Minggu, 17 Mei 2015

Kontroversi Pemahaman Karakter



Kontroversi Pemahaman Karakter, Barat dan Islam
Oleh : Ah Mansur, SE, M.Pd.I



 
 Definisi Karakter
Karakter berasal dari bahasa Yunani ‘charakter’ yang berasal dari kata ‘kharassein’ yang berarti memahat atau mengukir. Sedangkan dalam bahasa latin kharakter, kharassein, kharax, bermakna membedakan tanda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Disebut juga dengan tabiat atau watak.


 
Karakter Perspektif Islam
Islam menggunakan istilah ‘akhlak’ untuk mengekspresikan karakter manusia, sebagaimana sabda Rasulullah Saw;
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya; Sesungguhnya tiadalah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlaq.
 Akhlak memiliki dimensi ilahiyah sedangkan moral atau nilai dapat dimiliki dan diajarkan tanpa menyertakan Tuhan. Akhlak tidak dapat dibicarakan tanpa mengaitkan dengan perintah dan larangan. Berikut adalah definisi karakter atau akhlak dalam perspektif pemikiran Islam, antara lain;
1)     Imam al-Ghazali mengatakan karakter itu lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul  tidak perlu dipikirkan lagi.
2)     Ibn Taimiyah berpendapat bahwa karakter atau tabiat adalah fitrah manusia. Fitrah tersebut menjadi bahasan pokok dalam pendidikan. Bahasan pokok tersebut mengenai dimensi ibadah untuk mentauhidkan Allah SWT agar menjadi kebutuhan. Sehingga sumber kekuatan, kebahagiaan (sa’adah), dan islah kepribadian adalah iman. Maka ciri atau karakter ilmu bagi Ibn Taimiyah adalah al-ilm an-nafi’. Firman Allah ;
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Ali Imran :18).
Ayat yang lain ;
Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (Saba’ : 6).

3)     Muhammad Abdul Khalik (1983) menyebutkan kepribadian atau watak adalah; “Majmu’ah al-shifah al-‘aqliyyah wa al-khuluqiyah allati yamtazu biha ‘an ghairihi”, artinya “ sekumpulan sifat (karakter) yang bersifat aqliyah (pengetahuan), prilaku dan tampilan hidup yang dapat membedakan seseorang dengan lainnya.
4)     Tadkirotun Musfiroh (2008) mengatakan bahwa karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), prilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills).

Karakter Perspektif Barat
Pendidikan karakter dalam perspektif Barat sebenarnya telah dirintis oleh tiga tokoh filsafat Yunani, yaitu; Socrates, kemudian dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles. Sumbangsih terpenting mereka dalam pemikiran barat adalah metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode Elenchos. Metode ini sering dipakai untuk menguji konsep moral. Oleh karena itu Socrates dan dua orang filsuf lainnya dikenal sebagai bapak sumber etika dan atau penggagas filasafat moral. Plato mendirikan sekolah Akademia, lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia barat dan Aristoteles adalah muridnya. Namun dalam perjalanannya, pendidikan karakter atau moral sempat tenggelam dari dunia pendidikan, terutama sekolah.
Baru kemudian pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter dimunculkan kembali dan bahkan menjadi tujuan utama pendidikan. Pencetusnya adalah pedagog Jerman FW Foester (1869-1966) dengan mengemukakan konsep pendidikan karakter yang menekankan pada dimensi etis-spritual dalam proses pembentukan pribadi, sebagai reaksi atas kejumudan pedagogis natural Rousseautin dan instrumentalisme pedagogis Davweyan. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan prilaku dan sikap hidup yang dimiliki.
Berangkat dari akar sejarah lahirnya gagasan atau konsep pendidikan karakter itu, lahir pula definisi atau pengertian pendidikan karakter dari tokoh-tokohnya, antara lain ;
1)     Aristoteles berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku.
2)     Thomas Lickona berpendapat bahwa pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang  melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter, yang dirumuskan dengan sangat indah; knowing, loving and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter  dimulai dengan pemahaman terhadap karakter yang baik, mencintainya dan peneladanan atas karakter baik itu.
3)     Elkind & Sweet mengatakan ;
“ Character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values, when we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them  to be able to judge what is right, and than do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”

Pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu manusia memahami, peduli dan menghargai nilai-nilai etis/susila, dimana kita berpikir tentang macam-macam karakter yang kita inginkan untuk anak kita. Ini jelas bahwa kita ingin mereka mampu untuk menilai apa itu kebenaran, sangat peduli tentang apa itu kebenaran dan hak-hak, dan kemudian melakukan apa yang mereka percaya menjadi yang sebenarnya, bahkan dalam menghadapi tekanan dari dan tanpa dalam godaan.
4)     Mary Scott Morris mendesain pendidikan karakter bebas nilai. Menurutnya karakter harus berbasis kreativitas, karena krativitas akan membawa kemajuan dan kemajuan membawa peradaban. Ada 4 (empat) kondisi yang dapat mendorong kreativitas; 1) sikap menerima perbedaan orang lain, 2) sikap menahan diri untuk tidak mengkeritik orang lain, 3) empati terhadap perspektif orang lain, dan 4) lingkungan yang permisif. Permisif dalam arti bukan mengumbar hawa nafsu, tetapi memberikan kebebasan bagi individu untuk menanggung konsekuensi perbuatannya. Prinsip kebebasan membuka peluang pada perbedaan pendapat dan relativitas nilai. Istilah Berlin, nilai merupakan esensi dari peradaban itu sendiri. Pendapat ini diperkuat oleh Michael Belok dan Leland Dewitt Baldwin, yang kemudian melahirkan teori Relativitas Nilai dalam Pendidikan Karakter. Aristoteles, sebagai bapaknya peradaban barat melegitimasi pendapat ini.
5)     Stave Johnson berpendapat bahwa tujuan pendidikan karakter adalah untuk menemukan cara dalam membantu siswa mengembangkan kebiasaan dan nilai-nilainya sendiri. Pendapat ini mendapat sambutan Komisi Kebijakan Pendidikan (Educational Policies Commission) Amerika yang menegaskan bahwa pedidikan karakter  tidak ditujukan untuk sekedar mewujudkan kepatuhan terhadap nilai-nilai yang dipaksakan oleh pihak otoritas hukum, melainkan untuk membentuk individu yang dapat membuat pilihan berdasarkan pemikiran yang matang. Pemikiran ini sejalan dengan apa yang disebut Ericson sebagai masyarakat demokrasi.
6)     Simon Philips mengatakan karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju suatu system , yang melandasi pemikiran, sikap dan prilaku yang ditampilkan.

 Kontroversi Definisi Pendidikan Karakter Timur dan Barat
Lickona sebagai seorang yang mewakili pemikiran barat meletakkan dasar pendidikan karakter pada nilai universal sebagai landasan moral yang otoritatif dan absolute. Ia menggunakan dua standar penilaian untuk melihat apakah suatu perbuatan dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Kedua standar tersebut adalah reversibility, yaitu; apakah kita ingin mendapatkan perlakuan serupa dari orang lain. Dan universalibility, yaitu; apakah kita ingin semua manusia berprilaku serupa dalam menghadapi situasi yang sama.
Kedua standar itu perlu dikritisi. Reversibility misalnya tidak cocok untuk diterapkan di pengadilan. Contoh seorang perampok yang selain merampok ia memperkosa istri pemilik rumah. Kemudian di pengadilan dia meminta keringanan hukuman dan bahkan pembebasan. Di sisi lain, pemilik rumah menginginkan perampok itu dihukum seberat-beratnya bahkan hukuman mati. Dalam posisi seperti ini perampok akan sangat sulit menempatkan dirinya pada posisi pemilik rumah yang teraniaya. Sebaliknya, pemilik rumah juga akan sangat sulit menempatkan dirinya dalam posisi terpidana yang mengharapkan kemaafan dan kebebasan. Bagaimana mencari titik temu kebenaran nilai universal berpedoman pada prinsip reversibility dalam kasus ini? Demikian pula dengan prinsip universability. Prilaku manakah yang kita inginkan atas semua manusia: memaafkan atau menuntut hukuman? Apakah memafkan bukan nilai yang baik secara universal?
Lickona berargumentasi bahwa sebuah nilai-nilai seperti menghormati orang lain, kemerdekaan (liberty) dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang rasional dan absolute. Nilai-nilai ini dapat diterima semua manusia dari Negara manapun dan agama apapun. Dalam hal ini Lickona sudah tepat memberikan kesimpulan bahwa manusia memerlukan standar nilai yang absolute. Sayangnya ia lupa bahwa seluruh manusia bisa saja bersepakat atas konsep dasar sebuah nilai namun berselisih dalam detilnya. Menghormati orang lain, misalnya, apakah termasuk menghormati pilihan seseorang untuk keluar masuk agama? Islam menolak toleransi semacam ini. Dalam Islam hukum murtad adalah haram dan merupakan perbuatan dosa besar. Fakta ini menunjukkan bahwa keabsolutan dan keuniversalan nilai yang digagas Lickona, gagal dibuktikan.
Islam merupakan satu-satunya agama yang memberikan klaim sebagai agama universal. Sebagaimana firman Allah SWT;

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (al-Ambiya’:107).

Sayyid Quthb menjelaskan ayat ini dengan, “Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, baik yang beriman kepadanya maupun yang tidak beriman”. Kedatangan Islam melalui Muhammad Saw bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh umat manusia, tidak dibatasi hanya kepada mereka yang mengimani Islam. Penjelasan ini diperkuat oleh hadist, “ Aku tidak diutus sebagai kutukan, tetapi aku dikirim sebagai pembawa rahmat”. Hadist ini beliau sampaikan ketika para sahabat meminta Nabi Muhammad Saw untuk mendoakan keburukan bagi kaum non muslim.
Melihat dua perspektif diatas (Barat dan Timur) ada kontroversi yang sangat jelas antara keduanya. Barat menyandarkan pendidikan karakter pada nilai-nilai universalitas yang bisa berubah – ubah sesuai kebutuhan zamannya. Nilai universalitas yang distandarkan pada baik dan buruk menurut persepsi manusia, nilai yang pada masa dan kondisi tertentu dapat diputuskan oleh penguasa sebuah Negara, nilai yang menurut mereka absolute, permanen dan bisa diterima oleh semua manusia; lintas agama, suku dan golongan. Barat sama sekali tidak menghubungkan nilai moral dan etika dengan agama. James Arthur menyebutkan bahwa pembentukan karakter ada tiga unsure, yaitu; 1) Pendidikan fisik, 2) pendidikan intelektual dan 3) pendidikan moral. Menurutnya pendidikan moral atau karakter tidak bisa dilepaskan dari nilai, dan nilai bersifat relative, cair dan dapat berubah. Bahkan menurut kaum Marxis nilai-nilai dalam karakter dapat diputuskan oleh penguasa.
Sebaliknya, kaum agamais berpendapat bahwa nilai-nilai dalam karakter bersifat seragam dan tidak berubah. Mereka sependapat bahwa nilai-nilai moral dalam karakter bersumber dari wahyu atau dari Tuhan. Islam pun dalam persoalan relativitas nilai nilai-nilai, moral dan etika dalam karakter manusia tidak melepaskannya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Islam dalam persoalan nilai, moral dan etika, merontokkan konsep oleh barat dengan menyuguhkan universalitas nilai. Klaim ini diakui oleh Tim Wallace-Murphy dalam bukunya; ‘What Islam Did For Us – Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization’, dimana ia menyimpulkan bahwa dalam pemerintahan Islam, tiga agama besar dunia, Yahudi, Kresten dan Islam- hidup berdampingan secara harmonis, penuh toleransi, dalam atmosfir intelektualitas dan seni yang tinggi. Syech Shafiyurrahman al-Mubarakfuri mengutip isi perjanjian antara Nabi Muhammad dengan warga Yahudi Madinah ;
Orang Yahudi yang mengikuti kami maka dia berhak mendapatkan pertolongan dan perlakuan yang sama , tidak terdzalimi dan tidak pula tertindas. Sesungguhnya orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu kesatuan bersama kaum muslimin, orang-orang Yahudi boleh menjalankan agama mereka dan kaum muslimin juga menjalankan agama mereka”.
Semua itu adalah bukti sejarah tentang universalitas nilai dalam Islam. Nilai – nilai universal itu terbangun karena Nabi Muhammad Saw menjalankan syariat, menjadi pemimpin, menjalin komunikasi dan beribadah berdasarkan wahyu. Maka wahyulah yang menjadi sumber nilai, sumber moral dan etika, yang kemudian Nabi Muhammad Saw menyebutnya dengan akhlak.

Penulis adalah Dosen Tetap Institut Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau. Merangkap beberapa jabatan; Wakil Rektor 1 IAI Al-Azhaar, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Azhaar, Ketua Yayasan Permata Nusantara Al-Azhaar dan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Lubuklinggau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar