Kamis, 07 November 2013

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PAHAM MENYIMPANG



TINJAUAN KRITIS TERHADAP PAHAM MENYIMPANG
DALAM DUNIA ISLAM
Oleh : AH. Mansur, SE.M.Pd,I

Menyoal masa depan Islam Indonesia khususnya, serta Islam internasional pada umumnya, yang terjadi hari ini adalah munculnya indikasi kuat sekolompok aktivis yang secara bersama-sama membangun paradigma baru tentang Islam, terutama Islam Indonesia di mata dunia Internasional. Karena Islam, terutama pasca serangan 11 September 2001 yang menghancurkan Gedung WTC (World Trade Centre), telah dimaknai oleh Barat sebagai agama kekerasan, dan pada saat itu hal-hal yang menyangkut agama menjadi kian sensitif. Padahal mayoritas masyarakat muslim dunia tidak pernah menganggap Barat sebagai musuh.
Kasus hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York, Washington DC, yang diduga dilakukan sekelompok ekstrimis Islam di bawah komando Osama bin Laden, membuat penilaian negatif masyarakat Barat terhadap umat Islam semakin kencang dan hubungan keduanya mencapai titik nadir.

Kondisi itu mengakibatkan kaum muslimin di dunia menuai stigma buruk dan disebut sebagai pengikut ajaran agama dogmatis yang hanya menyebarkan teror dan kekerasan. Pandangan yang sangat buruk itu terjadi karena masyarakat barat melampiaskan kekecewaannya terhadap umat Islam yang diyakininya sebagai kaum yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kaum lainnya. Padahal kebanyakan penduduk barat itu tidak tahu secara persis ajaran Islam sesungguhnya dan hanya didasari atas pemberitaan kasus terorisme dari media massa yang pemberitaan dan content-nya hanya menyudutkan umat Islam dengan stigma kekerasan, non kompromistis dengan agama lain, sehingga membuat umat lain menjadi berang kepada umat Islam.
Masalah yang dihadapi ummat Islam dewasa ini sebenarnya bukan masalah ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi masalah perang pemikiran (ghazghatul fikr). Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah liberalisasi pemikiran keagamaan.
Ummat Islam saat ini menghadapi dua masalah sekaligus. Pertama, persoalan internal yang dari waktu ke waktu belum menunjukkan akan berakhir, yaitu masalah fanatisme madzhab (aliran), taklid buta, bid’ah, khurafat, yasinan, tahlilan, qunut dan sebagainya. Kedua, persoalan eksternal berupa masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan bangsa Indonesia.
Akar Sejarah munculnya Paham – Paham Baru
Untuk memahami pluralisme agama, perlu ditelusuri sejarahnya, paling kurang sejak awal abad ke-20 . Ketika itu seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch mengungkapkan perlunya bersikap pluralis ditengah berkembangnya konplik internal agama Kristen maupun antar agama. Dalam artikelnya berjudul " The Place of Christianity among the Word Relegions", ia menyatakan, umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senanda banyak dilontarkan sejumlah pemikir dan teolog Kristen antara lain, seperti William E. Hocking dan sejarawan terkenal Arnold Toynbee. Oleh karena itu gerakan ini dapat dikatakan sebagai "liberalisasi agama Kristen" yang telah dirintis dan diasaskan oleh tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiremacher pada sekitar abad pertengahan ke-19 lewat pergerakannya yang dikenal dengan "Liberal Protestantism". Konplik internal Kristen yang hebat ketika itu sampai mendorong Presiden AS, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar aliran tersebut. Pada awal-awal abad ke-20 juga mulai bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis Kristen di Amerika Serikat. Jadi selain konplik antar aliran Kristen, ternyata faktor politik juga sangat erat dengan latar belakang gagasan ini. Sebagai sebuah bentuk liberalisasi agama, Pluralisme Agama adalah respon teologis terhadap political pluralism (baca : liberalisasi politik) yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal dan yang secara nyata dipraktikan oleh Amerika Serikat. Kecendrungan umum dunia Barat pada waktu itu telah berusaha menuju modernisasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modernisasi itu adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka, dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks itu, maka Relegious Pluralism pada hakikatnya adalah gerakan politik par excellen dan bukan gerakan agama. Setiap manusia dipandang sama " by virtue of being human", tidak ada ras, suku, bangsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling unggul.

Invasi Pemikiran Barat
Barat, setelah berhasil mendesak gereja memperkecil otoritasnya dalam dunia politik  dan berhasil membangun paradigma baru dengan apa yang disebut secular-liberal, akhirnya disadari atau tidak produk budaya, sosial, system ekonomi dan bangunan pemikirannya menggurita ke seluruh dunia. Mengapa demikian? Tidak lain karena Barat sejak berakhirnya perang dingin menjadi raksasa peradaban yang berhasil menghegemoni dunia. Pemikiran tentang pentingnya memisahkan kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda antara agama dengan kekuasaan (kekaisaran), yang pada awalnya digagas oleh Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di Amerika, pelan-pelan diterima oleh gereja. Bahkan Arend Theodor Van Leeuwen, mencatat dalam bukunya, ‘Christianity in Word History’, “penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan skularisasi. Krestenisasi dan skularisasi terlibat bersama dalam suatu hubungan yang dialektikal”.
Dapat dibayangkan, bila gereja yang awalnya sangat konservatif terhadap pembaruan pemikiran, apalagi sampai mendobrak tradisi gereja, berhasil ditaklukkan,  itu berarti awal kemerdekaan dan kebebasan yang luar biasa bagi para penggagas, dan bahkan menjadi pintu gerbang lahirnya generasi pemuja secularism-liberalism. Yang sangat disayangkan, penyebaran paham secular-liberal yang awalnya bertujuan membebaskan masyarakat dari cengkraman  gereja yang begitu kuat dan hegemonic, ternyata akhirnya merambah ke masalah keagamaan. Ditandai dengan munculnya pemikiran Yahudi Liberal (Liberal Judaism) dengan tokohnya Abraham Gieger, termasuk bermunculannya paham-paham baru dalam teologi Kristen. Proses sekularisasi-liberalisasi agama ini, secara terus menerus, dari generasi ke generasi, menggelobal dan bahkan dipromosikan ke agama-agama lain, termasuk Islam.
Di Indonesia, paham secular-liberal ini dikembangkan dengan bahasa-bahasa yang lebih sederhana, menarik dan provokatif. Seolah-olah pluralisme agama sebuah keharusan yang wajib dipeluk oleh seluruh pemeluk agama, menggantikan pahan lamanya, eksklusivisme. Invasi pemikiran ini sesungguhnya sudah lama menjalar ke Indonesia melalui orang-orang yang berkesempatan belajar di Eropa, terutama di Negeri Paman Syam, Amerika Serikat. Tetapi penyebarannya menjadi semakin intens dan luas setelah peristiwa sabotase gedung Word Trade Centre (WTC) pada 11 September 2001. Bahkan kegiatan penyebarannya lebih terorganisir dengan pendanaan yang sangat besar melalui LSM-LSM luar negeri dan dalam negeri yang sengaja dibentuk untuk itu.
Upaya westernisasi (pembaratan) atas nama studi Islam di Perguruan Tinggi semakin mendapatkan angin, ketika gerakan pemikiran mereka mendapatkan dukungan serius dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dengan program pengiriman para dosen IAIN ke McGill untuk mengadopsi metode studi agama ala Barat. Hal ini terungkap dalam sebuah buku berjudul ‘Paradigma Baru Pendidikan Islam’, yang diterbitkan oleh Direktorat  Pendidikan Tinggi Islam – Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI (2008) ditulis ;
Melalui pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat massif dari seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang tradisional studi Islam ke arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang sangat menyolok terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan tingkat grass root.”
Program inilah diantaranya yang berhasil signifikan dalam memproduksi pemikiran baru studi agama di Indonesia. Termasuk yang paling besar juga berinvestasi dalam menjembatani proses transformasi tradisi pemikiran Barat ke dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer – ditandai dengan bomingnya istilah-istilah baru seperti – Islam Fundamentalis, Islam Radikal, Islam Militan, Islam Moderat, Islam Inklusif, Islam Eksklusif, Islam Pluralis, dan sebagainya.
Selanjutnya pemikiran Islam kontemporer ini tumbuh subur di hampir seluruh Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, terutama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), antara lain UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Raden Fatah Palembang, dan lain-lain. Produk pemikiran baru ini juga berhasil masuk ke ormas-ormas Islam semacam NU dan Muhammadiyah, dan bahkan ke pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Baik melalui proses asimilasi gagasan para dosen Perguruan Tinggi dengan mahasiswa alumni pesantren, maupun melalui jalur workshop dan seminar dengan tema pembaruan pendidikan Islam, oleh aktivis-aktivis yang bergerak di bidang itu.

Tokoh-Tokoh Pembaharu Pemikiran Islam Berikut Karya dan Pendapatnya.
1.    Buku FIQIH LINTAS AGAMA karya Tim Penulis PARAMADINA yang terdiri dari Prof DR. Nurcholish Majid (Pendiri Paramadina), Prof. DR. Komaruddin Hidayat (RektorUIN Jakarta), DR. Kautsar Azhari Noer (Dosen UIN Jakarta), DR. Zainun Kamal (Dosen UtN Jakarta). KH, Masdar F. Mas’udi (Ketua PBNU), Zuhairi Misrawi, Lc (Kader Muda NU dan anggota Baitul Muslimin Indonesia-PDIP), Budhy Munawar Rachman (Dir. Program Paramadina), Ahmad Gaus AF (Dir. Publikasi Liberal for All Foundation – USA), dan sebagai Editor; Mun’im A. Sirry, MA (Peneliti Paramadina). Diterbitkan oleh Yayasan Waqaf Paramadina & The Asian Foundation, tahun 2004.
ISI BUKU :
a)        Menghina FIQIH sebagai belenggu kehidupan dan memfitnahnya sebagai ajaran yang mendiskreditkan agama lain, bahkan sebagai penyebar kebencian dan kecurigaan terhadap agama Islam. (Kata Pengantar hal. ix dan Mukadimah hal. 2).
b)        Mengnina periode dan generasi AS-SALAF ASH-SHOLIH sebagai penyebab kebekuan pemahaman, dan memfitnah IMAM SYAFI’I sebagai penyebab tidak berkembangnya pemikiran Islam lebih dua belas abad. (Mukadimah hal 4- 5).
c)        Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah DISKRIMINATIF, EKSKLUSIF dan FUNDAMENTALISTIK. (hal. 142).
d)       Umat beragama apa pun tidak kafir, karena semua agama sama dan benar. sehingga tidak boleh ada yang mengklaim bahwa agarnanya yang paling benar. (hal 133, 167, 206 – 207).
e)        Atas Dasar HIKMAH dan KEMASLAHATAN persaudaraan, persahabatan, kedamaian, kerukunan, solidaritas, persatuan dan kehangatan pergaulan antar umat beragama, maka BOLEH mengucapkan SALAM kepada NON MUSLIM, bahkan WAJIB menjawab salam mereka. (hal. 72. 77 – 76), BOLEH mengucapkan SELAMAT NATAL alau Selamat Hari Besar Agama apa pun, bahkan BOLEH ikut merayakannya (hal.84-85), BOLEH MENDO’AKAN dan MINTA DO’A dari NON MUSLIM, termasuk DO’A BERSAMA, bahkan semua itu DIANJURKAN. (hal. 102 -103, 107), BOLEH MASUK MASJID mana saja dan kapan saja bagi NON MUSLIM, termasuk MASJIDIL HARAM dan MASJID NABAWI. (hal. 110 & 118), Hukum JIZYAH melecehkan NON MUSLIM, maka harus DINASAKH. (hal.151- 152), BOLEH Kawin Beda Agama dan HARUS ada Waris Beda Agama (hal. 164 & 167).
2.    Buku LOBANG HITAM AGAMA karya Sumanto AI-Qurtuby (alumnus IAIN Semarang) dengan Pengantar : Ulil Abshar Abdalla (Kader Muda NU, Pendiri JIL dan Dir. Freedom Institute), dan di-endos cover yang penuh pujian oleh : Gus Dur (Mantan Ketua PBNU & Mantan Presiden RI), DR. Moeslim Abdurrahman (Cendikiawan Muhammadiyah), Anif Sirsaeba Alafsana (Pengasuh Pesantren Karya Basmala Indonesia), Ahmad Tohari (Budayawan), dan Trisno S. Sutanto (Pengamat Sosial dan Keagamaan). Diterbitkan oleh Ilham Institute dan Rumah Kata, tahun 2005.
ISI BUKU :
a.    PENISTAAN TERHADAP AGAMA, meliputi ; Agama bukan produk Tuhan (hal. 31), Agama adalah penjajah budaya dan pemasung intelektual (hal. 55 & 58), Agama mematikan akal dan nalar (hal. 59), Agama sumber konflik dan pembawa bencana (hal 83 & 37), Islam adalah strategi budaya Muhammad dan merupakan sinkretik, serta campuran budaya : Judaisme, Kristianisme dan Arabisme (hal 216. 217 dan 225) dan Penulisan bahasa arab adalah Arabisme (hal. 22)
b.    PENISTAAN TERHADAP AL-QUR’AN. Pahamnya antara lain; Kemaslahatan lebih diutamakan daripada ayat-ayat Tuhan (hal. 31), Umar ikut menciptakan Al-Qur’an (hal. 32), Teks Al-Qur’an tidak autentik (hal. 34 & 37). Nabi dan para sahabat adalah para pencipta Al-Qur’an (hal. 43), Al-Qur’an angker dan perangkap bangsa Quraisy, serta dibuat oleh manusia dan bukan kitab suci (hal. 64 – 65), Al-Qur’an membelenggu kebebasan dan rnenciptakan tragedi kemanusiaan (hal. 117), Muhammad, Islam dan Al-Qur’an tidak terlepas dari distorsi / penyimpangan (hal. 126), Kandungan Al-Qur’an kontroversi (hal. 142). Al-Qur’an saja bermasalah, apalagi Kitab Kuning (hal. 146).
c.    PENISTAAN TERHADAP NABI, SHAHABAT & ULAMA. Hasil pemikirannya antara lain ; Utsman pelaku nepotisme dan keliru membuat mushaf Al-Qur’an (hal.39), Nabi dan para Tokoh Non Muslim seperti : Gandhi, Luther, Bunda Terresa & Romo Mangun bersama-sama menunggu di Surga (hal. 45), Kisah Heroik Para Nabi dan Mu’jizatnya hanya dongeng seperti : Sinetron “Saras 008″ atau kisah heroik James Bond (hal. 58), Nalar Politik Tirani dibentuk oleh Khulafa’ Rasyidin (hal 124), Para sahabat Nabi telah memperagakan Politik Islam dengan sangat sempuma mengerikannya (hal. 134), Imam AI-Mawardi mengkhianati hak-hak rakyat dan seorang Rasis / Arabisme (hal150 & 155), Doktrin Politik Sunni ambigu dan out of date / kadaluarsa (hal 167), Al-’Asy’ari dan Al-Ma’turidi menjalin persekongkolan politik (hal. 171) dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA) adalah sekte yang telah memanipulasi teks-teks keagamaan (hal. 229).
d.   PENISTAAN TERHADAP SYARI’AT ISLAM. Inti kajiannya adalah; Syari’at Islam menciptakan gerombolan mafia dan anjing-anjing penjilat kekuasaan (hal. 70), Syari’at Islam diskriminatif terhadap perempuan dan non muslim (hal.131-132) dan Formalisasi Syari’at Islam bukan hanya Utopis, tapi juga Tirani (hal. 134).
e.    PERNYATAAN 10 BESAR TOKOH SEPILIS INDONESIA.
·      Prof. DR. Dawam Rahardjo : Mantan Pengurus PP Muhammadiyah “Kalau Islam tidak bisa dikontrol oleh negara sebaiknya Islam dilarang saja di Indonesia”, dilontarkan dalam Kolokium International Center Islam and Pluralism (ICIP) pada Selasa, 11 Oktober 2005 di Jakarta, dikutip http://www.christianpost.co.id/, “Pindah Agama tidak Murtad!” dilontarkan dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada Rabu, 25 Januari 2006 di Pekanbaru-Riau, dikutip Suara Pembaruan.
·      Prof. DR. Musdah Mulia. MA : Ahli Peneliti di Depag Rl dan Dosen UIN Jakarta “Tidak ada perbedaan antara Lesbian dan tidak Lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai didasarkan pada keimanan mereka”. dilontarkan dalam Dialog Publik di Jakarta pada 27 Maret 2008. (Suara Islam edisi 42, 18 April – 1 Mei 2008, hal. 12). Di tahun 2004 menjadi Kordinator Tim Pengurus Utamaan Gender (PUG) – Depag RI, yang menerbitkan Counter Legal Draft – Kompilasi Hukum Islam (CLD – KHI) yang berisi, antara lain : Poligami tidak sah, Kawin Beda Agama sah, Laki-laki terkena ‘iddah 130 hari. Waris anak laki dan perempuan sama. (50 Tokoh Islam Liberal Indonesia Budi Handrianto, hal. 237 – 241).
·      Prof. DR. M. Amin Abdullah Mantan Rektor UIN Yogyakarta.
“Tafsir-tafsir klasik AI-Qur’an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.” (Pengantar untuk buku Hermeneutika Pembebasan, karya llham B. Saenong, terbitan Teraju – Jakarta, tahun 2002).
·      Prof. DR.Abdul Munir Mulkhan : Mantan Pengurus Muhammadiyah.
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar Tiap pintu adalah jalan pemeiuk tiap Agama memasuki kamar surganya.” (dari bukunya : Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Kreasi Wacana. Yogyakarta, tahun 2002, hal. 44).
·      DR M Luthfi Asy-Syaukani : Dosen di Universitas Paramadina, mengatakan ; “Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep Agama seperti Kitab Suci, Nabi, Malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi.” (Kompas. 3 September 2005). Dalam Dialog antara Luthfi Syaukani – Adnin Armas, MA di Mailing List (milis) Islam Liberal, tanggal 10 Mei 2001, Luthfi menyatakan bahwa buku-buku karya kaum Orientalis atau Liberal seperti : AAA. Fyzee, M. Watt, H.A.R. Gibb, Denny, Laroui, Nashr Hamid Abu Zayd, An- Na’im, Fatima Mernissi, dan lain-lain, lebih disukai dari pada kitab- kitab Para Ulama Salaf seperti : Syafi’i, Bukhori, Ghazali, dan lain- lain, yang dinilainya sebagai buku-buku biasa yang membosankan. (Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam, GIP. Jakarta, tahun 2003, hal. 36-37).
·      Ulil Abshar Abdallah, MA : Kader Muda NU dan Pendiri JIL. Pendapatnya ; “Menurut saya, tidak ada yang disebut Hukum Tuhan dalam pengertian seperti yang dipahami orang Islam. Misalnya Hukum Tuhan tentang pencurian, jual-beli, pernikahan, pemerintahan dan lain-lain.” (Kompas, 18 November 2002). Pendapatnya yang lain ; “Rasul Muhammad adalah Tokoh Historis yang harus dikaji dengan kritis (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya).” (Kompas, 18 November 2002). Selanjutnya ; “Negara Sekuler lebih unggul daripada Negara Islam ala fundamentalis, sebab Negara Sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.” (Tempo edisi 19-25 November 2002). Yang lain lagi ; “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar.” (Gatra, 21 Desember 2002). Yang terakhir ; “Dari segi substansi saya tidak menyesali tulisan saya.” (Gatra, 21 Desember 2002).
·      Goenawan Mohamad Wartawan Tempo, yang juga tokoh SEPILIS yang RASIS dan FASIS serta berhaluan SOSIALIS. Pernah membela SALMAN RUSHDI dengan alasan kebebasan mencipta, dan MEMBELA AHMADIYAH dengan alasan kebebasan beragama, serta MENOLAK RUU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI (RUU APP) lewat tulisannya yang berjudul: RUU Porno : Arab atau Indonesia ? Dia menyimpulkan bahwa RUU APP adalah ARABISASI (Koran Tempo 8 Maret 2006)
Produk Evolusi Pemikiran Barat Terhadap Islam
1.    Liberalisme
Secara terminology Liberalisme dapat diartikan sebagai paham kebebasan, yaitu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, sebagai titik tolak dan sekaligus tolok ukur dalam interaksi sosial. Pengertian tersebut dapat dipahami dari konteks kelahirannya di Eropa.
Menurut paham liberal, individu mempunyai kedudukan sangat fundamental, maka kebebasan individu harus dijamin. Sebagai reaksi terhadap kondisi zamannya, liberalisme mulanya berorientasi pada kebebasan politik, kemerdekaan agama dan ekonomi.
Pada kehidupan politik melahirkan pengertian tentang negara yang demokrasi. Pada bidang politik penganut ajaran liberalisme menginginkan adanya pembatasan kekuasaan negara. Monarki absolut dianggap tidak relevan. Dalam bidang ini liberalisme berkaitan dengan demokrasi.
Pada kehidupan agama, liberalisme dimulai pada masa Renaisanse yang memperjuangkan kebebasan manusia dari kungkungan gereja/agama.
Pada kehidupan ekonomi, liberalisme menentang monopoli atau campur tangan pemerintah dalam berusaha, dengan kata lain menuntut ekonomi bebas. Semboyan mereka : Laisser Faire, Laisser Passer, Le Monde Va De Lui- Meme". (Produksi bebas, perdagangan bebas, hukum kodrat kalau akan menyelengarakan harmoni dunia). Dan nasionalisme menurut adanya UUD Pendidikan Umum, kemerdekaan pers, kemerdekaan berbicara, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, dan beragama.
Liberalisme merupakan antitesis dari sistem perdagangan yang menggunakan sistem merkhantilisme. Pedagang besar sering disebut borjuis, mereka ingin memperoleh kebebasan dalam melakukan usaha. Pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Mereka menyatakan bahwa pemerintahan yang paling baik seharusnya paling sedikit ikut campur dalam bidang ekonomi. Pandangan ini dikemukakan oleh Adam Smith (Bapak Ekonomi liberal kapitalis) yang menyatakan bahwa hukum pasar akan diatur oleh “ invisible hands”.
Negara menurut paham liberalisme tradisional fungsinya sebagai penjaga malam. Dalam sistem liberalisme peluang tumbuhnya sistem kapitalisme sangat besar. Sejak timbulnya kapitalisme dan kemenangan paham liberalisme, imperialisme barat berubah menjadi imperialisme modern.
Ciri imperialisme modern adalah:
·       Daerah jajahan sebagai pensuplai bahan baku.
·       Masyarakat jajahan sebagai sasaran penjualan hasil produksi.
Dalam hubungannya dengan perkembangan nasionalisme di negara Asia – Afrika, liberalisme memberikan gambaran kontradiktif dari bangsa penjajah (Eropa pada waktu itu). Hal ini berarti di satu sisi mendengungkan kebebasan, namun di daerah jajahan sama sekali tidak memberi kebebasan pada bangsa yang dijajah.
Liberalisme muncul di Eropa abad ke 17, memuncak pada abad ke 19 dan tenggalam pada abad ke 20. Istilah liberalisme ini berasal dari kata liberales (bahasa Spanyol), yaitu nama partai pada abad ke-19 yang memperjuangkan pemerintahan konstitusional untuk Spanyol. Waktu itu masyarakat Eropa ingin berontak terhadap kehidupan politik, budaya serta agama yang cenderung bersifat absolut. Masyarakat ingin membebaskan diri dari belenggu absolutisme yang diciptakan golongan bangsawan dan agamawan.

2.    Skularisme
Secara etimologis, sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasalatin), mempunyai arti dengan dua konotasi, yaitu waktu dan lokasi: waktu menunjukan kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’, dan lokasi menunjuk kepada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Sekularisme juga memiliki arti ‘fashluddin anil haya’,yaitumemisahkan peran agama dari kehidupan yang berarti agama hanya mengurusi hubungan antara individu dan penciptanya saja. Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini.Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.
Sekularisme secara terminology sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara (politik) dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan Tuhan. Maka,menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri sendiri.
Paham sekuler ini pertama mulai mendunia ketika Harvey Cox, menulis sebuah buku berjudul “The Secular City”, kemudian menurut Cox, sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Selanjutnya, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas menuju sekularisasi, yaitu “disentchantmen of nature” yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), “desacralization of  politics” dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum yahudi dari Mesir, dan “deconsecration of values” dengan perjanjian sinai (Sinai Covenant).
Jadi menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka ummat kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan bible. Maka, tugas kaum kristiani adalah menyokong dan memelihara sekularisasi.
Yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan antarasekularisasi dan sekularisme. Menurut Syed naquib Al Attas, Sekularisasi adalah suatu proses yang berkelanjutan dan berakhir terbuka dimana nilai-nilai dan pandangan-pandangan dunia secara terus menerus diperbarui sesuai dengan perubahan evolusioner sejarah. Jadi, sekularisasi merupakan proses keterbukaan pandangan pada nilai-nilai yang berlangsung tiada ujung –yang selalu berevolusi- sesuai dengan zaman dan keadaan manusia.

3.    Pluralisme
Pluralisme ( pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster's Revised Unabridged Dictionary (1913 + 1828) arti pluralism adalah:
“Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana dan  interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Secara garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai dimana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekerja. Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam ke-bhinnekaan
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagi contoh adalah kota New York. Kota ini adalak kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya.
Sebagai contoh, “kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa Eropa bahwa “Colombus menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan “kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan “Colombus mencaplok Amerika”.
Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama, walaupu berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi harus diterima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada perubahan sosial.
Persolannya kemudian, paham pluralism yang awalnya dimaksudkan untuk membangun konsep interaksi antara beberapa kelompok agar saling menghormati dan toleransi atas perbedaan, ujungnya  merambah ke doktrinasi pluralism agama. Sebagai sebuah cara pandang, bagaimana memandang agama-agama yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang benar atau semua agama benar.

4.    Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu.
Pendapat pakar tentang multikulturalisme sebagai berikut ;
·       Azyumandi Azra; “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.
·       Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007). Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”;
·       Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174. Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
·       Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000; Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
·       A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar; Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.
·       Furnivall berpendapat ; “Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik”.
·       Clifford Gertz mengatakan ; “Masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial”.
·       Nasikun berpandangan ; “Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara setruktur memiliki sub-subkebudayaan yang bersifat deverseyang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial”.
·       Kesimpulan saya adalah ; Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, dll yang hidup dalam suatu kelompok masyrakat yang memiliki satu pemerintaha tetapi dalam masyarakat itu masig terdapat segmen- segmen yang tidak bisa disatukan.
     Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah ‘monokultural’ juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
     Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit.[rujukan?] Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.

5.    Kesetaraan Gender/Feminisme
Feminisme adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan paham ini dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan, khususnya dalam istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi.
Salah satu tipe utama dari feminisme secara institusional, difokuskan pada pembatasan atau pemberantasan ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak, kepentingan dan isu-isu kaum perempuan dalam masyarakat. Tipe lainnya yang berlawanan dengan feminisme modern, -dengan akar sejarahnya yang mendalam-, memfokuskan pada pencapaian dan penegakan hak keadilan oleh dan untuk perempuan, dengan dihadap-hadapkan dengan laki-laki, untuk mempromosikan kesamaan hak, kepentingan dan isu-isu menurut pertimbangan gender.
Jadi, seperti halnya suatu ideologi, gerakan politik atau filsafat manapun, tidak pernah didapati bentuk feminis yang tunggal dan universal yang mewakili semua aktivis feminis. Dalam menggemakan feminis anarkhis, seperti Emma Goldman, telah berasumsi bahwa hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan dan semua organisasi perlu dirombak dengan desentralisasi ultra-demokrasi. Sebagian feminis lainnya berpendapat bahwa pemimpin pusat (central leader) dalam organisasi apapun berasal dari struktur kekeluargaan yang andosentrik. Maka struktur seperti ini perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana tersebut melihat bahwa esensi feminisme sebenarnya adalah isu seks dan gender.
Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undang-undang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan.

Tinjauan Kritis Terhadap Paham Menyimpang
1.    Liberalisme Agama
Pandangan yang mengatakan bahwa agama merupakan masalah pribadi dan oleh karenanya setiap individu memiliki kebebasan memeluk agama yang diyakininya, sesungguhnya tidak bertentangan dengan Islam. Allah sendiri berfirman “ bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (al-kafirun : 6) dan ayat yang artinya “ tidak ada paksaan dalam agama”( al-Baqarah : 256), menunjukkan bahwa Islam sepakat dalam hal ini. Tetapi ketika kemerdekaan individu memilih agama melanggar batas – batas aqidah, disini terbentang jurang pemisah yang sangat tajam antara nilai kebebasan persepsi Barat dengan nilai – nilai teologi Islam.
Kebebasan dalam persepsi Barat merupakan nilai yang berangkat dari paham relativisme, dimana kebebasan bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai zamannya. Misalnya perkawinan sesama jenis (lesbianisme), dulu dikutuk keras oleh gereja. Tetapi seiring dengan perubahan paradigm tentang arti kebebasan akhirnya gereja melegalkan lesbianisme. Dan bahkan beberapa Negara sudah melegalkan perkawinan sesama jenis dalam konstitusi negaranya. Kebebasan relative ini mendorong orang berpindah – pindah keyakinan/agama, atau bahkan boleh memilih untuk tidak beragama.
Konsepsi Islam tentang kebebasan beragama bersifat absolute, bersumber wahyu. Walaupun Islam tidak menghendaki adanya paksaan dalam bergama, tetapi tidak memberikan ruang toleransi kepada pemeluknya untuk berpindah – pindah keyakinan. Sebab Islam mengimani hal-hal prinsip dalam beraqidah, yaitu ; kafir, murtad, iman, taqwa, mukmin, muslim, dll. Al-Qur’an tidak membolehkan perkawinan sesama jenis, maka sampai kapanpun ajaran itu tidak akan berubah.
2.    Pluralism agama
Diskusi sengit antara Prof. Malikan dengan Rahmat dalam novel “KEMI”, karangan Adian Husaini, tentang Metodologi Studi Agama-Agama, sangat menarik untuk dibahas disini. Prof. Malikan berpendapat bahwa agama – agama di dunia ini sama – sama mengajarkan kebenaran, sama – sama menuju Tuhan yang satu. “Seharusnya kita keluar dari garis ufuk dan melihat agama-agama dari titik pandang ketinggian  yang sama. Maka kita akan melihat agama-agama yang ternyata menyembah Tuhan yang sama, hanya cara menyembah dan cara menyebut Tuhannya saja yang berbeda. Padahal hakikatnya sama.”
Pandangan ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan keimanan ummat Islam. Sebagaimana firman Allah ; “ Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam”. Dan ummat Islam mengimani seluruh isi al-Qur’an tanpa reserve. Jadi kalau ada paham yang bertolak belakang dengan realitas ajaran Islam, pasti ditolak. Contoh misalnya ajaran Kristen menyatakan bahwa Nabi Isa mati dibunuh dan disalib demi menebus dosa ummatnya. Realitas ajaran ini sangat bertentangan dengan al-Qur’an yang menyatakan bahwa Nabi Isa tidak mati dibunuh dan disalib. Pada titik pandang ini, tidak bisa keyakinan seseorang dinetralkan untuk tujuan pembenaran terhadap agama lain. Agama atau keyakinan itu adalah sikap dan pilihan hidup, jadi harus jelas berada di posisi mana.
3.    Pemisahan negara dan agama
Pemuja paham Sekularisme berpandangan bahwa antara agama dan Negara itu memiliki kewajiban dan tanggung jawabnya masing – masing. Agama adalah urusan individu dengan Tuhan. Karenanya agama tidak boleh meng-intervensi invidu, Negara, sosial dan budaya. Paham sekularisme menggagas aturan – aturan, undang – undang dan nilai – nilai yang menjadi pedoman dalam menjalankan politik pemerintahan, pengembangan budaya dan tatanan sosial, haruslah mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dan disepakati bersama. Cengkeraman dogma Injil (Kristen), Taurat (Yahudi) dan al-Qur’an (Islam) tidak boleh menjadi hukum negera.
Paham ini yang kemudian melahirkan paham-paham baru dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti ; demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), pembebasan pemerintahan monarki, kekuasaan di tangan rakyat (civil society), civilization, dll. Padahal Rasulullah Saw, memimpin pemerintahan di Madinah, berhadapan dengan suku-suku dan agama yang beragam, menggunakan wahyu sebagai sumber hukumnya. Dan terbukti mampu membangun peradaban baru di dunia Arab, yang terus berkembang selama ratusan tahun, menjadi imperium raksasa di dunia internasional.
4.    Toleransi tanpa batas
Kehidupan yang mengutamakan kebersamaan, toleransi dan saling menghormati antar kelompok masyarakat meliputi, sosial budaya, ekonomi, suku, ras dan agama, adalah dogma yang diperjuangkan oleh penganut paham multikulturalisme. Paham ini berpandangan bahwa menghormati pendapat dan keyakinan orang lain, toleransi antar kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan agama, merupakan misi yang harus dijunjung tinggi. Kehidupan beragama tidak boleh menjadi sekat dan tembok yang menjauhkan manusia yang satu dengan manusia lainnya. Sebaliknya, agama seyogyanya menjadi tali pemersatu antar umat beragama, sekalipun agama yang berbeda dengan keyakinan kita.
Islam yang diperaktekkan oleh Rasulullah Saw, sesungguhnya telah memperakarsai sikap tasamuh (toleran), menghormati pendapat dan keyakinan orang lain. Di Madinah Rasulullah Saw. hidup berdampingan dengan umat Yahudi, umat Nasrani dan beragam suku yang tinggal di sekitar Madinah. Rasulullah menjadi model toleran yang sangat baik dan bahkan diakui oleh umat lainnya. Tetapi untuk hal-hal yang perinsip, soal yang menyangkut aqidah, tidak semestinya umat Islam melakukan tindakan bodoh dengan ikut merayakan ‘Natal’ misalnya, berdoa bersama-sama dengan umat Kristen dalam satu majelis, menolak poligami dan melegalkan kawin beda agama, mendebat ketidakadilan waris antar laiki-laki dan perempuan, dll. Penghormatan kepada agama lain tidak boleh menjerumuskan umat kepada kemusyrikan dan kekafiran.
Disinilah garis rentang yang sangat jauh antara ajaran Islam yang dogmatis bersumber wahyu, dengan nilai – nilai yang merupakan hasil produk budaya. Toleran tidak berarti menjual agamanya, toleran tidak berarti menjerumuskan aqidahnya. Toleran tidak boleh menjadikan keyakinan umatnya bias, tidak bermakna. Toleran hanya boleh pada batas-batas kemanusiaan tanpa harus melabrak aqidah.
5.    Kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan
Pendapat orang yang mengatakan derajat perempuan dengan laki-laki itu sama, sangat bertentangan dengan al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah ; “kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum perempuan” (an-Nisa’: 34 )  Emansipasi tidak semestinya dimaknai sebagai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan pada sudut pandang yang sama. Sehingga paham kesetaraan gender menisbikan fitrah dirinya. Kesetaraan gender harus difahami laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban sesuai fitrahnya. Memiliki hak yang sama, ya. Dan memiliki kewajiban yang sama, ya. Tetapi hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan berbeda substansinya. Laki-laki memiliki karakter menguasai karena memiliki tubuh yang lebih kekar dan kuat, laki-laki melindungi, laki-laki bekerja untuk kebutuhan rumah tangganya dan laki-laki menjadi pemimpin. Sementara perempuan karakternya lemah lembut karena memiliki tubuh yang lebih kecil dengan otot-otot yang lemah, perempuan karakternya minta dilindungi, minta dikasihi, disayangi, perempuan menyusui, merawat dan membesarkan anak.
Oleh karenanya maka tidak rasional bila perempuan memimpin, perempuan bekerja keras (kecuali pekerjaan yang sesuai dengan fitrahnya), perempuan menjadi imam shalat dan menjadi kepala rumah tangga. Itu berlawanan dengan fitrahnya sebagai perempuan.
Kesimpulan
Dari keseluruhan paparan dalam makalah ini dapat disimpulkan antara lain ;
1.    Paham-paham menyimpang dalam Islam di Indonesia ternyata telah berkembangan demikian massif dan tumbuh subur justru di perguruan tinggi Islam, sekolah Islam dan pesantren. Paham-paham tersebut antara lain ; liberalism, sekularisme, plularisme, multikulturalisme, kesetaraan gender dan lain – lain, yang semuanya berusaha merekonstruksi Islam dari berbagai sisi.
2.    Invasi penyebarluasan paham Barat (westernisasi) telah puluhan tahun dilakukan oleh pluralis Barat melalui para pelajar Indonesia yang studi di Barat, dan mejadi lebih intens pasca peristiwa 11 Maret 2001. Dukungan Kementerian Agama juga memiliki andil sangat besar dalam menumbuh suburkan paham-paham menyimpang ini.
3.    Umat Islam Indonesia saat ini berhadapan dengan dua masalah besar; pertama, masalah internal berupa perbedaan persepsi soal, yasinan, tahlilan, qunut, khurafat, talqin, dll. Kedua, masalah eksternal berupa masuknya paham baru yang realitasnya menanamkan keraguan pada kebenaran agama, wahyu, tuhan, nabi, malaikat dan kebenaran Islam. Dekonstruksi makna pada ajaran yang sifatnya absolute dikaburkan dengan alasan dan logika yang mereka anggap modern dengan mengatas namakan peradaban baru.
Rekomendasi
1.     Kepada umat Islam dunia, khususnya Islam di Indonesia agar selektif dalam menerima pemikiran – pemikiran baru keagamaan. Karena paham-paham menyimpang yang bernama ;  liberalism, sekularisme, pluralism, multikulturalisme dan persamaan gender, sudah demikian dekat dengan kehidupan umat Islam itu sendiri. Bisa di sekolah, di keluarga dan kelompok masyarakat.
2.     Kepada pemimpin lembaga pendidikan Islam di seluruh Indonesia untuk berhati-hati menerima pemikiran baru dalam Islam. Rekrutmen tenaga guru, dosen dan tenaga kependidikan harus melalui seleksi yang ketat guna menghindari arus sekularisasi dan liberalisasi yang pada puncaknya akan mengubah pandangan agama generasi umat Islam.
3.     Kepada pemerintah kiranya me-repersepsi soal pembaruan pemikiran Islam, agar tidak terjebak dalam kubangan pemahaman yang salah tentang pemikiran Islam yang benar menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan menurut persepsi manusia yang terperangkap dalam kepentingan hidup sesaat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar