Oleh : AH.
Mansur, SE, M.Pd.I
(Bagian Satu)
Oleh
karena penulis sedang berada di tanah haram dan baitnya Allah; yaitu “Makkatul
Mukarromah”, maka tulisan ini lebih merupakan rangkain cerita
dari peristiwa spiritual yang dialami penulis selama dalam perjalanan mengejar
rahmat Allah, mengejar maghfirah Allah, mengejar pembebasan dari api nerakanya
Allah. Tulisan ini juga tidak disusun sebagaimana kerangka penulisan ilmiah,
karena ia lebih merupakan refleksi apa adanya, dari peristiwa – peristiwa yang
terjadi spontan, tetapi syarat makna untuk membangun tangga – tangga
kebathinan, menuju Rabb yang Agung.
Sesungguhnya
hal yang membuat penulis dan kaum muslimin umumnya, rela mengorbankan waktu dan harta benda
menuju tanah suci di bulan Ramadhan ini, tiada lain karena kepincut terhadap ‘cinta
maha dalam’ kepada apa yang disebut “Lailatul Qodar”. Kalimat
itu demikian menyedot perhatian jutaan umat Islam di belahan bumi ini, sampai-sampai
menguras energy lahir dan batin serta harta benda. Para hamba pemuja Allah itu
sesungguhnya sedang berburu janji Allah sebagaimana yang difirmankannya dalam
surat al-Qodar ayat 1 s.d. 5 ;
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ !$tBur y71u÷r& $tB ä's#øs9 Íôs)ø9$# ÇËÈ ä's#øs9 Íôs)ø9$# ×öy{ ô`ÏiB É#ø9r& 9öky ÇÌÈ ãA¨t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr9$#ur $pkÏù ÈbøÎ*Î/ NÍkÍh5u `ÏiB Èe@ä. 9öDr& ÇÍÈ íO»n=y }Ïd 4Ó®Lym Æìn=ôÜtB Ìôfxÿø9$# ÇÎÈ
Artinya
; Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari
seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan
sampai terbit fajar.
Secara etimologi Lailatul Qodar bermakna “ Malam
Kemuliaan “. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam yang Allah
menurunkan al-Qur’an dan malam yang Allah melipat gandakan pahala setiap
kebaikan. Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat
yang mulia ini mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah Swt memuji bulan Ramadhan
sebagai bulan yang melebihi bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena
bulan ini telah dipilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an, sebagaimana pula
pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah
lainnya pada para Nabi ‘alaihimus salam.” (Tafsirul
Qur’anil Adzim, I/501, Darut Thoybah).
Kita mencoba menghitung seribu bulan itu berapa
tahun sih? Ternyata setelah pencat – pencet kalkulator hasilnya adalah ; 1000 :
12 = 83,3, yang jika dibulatkan menjadi kurang lebih delapan puluh tiga tahun.
Waktu yang tidak sedikit bila dibandingkan dengan rata – rata umur manusia.
Nabi Muhammad Saw hanya berumur 63 tahun. Umatnya rata-rata berumur sama.
Kalaupun lebih paling hanya ke angka 70, 80, atau paling tinggi 100 tahunan.
Hitungan matematis kita tentu sangat fantastis, bila beribadah satu malam saja
bisa melebihi seribu bulan atau setara dengan delapan puluh tiga tahun, apa
tidak mubadzir bila malam cinta itu dibiarkan berlalu begitu saja. Apa tidak
bodoh namanya bila kita melepaskan malam cinta itu berlabuh kepelukan orang.
Apa nggak goblok namanya bila kita tidak berhasil menangkap malam nan molek
yang menjanjikan jutaan pahala dan jaminan sorga.
Berbekal modal pemahaman religi tentang
keutamaan dan kelebihan Lailatul Qodar itu, umat islam dari berbagai penjuru
dunia mengepung dan menguasai masjidil haram. Mereka berusaha sesempurna
mungkin mengambil momentum sepuluh hari terakhir ramadhan untuk ‘ngalap
berkah’( rakus dan tamak mengejar rahmat, maghfirah dan ampunan Allah Swt
). Akibatnya dapat dibayangkan; transportasi udara dan darat dari dan ke Arab
Saudi jadi sangat sibuk. Hotel-hotel, shopping centre, toko-toko, restoran –
restoran, taksi – taksi dan fasilitas lainnya yang bersentuhan dengan
kepentingan jamaah umroh, terus bergeliat, bergerak dan tidak berhenti kecuali
adzan telah dikumandangkan dan shalat lima waktu plus taraweh dilaksanakan.
Silahkan dibayangkan juga bagaimana nuansanya bila manusia dari berbagai
karakter, berbagai bahasa, berbagai warna kulit, berbagai budaya, menyatu dalam
satu harmoni, menyatu dalam irama cinta kepada Rabb yang Maha Kasih. Maka
disinilah muncul sumber cahaya imani, menetes ke setiap diri, memberangus nafsu
syaithoni dan men-fanakan segala cinta duniawi yang nisbi.
Perjalanan menuju rumah Allah melalui Bandara
Internasional King Abdil Aziz Jedah – Saudi Arabia. Dari bandara rombongan
perindu Rasulullah menuju Madinatul Munawwarah dan tepat jam 3:25 dini hari,
tiba di hotel al-Fayrus al-Massy. Kedatangan ini langsung disambut hidangan
santap sahur di lantai dua yang merupakan tempat khusus makan (math’am).
Satu persatu siapa saja yang menyelesaikan makan sahurnya, langsung menuju
kamar yang telah ditentukan oleh Tour Leader (Pemandu Wisata).
Para Pemburu Raudlah
Tempat
yang paling seksi dan paling diburu di masjid Nabawi adalah “Raudlah”,
tempat yang diisyaratkan sebagai taman sorga oleh Rasulullah Saw, sebagaimana
sabdanya ; “diantara rumahku dan mimbarku adalah taman sorga”. Maka
wajar saja bila para muktamirin menjadikan Raudlah sabagai tujuan awal dan
utama setalah sampai di masjid Nabawi. Dan oleh karenanya tidak terlalu sulit
mengkoordir jamaah untuk berangkat ke Raudlah setelah shalat subuh.
Di
Raudlah, nuansa ritualnya memang sangat berbeda. Manusia dari berbagai penjuru
dunia, dengan sangat antusias dan wajah penuh harap memadati setiap centi meter
ruang Raudlah, dan dengan caranya sendiri-sendiri mereka meng-ekspresi-kan
lautan rindu dan samudra harapan akan syafa’atnya Rasul bertabuh demikian
lantang dari mulut-mulut mereka. Sebagian khusyuk membaca al-Qur’an, sebagian
lainnya mewiridkan doa-doa khusus dan sebagian yang lainnya lagi
berdesak-desakan mengikuti ayunan irama tubuh yang bergerak menuju ‘Maqbaroh’
nya Rasul, sembari tangannya melambai-lambai penuh cinta, dengan mata sayu dan
lantunan shalawat nan syahdu mengalir dari mulut-mulut mereka ; “assalamu
‘alaika ya Rasulallah, assalamu’alaika ya habiballah”. Kalimat itu terus
menerus bergemuruh menguasai hati dan emosi, beriring lambaian tangan dan
kecupan cinta kepada kekasih Allah itu. Sesekali tangan-tangan mereka menyentuh
dinding maqbaroh dan kemudian menciumnya dengan takdzim, dengan penuh kerinduan
dan cinta.
Sungguh
ini sebuah ilustrasi cinta penuh makna. Cinta yang teramat dalam. Cinta yang
mengakar dan menancap ke jantung hati. Cinta yang tulus nan suci. Cinta yang
tak lekang oleh panas dan tak lebur oleh badai. Cinta sejati kepada Rasulullah
Saw. Muncul gelitik Tanya dari dasar hati kita; kenapa sedemikian dalam dan
mulia cinta umat kepada Rasulnya? Kenapa sedemikian melangit kerinduan umat
kepada pemimpinnya? Jawabannya ternyata sangat sederhana sekali, yaitu; karena
Rasulullah Saw mendidik umatnya dengan cinta dan kasih sayang maka lahirlah
pribadi-pribadi penuh cinta dan kasih. Karena Rasul memimpin umat manusia
dengan cinta maka lahirlah budaya masyarakat yang ber-tradisi dan bersendikan
cinta.
