Kontroversi Pemahaman Karakter,
Barat dan Islam
Oleh : Ah Mansur, SE, M.Pd.I
Definisi Karakter
Karakter berasal dari bahasa
Yunani ‘charakter’ yang berasal dari kata ‘kharassein’ yang berarti memahat atau
mengukir. Sedangkan dalam bahasa latin kharakter, kharassein, kharax,
bermakna membedakan tanda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), karakter
berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan orang lain. Disebut juga dengan tabiat atau watak.
Karakter Perspektif Islam
Islam
menggunakan istilah ‘akhlak’ untuk mengekspresikan karakter manusia,
sebagaimana sabda Rasulullah Saw;
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya; Sesungguhnya tiadalah aku diutus melainkan untuk
menyempurnakan akhlaq.
Akhlak memiliki dimensi ilahiyah sedangkan
moral atau nilai dapat dimiliki dan diajarkan tanpa menyertakan Tuhan. Akhlak
tidak dapat dibicarakan tanpa mengaitkan dengan perintah dan larangan. Berikut
adalah definisi karakter atau akhlak dalam perspektif pemikiran Islam, antara
lain;
1)
Imam
al-Ghazali mengatakan karakter itu lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas
manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri
manusia sehingga ketika muncul tidak
perlu dipikirkan lagi.
2)
Ibn
Taimiyah berpendapat bahwa karakter atau tabiat adalah fitrah manusia. Fitrah
tersebut menjadi bahasan pokok dalam pendidikan. Bahasan pokok tersebut
mengenai dimensi ibadah untuk mentauhidkan Allah SWT agar menjadi kebutuhan.
Sehingga sumber kekuatan, kebahagiaan (sa’adah), dan islah kepribadian adalah
iman. Maka ciri atau karakter ilmu bagi Ibn Taimiyah adalah al-ilm an-nafi’.
Firman Allah ;
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia
(yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang
yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia
(yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Ali Imran :18).
Ayat yang lain ;
Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat
bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan
menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji
(Saba’ : 6).
3)
Muhammad
Abdul Khalik (1983) menyebutkan kepribadian atau watak adalah; “Majmu’ah
al-shifah al-‘aqliyyah wa al-khuluqiyah allati yamtazu biha ‘an ghairihi”,
artinya “ sekumpulan sifat (karakter) yang bersifat aqliyah (pengetahuan),
prilaku dan tampilan hidup yang dapat membedakan seseorang dengan lainnya.
4)
Tadkirotun
Musfiroh (2008) mengatakan bahwa karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes),
prilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills).
Pendidikan karakter dalam perspektif Barat sebenarnya
telah dirintis oleh tiga tokoh filsafat Yunani, yaitu; Socrates, kemudian
dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles. Sumbangsih terpenting mereka dalam
pemikiran barat adalah metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode
Elenchos. Metode ini sering dipakai untuk menguji konsep moral. Oleh karena itu
Socrates dan dua orang filsuf lainnya dikenal sebagai bapak sumber etika dan
atau penggagas filasafat moral. Plato mendirikan sekolah Akademia, lembaga
pendidikan tinggi pertama di dunia barat dan Aristoteles adalah muridnya. Namun
dalam perjalanannya, pendidikan karakter atau moral sempat tenggelam dari dunia
pendidikan, terutama sekolah.
Baru kemudian pada abad 18
dan 19 pendidikan karakter dimunculkan kembali dan bahkan menjadi tujuan utama
pendidikan. Pencetusnya adalah pedagog Jerman FW Foester (1869-1966) dengan
mengemukakan konsep pendidikan karakter yang menekankan pada dimensi
etis-spritual dalam proses pembentukan pribadi, sebagai reaksi atas kejumudan
pedagogis natural Rousseautin dan instrumentalisme pedagogis Davweyan.
Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud
dalam kesatuan esensial subjek dengan prilaku dan sikap hidup yang dimiliki.
Berangkat dari akar sejarah
lahirnya gagasan atau konsep pendidikan karakter itu, lahir pula definisi atau
pengertian pendidikan karakter dari tokoh-tokohnya, antara lain ;
1)
Aristoteles
berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap
dimanifestasikan dalam tingkah laku.
2)
Thomas
Lickona berpendapat bahwa pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang
hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan
sebagainya. Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter, yang
dirumuskan dengan sangat indah; knowing, loving and acting the good. Menurutnya
keberhasilan pendidikan karakter dimulai
dengan pemahaman terhadap karakter
yang baik, mencintainya dan peneladanan atas karakter baik itu.
3)
Elkind
& Sweet mengatakan ;
“ Character
education is the deliberate effort to help people understand, care about, and
act upon core ethical values, when we think about the kind of character we want
for our children, it is clear that we want them
to be able to judge what is right, and than do what
they believe to be right, even in the face of pressure from without and
temptation from within”
Pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk
membantu manusia memahami, peduli dan menghargai nilai-nilai etis/susila, dimana
kita berpikir tentang macam-macam karakter yang kita inginkan untuk anak kita.
Ini jelas bahwa kita ingin mereka mampu untuk menilai apa itu kebenaran, sangat
peduli tentang apa itu kebenaran dan hak-hak, dan kemudian melakukan apa yang
mereka percaya menjadi yang sebenarnya, bahkan dalam menghadapi tekanan dari
dan tanpa dalam godaan.
4)
Mary
Scott Morris mendesain pendidikan karakter bebas nilai. Menurutnya karakter
harus berbasis kreativitas, karena krativitas akan membawa kemajuan dan
kemajuan membawa peradaban. Ada 4 (empat) kondisi yang dapat mendorong
kreativitas; 1) sikap menerima perbedaan orang lain, 2) sikap menahan diri
untuk tidak mengkeritik orang lain, 3) empati terhadap perspektif orang lain,
dan 4) lingkungan yang permisif. Permisif dalam arti bukan mengumbar hawa
nafsu, tetapi memberikan kebebasan bagi individu untuk menanggung konsekuensi
perbuatannya. Prinsip kebebasan membuka peluang pada perbedaan pendapat dan
relativitas nilai. Istilah Berlin, nilai merupakan esensi dari peradaban itu
sendiri. Pendapat ini diperkuat oleh Michael Belok dan Leland Dewitt Baldwin,
yang kemudian melahirkan teori Relativitas Nilai dalam Pendidikan Karakter.
Aristoteles, sebagai bapaknya peradaban barat melegitimasi pendapat ini.
5)
Stave
Johnson berpendapat bahwa tujuan pendidikan karakter adalah untuk menemukan
cara dalam membantu siswa mengembangkan kebiasaan dan nilai-nilainya sendiri. Pendapat
ini mendapat sambutan Komisi Kebijakan Pendidikan (Educational Policies
Commission) Amerika yang menegaskan bahwa pedidikan karakter tidak ditujukan untuk sekedar mewujudkan
kepatuhan terhadap nilai-nilai yang dipaksakan oleh pihak otoritas hukum,
melainkan untuk membentuk individu yang dapat membuat pilihan berdasarkan
pemikiran yang matang. Pemikiran ini sejalan dengan apa yang disebut Ericson
sebagai masyarakat demokrasi.
6)
Simon
Philips mengatakan karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju suatu system
, yang melandasi pemikiran, sikap dan prilaku yang ditampilkan.
Kontroversi Definisi Pendidikan Karakter Timur
dan Barat
Lickona sebagai seorang yang
mewakili pemikiran barat meletakkan dasar pendidikan karakter pada nilai
universal sebagai landasan moral yang otoritatif dan absolute. Ia menggunakan
dua standar penilaian untuk melihat apakah suatu perbuatan dapat diterima
sebagai suatu kebenaran. Kedua standar tersebut adalah reversibility,
yaitu; apakah kita ingin mendapatkan perlakuan serupa dari orang lain. Dan universalibility,
yaitu; apakah kita ingin semua manusia berprilaku serupa dalam menghadapi
situasi yang sama.
Kedua standar itu perlu
dikritisi. Reversibility misalnya tidak cocok untuk diterapkan di
pengadilan. Contoh seorang perampok yang selain merampok ia memperkosa istri
pemilik rumah. Kemudian di pengadilan dia meminta keringanan hukuman dan bahkan
pembebasan. Di sisi lain, pemilik rumah menginginkan perampok itu dihukum
seberat-beratnya bahkan hukuman mati. Dalam posisi seperti ini perampok akan
sangat sulit menempatkan dirinya pada posisi pemilik rumah yang teraniaya.
Sebaliknya, pemilik rumah juga akan sangat sulit menempatkan dirinya dalam
posisi terpidana yang mengharapkan kemaafan dan kebebasan. Bagaimana mencari
titik temu kebenaran nilai universal berpedoman pada prinsip reversibility
dalam kasus ini? Demikian pula dengan prinsip universability. Prilaku
manakah yang kita inginkan atas semua manusia: memaafkan atau menuntut hukuman?
Apakah memafkan bukan nilai yang baik secara universal?
Lickona berargumentasi bahwa
sebuah nilai-nilai seperti menghormati orang lain, kemerdekaan (liberty) dan
tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang rasional dan absolute. Nilai-nilai
ini dapat diterima semua manusia dari Negara manapun dan agama apapun. Dalam
hal ini Lickona sudah tepat memberikan kesimpulan bahwa manusia memerlukan
standar nilai yang absolute. Sayangnya ia lupa bahwa seluruh manusia bisa saja
bersepakat atas konsep dasar sebuah nilai namun berselisih dalam detilnya.
Menghormati orang lain, misalnya, apakah termasuk menghormati pilihan seseorang
untuk keluar masuk agama? Islam menolak toleransi semacam ini. Dalam Islam
hukum murtad adalah haram dan merupakan perbuatan dosa besar. Fakta ini
menunjukkan bahwa keabsolutan dan keuniversalan nilai yang digagas Lickona,
gagal dibuktikan.
Islam merupakan satu-satunya
agama yang memberikan klaim sebagai agama universal. Sebagaimana firman Allah
SWT;
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (al-Ambiya’:107).
Sayyid Quthb menjelaskan ayat
ini dengan, “Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, baik
yang beriman kepadanya maupun yang tidak beriman”. Kedatangan Islam melalui
Muhammad Saw bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh umat
manusia, tidak dibatasi hanya kepada mereka yang mengimani Islam. Penjelasan
ini diperkuat oleh hadist, “ Aku tidak diutus sebagai kutukan, tetapi aku
dikirim sebagai pembawa rahmat”. Hadist ini beliau sampaikan ketika para
sahabat meminta Nabi Muhammad Saw untuk mendoakan keburukan bagi kaum non
muslim.
Melihat dua perspektif diatas
(Barat dan Timur) ada kontroversi yang sangat jelas antara keduanya.
Barat menyandarkan pendidikan karakter pada nilai-nilai universalitas yang bisa
berubah – ubah sesuai kebutuhan zamannya. Nilai universalitas yang distandarkan
pada baik dan buruk menurut persepsi manusia, nilai yang pada masa dan kondisi
tertentu dapat diputuskan oleh penguasa sebuah Negara, nilai yang menurut
mereka absolute, permanen dan bisa diterima oleh semua manusia; lintas agama,
suku dan golongan. Barat sama sekali tidak menghubungkan nilai moral dan etika
dengan agama. James Arthur menyebutkan bahwa pembentukan karakter ada tiga
unsure, yaitu; 1) Pendidikan fisik, 2) pendidikan intelektual dan 3) pendidikan
moral. Menurutnya pendidikan moral atau karakter tidak bisa dilepaskan dari
nilai, dan nilai bersifat relative, cair dan dapat berubah. Bahkan menurut kaum
Marxis nilai-nilai dalam karakter dapat diputuskan oleh penguasa.
Sebaliknya, kaum agamais
berpendapat bahwa nilai-nilai dalam karakter bersifat seragam dan tidak
berubah. Mereka sependapat bahwa nilai-nilai moral dalam karakter bersumber
dari wahyu atau dari Tuhan. Islam pun dalam persoalan relativitas nilai nilai-nilai,
moral dan etika dalam karakter manusia tidak melepaskannya dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Islam dalam persoalan nilai, moral dan etika, merontokkan konsep
oleh barat dengan menyuguhkan universalitas nilai. Klaim ini diakui oleh
Tim Wallace-Murphy dalam bukunya; ‘What Islam Did For Us – Understanding
Islam’s Contribution to Western Civilization’, dimana ia menyimpulkan bahwa
dalam pemerintahan Islam, tiga agama besar dunia, Yahudi, Kresten dan Islam-
hidup berdampingan secara harmonis, penuh toleransi, dalam atmosfir
intelektualitas dan seni yang tinggi. Syech Shafiyurrahman al-Mubarakfuri
mengutip isi perjanjian antara Nabi Muhammad dengan warga Yahudi Madinah ;
“Orang
Yahudi yang mengikuti kami maka dia berhak mendapatkan pertolongan dan
perlakuan yang sama , tidak terdzalimi dan tidak pula tertindas. Sesungguhnya orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu
kesatuan bersama kaum muslimin, orang-orang Yahudi boleh menjalankan agama
mereka dan kaum muslimin juga menjalankan agama mereka”.
Semua itu adalah bukti
sejarah tentang universalitas nilai dalam Islam. Nilai – nilai universal
itu terbangun karena Nabi Muhammad Saw menjalankan syariat, menjadi pemimpin,
menjalin komunikasi dan beribadah berdasarkan wahyu. Maka wahyulah yang menjadi
sumber nilai, sumber moral dan etika, yang kemudian Nabi Muhammad Saw
menyebutnya dengan akhlak.
Penulis
adalah Dosen Tetap Institut Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau. Merangkap
beberapa jabatan; Wakil Rektor 1 IAI Al-Azhaar, Pimpinan Pondok Pesantren
Al-Azhaar, Ketua Yayasan Permata Nusantara Al-Azhaar dan Ketua Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama Kota Lubuklinggau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar