaimana Strategi Menghadapi Modernitas
Pimpinan pondok dan steak holder lainnya perlu membuka ruang diskusi terhadap perubahan kurikulum dan perlu mengambil langkah-langkah produktif berbasis analisis swot yang telah dilakukan sebelumnya, misalnya 1) Meng-inovasi kurikulum beserta seluruh komponen yang menyertainya, 2) Me-re-strukturisasi kelembangaan, khususnya Direktorat Pendidikan dan Pengajaran, 3) Melakukan seleksi kembali tenaga pendidik sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, 4) Menyiapkan metode pembelajaran baru yang humanistik, integralistik dan komprehensif berbasis ICT, dengan penerapan  pendidikan berbasis masalah (problem solving), penanaman nilai – nilai religious dan pendidikan keteladanan (behaviouristik) dengan tetap mempertahankan tradisi yang menjadi ruh dan ciri khas pesantren yang merujuk kepada al-Qur’an dan hadist.
 Secara sederhana roadmap rencana modernisasi dan inovasi pendidikan dan pengajaran dapat dilakukan sebagaimana gambar berikut ;

 Pimpinan bersama pengurus kemudian dihadapkan pada bagaimana dan apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan untuk merealisasikannya. Untuk itu pengurus pondok perlu membentuk tim yang ditugaskan mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan guna terlaksananya program modernisasi dan inovasi pendidikan beserta tahapan-tahapan pelaksanaannya. Langkah – langkah yang mungkin bisa ditempuh antara lain ; 1) melakukan rekrutmen tenaga pendidik dan kependidikan yang dibutuhkan sesuai hasil analisis, 2) melakukan seleksi ulang terhadap tenaga pendidik dan kependidikan yang tidak sesuai kompetensinya, 3) membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) pada aspek – aspek administrasi, 4) membuat silabus dan perencanaan pembelajaran, 5) membuat perencanaan evaluasi, 6) membuat budget anggaran, 7) dan lain-lain.
Langkah-langkah inovasi merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap warga Negara, termasuk warga pesantren, berkewajiban memberikan kontribusi dalam mere-desain atau memberikan solusi, guna meningkatkan mutu pendidikan nasional, sebagaimana amanat Undang-Undang Sisdiknas; “Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan  semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam  penyelenggaraan dan  pengendalian mutu layanan pendidikan[25].
Apalagi UU Sisdiknas memberikan peluang melakukan inovasi dan elaborasi terhadap system pendidikan nasional, sebagaimana dinyatakatan; “Warga  negara  yang  memiliki  potensi kecerdasan dan bakat  istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”.[26] Dan pada pasal berikutnya; “‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan”[27].
Peluang melakukan pengembangan, inovasi dan atau re-desain system pendidikan menurut undang-undang ini, telah ditindaklanjuti oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan menerbitkan buku Panduan Penyelenggaran Sistem Kredit Semester Untuk Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Itu artinya, pintu warga Negara untuk berperan serta dalam pemberdayaan, pelayanan dan pengendalian mutu pendidikan, sangat terbuka lebar.

H.      Penutup
Melakukan inovasi dan modernisasi terhadap manajemen, sistem dan kurikulum pendidikan, termasuk pesantren adalah sebuah keharusan di tengah persaingan global yang semakin ketat. Outcome pondok pesantren satu sisi memang harus tetap mempertahankan kualitas pendidikan keagamaanya, tapi pada sisi lain sudah semestinya juga memiliki standar kualifikasi yang dibutuhkan oleh pasar kerja, birokrasi, politisi dan akademisi.
Sejarah pendidikan Islam klasik telah memberikan contoh kecemerlangan keilmuan Islam pada masanya. Maka tidak seharusnya para intelektual muslim dan pelaku pendidikan Islam, terutama pesantren berdiam diri dalam pergulatan modernitas yang terjadi di depan mata, disaat kita memiliki ruang amat luas untuk membuat arus baru bagi transpormasi pendidikan yang modern dan islami.
Penulis adalah Dosen Tetap Institut Agama Islam (IAI)       Al-Azhaar Lubuklinggau. Merangkap beberapa jabatan; Wakil Rektor 1 IAI Al-Azhaar, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Azhaar, Ketua Yayasan Permata Nusantara Al-Azhaar dan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Lubuklinggau.


[1] Masdar Farid Mas’udi; dalam Faisal Ismail,  Masa Depan Pendidikan Islam. Jakarta: Bhakti Aksara Persada.2003.hal.47
[2] Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: Teras, 2010.hal.64
[3] M. Syarif Chumas Asyawaly, dalam, Paradigma Baru Pesantren Masa Depan. Palembang: Aulia Cendikia Press, 2012.hal.47
[4] Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta : Proyek Peningkatan Pondok Pesantren, 2001.hal.31
[5] Damanhuri. dkk, Inovasi Pengelolaan Pesantren Terpadu Dalam Menghadapi Persaingan di Era Globalisasi. Bogor : Program Pascasarjana UIKA Bogor, 2012.hal.1
[6] Zuhairini, dkk. Sejaran Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2008.hal.13
[7] Zuhairini, dkk.hal.7-8
[8] Nanang Fatchurrachman, Madrasah, Sekolah Islam Terpadu,Plus dan Unggulan, Depok : Lendean Hati Pustaka, 2012.hal.4
[9] Ema Gustiana, dalam makalah ; Pemanfaatan ICT Dalam Pembelajaran. Disalampaikan pada : Workshop Peningkatan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam (PKG-PAI), diselenggarakan dari tanggal 18 s.d. 28 Desember 2012
[10] Damanhuri, dkk. Inovasi Pengelolaan Pesantren Terpadu Dalam Menghadapi Persaingan di Era Globalisasi,  Bogor : Program Pascasarjana UIKA Bogor, 2012.hal.39
[11] Damanhuri,hal.39
[12] Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas, Jakarta : PT. Bhakti Aksara Persada, 2003.hal.15
[13] M. Syarif Chumas Asyawaly, Paradigma Baru Pesantren Masa Depan, Palembang : Aulia Cendikia Press, 2012.hal.42
[14] Steenbrink, K.A,  Pesantren, Madrasah, Sekolah : Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta : LP3ES, 1986.hal.7
[15] Ali Murtopo, Paradigma Baru Pesantren Masa Depan, Palembang : Aulia Cendikia Press, 2012.hal.24
[16] Zamakhsyari Dhofir, dalam Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, Jakarta : Penamadani, 2003.hal.19
[17] Nanag Fatchurrochman, Madrasah, Sekolah Islam Terpadu, Plus dan Unggulan, Depok : Lendean Hati Pustaka, 2012.hal.4
[18] Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif, Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Malang : UIN Maliki Press, 2011.hal.1
[19] Ahmad Barizi, hal.6
[23] Ahmad Barizi, hal.7
[24] Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam, Kementerian Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, Jakarta; Proyek Peningkatan Pondok Pesantren, 2011, hal.43
[25] Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bab II Pasal 4 ayat 6
[26] Ibid, bab IV pasal 5 point 4
[27] UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bab IV Pasal 5 dan Bab V Pasal 12