Seorang
pemimpin, siapapun dan di Negara manapun ia berada, bila dalam kepemimpinannya
mengaplikasikan nilai-nilai dan ajaran Rasul, bila dalam menerapkan
kebijakannya berpihak kepada keinginan masyarakatnya, bila prilaku
kesehariannya menampilkan sosok ‘akhlakul karimah’, bila stigma konsistensi,
konsekwensi dan kometmen dilekatkan padanya, maka bersiaplah menjadi orang yang
panjang umur. Panjang umur dalam artian jasanya akan dikenang oleh pengikutnya
selama hidupnya, bahkan sampai ia meninggalkan dunia fana ini. Ibarat pepatah ;
“ Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia
mati meningglkan nama”.
Apa
yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw adalah ibroh yang luar biasa untuk
diteladani dan diimani, jika para pemimpin dunia menginginkan Negaranya subur
makmur, sejahtera lahir bathin dan bahagia dunia akhirat. Ibarat pepatah; “ gemah
ripah loh jenawi, toto tentrem kerto raharjo”. Rasulullah manawarkan
sebuah konsep tata Negara, konsep kehidupan sosial kemasyarakatan dan konsep
rahmatan lil ‘alamin, dengan lankah – langkah sebagai berikut ;
Pertama
; dalam rangka membangun Negara yang kuat Rasulullah menjadikan masjid Nabawi
sebagai pusat pemerintahan. Ini agar semua hasil musyawarah yang terkait dengan
kebijakan Negara berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, berlandaskan nilai-nilai
tauhed kepada Rabb, Allah Swt. Sehingga puncaknya dapat dicapai Negara yang “baldatun
thoyyibatun warobbun ghafur”.
Kedua
; dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang harmoni, saling menghargai
dan saling mencintai, Rasulullah Saw mempersaudarakan kaum muhajirin dan
anshar, menanamkan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan hak dan kewajibannya,
baik sebagai hamba kepada khaliqnya, maupun sebagai manusia kepada sesama,
termasuk sebagai makhluk kepada makhluk yang lainnya.
Ketiga
; dalam rangka membangun kehidupan masyarakat madani, yaitu sebuah masyarakat
yang saling menghargai perbedaan ras, suku, golongan dan bahkan agama,
Rasulullah Saw menyusun dan mendeklarasikan ‘Piagam Madinah’, dimana dalam
piagam tersebut Rasulullah memberikan hak-haknya kaum Yahudi dan Nashrani untuk
beribadah menurut kepercayaannya, men-fasilitasi komunikasi antar suku dan
tidak memaksakan agama Islam (la ikroha fiddin). Dalam kepemimpinan
beliau Islam benar-benar melaksanakan fungsinya sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin.
Keempat
: dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan serta cinta tanah air, beliau
membangun komitmen bersama antar penduduk kota Madinah, meliputi agama Islam,
Yahudi dan Nashrani dan keterlibatan
suku-suku yang ada di Madinah, untuk sama-sama berjuang mempertahankan kota
Madinah dari serangan musuh dan ancaman orang-orang luar Madinah.
Sebuah
teladan yang luar biasa dari seorang Nabi yang ummi. Seorang Nabi yang tidak
secara khusus bersekolah di lembaga pendidikan formal. Seorang manusia biasa
yang mengawali hidupnya dengan tidak melihat ayahnya. Seorang pengembala yang
kering dari kehidupan akademik menurut pandangan kasat mata. Tetapi tentu bila
dipandang pada dimensi kenabian, sejarah kehidupan apapun yang dialami langsung
oleh Rasul adalah proses pendidikan yang langsung ditangani oleh Allah Swt.
Misalnya lahir tanpa merasakan kasih sayang seorang ayah, adalah pendidikan
mendewasakan diri. Mengembala kambing punya pamannya adalah pendidikan
kepemimpinan, membawa dagangan Siti Khadijah ke negeri Syam adalah pendidikan
kejujuran dan tanggung jawab, dan banyak lagi peristiwa – peristiwa yang
dialami Nabi Muhammad Saw adalah merupakan proses pendidikan Allah.
Penulis adalah
Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau dan kandidat
Doktor Pendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun
Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar