Oleh : AH.
Mansur, SE, M.Pd.I
(Bagian Kedua)
Hal
yang membelalakkan penulis di masjid Nabawi-Madinah adalah meleburnya latar
belakang kehidupan yang paradox menjadi irama mozaik yang indah. Gemuruh suara
yang lahir dari mulut para peziarah adalah bahasa – bahasa yang berbeda tetapi
menjadi irama nan mengalun merdu, mendayu – dayu diantara lantunan ayat suci
al-Quran. Hamba Allah dari Hindi berbicara dengan Urdunya, orang Eropa dengan Inggerisnya,
orang Jawa dengan kromo inggilnya, orang Turki dengan Turkisnya, orang Malaysia
dengan melayunya dan lain-lain. Dari sini kita dapat melihat kesempurnaan (syumuliyah)
ajaran Islam yang mampu menghancurkan sekat – sekat dan perbedaan. Baik perbedaan
karakter, budaya, warna kulit, bahasa dan bangsa. Dari sini juga kita dapat
menyaksikan indahnya hubungan sosial masyarakat Islam dunia. Dan ini
sesungguhnya merupakan implementasi ajaran Allah dalam firmannya ;
Artinya
; Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (al-Hujuraat : 13).
Pergaulan
multikultur yang terjadi di masjid Nabawi-Madinah adalah sebuah bukti konkrit
bahwa Islam memiliki bangunan peradaban yang sangat tinggi. Islam mengajarkan
persaudaraan. Islam mengajarkan tatakrama (akhlak). Islam mengajarkan tata
kelola hubungan kemasyarakatan. Dan Madinah dalam konteks hubungan peradaban
dunia menjadi soko guru lahirnya peradaban Islam, yang kemudian menjadi ispirasi
peradaban dunia, terutama peradaban eropa-Yunani, yang oleh Barat diklaim
sebagai satu-satunya sumber lahirnya peradaban dunia.
Multikulturalisme itu muncul dan secara
otomatis menjadi faham baru siapapun yang masuk kota Madinah, khususnya ketika
masuk areal masjid Nabawi, disebabkan oleh aim (tujuan) dan goal (harapan
puncak) yang sama, yaitu ; ‘tauhidullah ‘azza wajalla’,
mentauhidkan Allah yang Maha Mulia. Tiada yang lain. Sehingga para muktamirin
dengan hanya membawa Allah dalam hatinya, mereka akan mengenyampingkan yang
lain – lain. Ke masjid Nabawi hanya menuju Allah, ke Raudlah hanya menuju Allah
sembari bershalawat kepada nabi-Nya, ke Baqi’ hanya menuju Allah dengan
mengambil ibroh dari para pejuang Islam yang setia mendampingi Rasul-Nya, ke
Masjid Kuba menuju Allah dengan melihat langsung proses islamisasi kota
Madinah, ke masjid kiblatain ,menuju Allah dengan melihat langsung sejarah
perubahan kiblat ; yang awalnya kiblat menghadap ke masjid al-Aqsho Palestina,
kemudian pindah ke Ka’bah di masjid al-Haram. Semua yang dilakukan kaum
muslimin dalam perjalanan umrohnya hanyalah menuju Allah semata.
Disamping
itu, ajaran Rasulullah tentang tata kehidupan bermasyarakat, terutama ketika
Rasulullah Saw membentuk masyarakat Yastrib yang terdiri dari berbagai agama
dan suku serta perbedaan warna kulit, adalah contoh teladan yang senantiasa
mengilhami umatnya. Usaha Rasulullah mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar
yang nota bene berbeda karakter (kaum anshar berprilaku lembut bersahabat,
sementara kaum muhajirin berprilaku kasar dan kurang bersahabat),
melibatkan Yahudi dan Nashrani dalam bela Negara, mempersatukan suku-suku yang
berada di Madinah dalam sebuah pemerintahan yang demokratis, berkeadilan dan berketuhanan.
Itulah beberapa hal yang menjadi teladan bagi umat Islam dalam meniti
kehidupannya. Sehingga ketika mereka berada di kotanya Rasulullah Saw,
terbangun motivasi untuk melakukan internalisasi nilai-nilai yang dilakukan
Rasul ke dalam dirinya. Dan modal ini yang membentuk prilaku baru para pemuja
Allah di tanah dan di masjid haramnya Allah.
Membanjir
dan meluapnya kerinduan kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengikis dan
menghilangkan segala bentuk penyakit hati dan nafsu duniawi. Penyakit tersebut
antara lain ; bangga akan jabatan, riya’, ujub, takabur, gengsi, sombong,
tamak, rakus dan lain – lain. Sedangkan nafsu duniawi meliputi cinta harta,
wanita dan tahta. Penyakit-penyakit itu secara perlahan terkikis oleh dzikir
tazkiyatun nafs dan lama-lama sirna, tenggelam dalam gelombang cinta kepada
Rabb. Di dalam masjid Nabawi kita melihat setiap mulut berdzikir, bertasbih,
bertahmid dan bertahlil. Sebagian yang lain dengan caranya sendiri membaca
al-Quran berdiri dan duduk (qiyaman wa qu’uuda), dan bahkan ada yang sambil
berbaring telentang, sembari membaca running tex al-Quran di layar
handphone-nya. Sungguh suasana yang amat menakjubkan.
Keberhasilan
mem-fanakan ego dan nafsu duniawi, membukakan pintu cahaya iman dalam setiap
bilik hati para pemburu cinta Allah. Pangkat dan jabatan tidak lagi menjadi
sesuatu yang penting dalam hidupnya. Status sosialnya di masyarakat tidak lagi
menjadi hal yang harus dipertahankan. Harta kekayaan tidak lagi menjadi tujuan
utama dalam kesibukannya. Terkuburnya ego dan nafsu duniawi dalam diri manusia
melahirkan manusia baru, manusia yang santun, manusia yang welas asih, manusia
yang cinta sesama, manusia yang toleran, manusia yang selalu berprasangka baik
dan manusia yang rendah hati.
Kita
menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa unik yang terjadi spontan di
lingkungan masjid. Misalnya orang afrika yang biasanya keras tiba-tiba menjadi
seorang yang lembut dan penyabar. Ketika ia sedang tiduran telentang di masjid
dan menghalangi jalan shaf, lalu ia mempersilahkan orang melangkah diatasnya
tanpa ia meminggirkan badannya. Ia ikhlas dan rela keangkuhan dari status
sosialnya lenyap. Ia tidak berusaha mengatakan ; “ saya ini seorang bupati,
atau saya ini seorang terkemuka di Negara saya”. Tidak ! ia tidak berusaha
protes untuk menunjukkan jati dirinya. Di masjidnya Nabi tiba-tiba ia menjadi
orang yang sangat ikhlas. Di sudut yang lain ada orang Indonesia kena injak
jempol kakinya oleh orang Syiria. Anehnya orang Indonesia yang didzolimi malah
memberi isyarat untuk terus melangkahinya sedangkan orang itu terus melangkah
sembari memberi isyarat meminta maaf. Tiba-tiba di masjidnya Nabi setiap orang
spontan menjadi pemaaf dan menjadi sangat lapang dada. Pada saat menjelang
berbuka puasa, beberapa yayasan sosial sibuk membagikan kurma, makanan ringan
dan minuman untuk berbuka. Bahkan ada beberapa anak kecil menawarkan dirinya
untuk sekedar mengambilkan air zamzam demi dapat mengamalkan ibadah sedekah
bagi para shoimiin. Ada harmoni yang demikian indah. Satu sisi orang
membutuhkan makanan untuk berbuka puasa, pada sisi lain ada orang butuh
membagikan sebagian dari rizkinya di jalan Allah. Allahu Akbar….!
Fana…..,
itulah yang terjadi. Kecintaannya kepada Allah, kecintaannya kepada Rasulullah
dan kerinduannya kepada malam lailatul qodar membuat seorang hamba hanyut dalam
gelombang dzikir, sibuk tenggelam dalam khusyuk shalat, lebuh dalam buai
tafakkur serta asyik berselancar diatas riak tadabbur. Saat suasana dzikir,
tafakkur dan tadabbur menyelimuti serta mengendalikan diri, maka segala yang
tampak dalam ruang hati adalah Allah, segala yang menetes di kelopak bunga
adalah cinta kepada Allah dan segala yang mengalir dalam darah adalah kerinduan
maha dalam kepada ampunan Allah. Allahlah yang menguasai diri bila manusia
berhasil mem-fanakan ego dan nafsu duniawi.
Hal
yang paling menakjubkan dalam wisata ruhani ini adalah bahwa setiap orang yang berangkat
dengan membawa perangai dan tabiatnya, membawa kebanggaan dengan sikap
primordialisme-nya, membawa sifat riya’ dengan harta bendanya, membawa sikap sombong
dengan jabatannya dan jumawa terhadap keberhasilan dirinya, tiba-tiba lenyap
begitu menapaki bumi Madinah. Semua sifat – sifat jelek tiba – tiba kering dan
luruh bersama terik panas kota Madinah yang mencapai 48 C. Maha suci Allah yang
telah melakukan intervensi, menghadapkan hambanya ke jalan yang lurus, jalan
yang diridlai.
Tanpa
disadari oleh siapapun proses pendidikan dan bimbingan dilakukan oleh Allah
secara langsung. Karena niat dan azam hamba telah disematkan di dada dan niat
itu mampu memotivasi diri untuk tidak melalukan selain yang dikehendaki Allah, tidak
berbuat selain yang disukai Allah, tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah. Apa
yang dilakukan hamba ini disambut langsung oleh Allah. Dan karena berada dalam
sambutan Allah maka Allahlah yang kemudian menuntun dirinya. Sebagaimana firman
Allah ;
Artinya
;Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan
RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan
memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,"
(tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka) (at-Taubah : 59).
Ahli
hikmah berkata ; “jika engkau mendatangi Allah dengan berjalan kaki, maka Allah
akan mendatangimu dengan berlari”.
Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah
Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau dan kandidat Doktor Pendidikan Islam
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar