Senin, 04 November 2013

DETIK-DETIK MENUNGGU LAILATUL QODAR


LAILATUL QADAR DAN PECINTA RASULULLAH
Oleh : AH. Mansur, SE, M.Pd.I
(Bagian Satu)
Oleh karena penulis sedang berada di tanah haram dan baitnya Allah; yaitu “Makkatul Mukarromah”, maka tulisan ini lebih merupakan rangkain cerita dari peristiwa spiritual yang dialami penulis selama dalam perjalanan mengejar rahmat Allah, mengejar maghfirah Allah, mengejar pembebasan dari api nerakanya Allah. Tulisan ini juga tidak disusun sebagaimana kerangka penulisan ilmiah, karena ia lebih merupakan refleksi apa adanya, dari peristiwa – peristiwa yang terjadi spontan, tetapi syarat makna untuk membangun tangga – tangga kebathinan, menuju Rabb yang Agung.
Sesungguhnya hal yang membuat penulis dan kaum muslimin umumnya,  rela mengorbankan waktu dan harta benda menuju tanah suci di bulan Ramadhan ini, tiada lain karena kepincut terhadap ‘cinta maha dalam’ kepada apa yang disebut “Lailatul Qodar”. Kalimat itu demikian menyedot perhatian jutaan umat Islam di belahan bumi ini, sampai-sampai menguras energy lahir dan batin serta harta benda. Para hamba pemuja Allah itu sesungguhnya sedang berburu janji Allah sebagaimana yang difirmankannya dalam surat al-Qodar ayat 1 s.d. 5 ;
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ !$tBur y71u÷Šr& $tB ä's#øs9 Íôs)ø9$# ÇËÈ ä's#øs9 Íôs)ø9$# ׎öy{ ô`ÏiB É#ø9r& 9öky­ ÇÌÈ ãA¨t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr9$#ur $pkŽÏù ÈbøŒÎ*Î/ NÍkÍh5u `ÏiB Èe@ä. 9öDr& ÇÍÈ íO»n=y }Ïd 4Ó®Lym Æìn=ôÜtB ̍ôfxÿø9$# ÇÎÈ
Artinya ; Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Secara etimologi Lailatul Qodar bermakna “ Malam Kemuliaan “. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam yang Allah menurunkan al-Qur’an dan malam yang Allah melipat gandakan pahala setiap kebaikan. Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah Swt memuji bulan Ramadhan sebagai bulan yang melebihi bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah dipilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an, sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ‘alaihimus salam.” (Tafsirul Qur’anil Adzim, I/501, Darut Thoybah).
Kita mencoba menghitung seribu bulan itu berapa tahun sih? Ternyata setelah pencat – pencet kalkulator hasilnya adalah ; 1000 : 12 = 83,3, yang jika dibulatkan menjadi kurang lebih delapan puluh tiga tahun. Waktu yang tidak sedikit bila dibandingkan dengan rata – rata umur manusia. Nabi Muhammad Saw hanya berumur 63 tahun. Umatnya rata-rata berumur sama. Kalaupun lebih paling hanya ke angka 70, 80, atau paling tinggi 100 tahunan. Hitungan matematis kita tentu sangat fantastis, bila beribadah satu malam saja bisa melebihi seribu bulan atau setara dengan delapan puluh tiga tahun, apa tidak mubadzir bila malam cinta itu dibiarkan berlalu begitu saja. Apa tidak bodoh namanya bila kita melepaskan malam cinta itu berlabuh kepelukan orang. Apa nggak goblok namanya bila kita tidak berhasil menangkap malam nan molek yang menjanjikan jutaan pahala dan jaminan sorga.
Berbekal modal pemahaman religi tentang keutamaan dan kelebihan Lailatul Qodar itu, umat islam dari berbagai penjuru dunia mengepung dan menguasai masjidil haram. Mereka berusaha sesempurna mungkin mengambil momentum sepuluh hari terakhir ramadhan untuk ‘ngalap berkah’( rakus dan tamak mengejar rahmat, maghfirah dan ampunan Allah Swt ). Akibatnya dapat dibayangkan; transportasi udara dan darat dari dan ke Arab Saudi jadi sangat sibuk. Hotel-hotel, shopping centre, toko-toko, restoran – restoran, taksi – taksi dan fasilitas lainnya yang bersentuhan dengan kepentingan jamaah umroh, terus bergeliat, bergerak dan tidak berhenti kecuali adzan telah dikumandangkan dan shalat lima waktu plus taraweh dilaksanakan. Silahkan dibayangkan juga bagaimana nuansanya bila manusia dari berbagai karakter, berbagai bahasa, berbagai warna kulit, berbagai budaya, menyatu dalam satu harmoni, menyatu dalam irama cinta kepada Rabb yang Maha Kasih. Maka disinilah muncul sumber cahaya imani, menetes ke setiap diri, memberangus nafsu syaithoni dan men-fanakan segala cinta duniawi yang nisbi.
Perjalanan menuju rumah Allah melalui Bandara Internasional King Abdil Aziz Jedah – Saudi Arabia. Dari bandara rombongan perindu Rasulullah menuju Madinatul Munawwarah dan tepat jam 3:25 dini hari, tiba di hotel al-Fayrus al-Massy. Kedatangan ini langsung disambut hidangan santap sahur di lantai dua yang merupakan tempat khusus makan (math’am). Satu persatu siapa saja yang menyelesaikan makan sahurnya, langsung menuju kamar yang telah ditentukan oleh Tour Leader (Pemandu Wisata).

Para Pemburu Raudlah
Tempat yang paling seksi dan paling diburu di masjid Nabawi adalah “Raudlah”, tempat yang diisyaratkan sebagai taman sorga oleh Rasulullah Saw, sebagaimana sabdanya ; “diantara rumahku dan mimbarku adalah taman sorga”. Maka wajar saja bila para muktamirin menjadikan Raudlah sabagai tujuan awal dan utama setalah sampai di masjid Nabawi. Dan oleh karenanya tidak terlalu sulit mengkoordir jamaah untuk berangkat ke Raudlah setelah shalat subuh.
Di Raudlah, nuansa ritualnya memang sangat berbeda. Manusia dari berbagai penjuru dunia, dengan sangat antusias dan wajah penuh harap memadati setiap centi meter ruang Raudlah, dan dengan caranya sendiri-sendiri mereka meng-ekspresi-kan lautan rindu dan samudra harapan akan syafa’atnya Rasul bertabuh demikian lantang dari mulut-mulut mereka. Sebagian khusyuk membaca al-Qur’an, sebagian lainnya mewiridkan doa-doa khusus dan sebagian yang lainnya lagi berdesak-desakan mengikuti ayunan irama tubuh yang bergerak menuju ‘Maqbaroh’ nya Rasul, sembari tangannya melambai-lambai penuh cinta, dengan mata sayu dan lantunan shalawat nan syahdu mengalir dari mulut-mulut mereka ; “assalamu ‘alaika ya Rasulallah, assalamu’alaika ya habiballah”. Kalimat itu terus menerus bergemuruh menguasai hati dan emosi, beriring lambaian tangan dan kecupan cinta kepada kekasih Allah itu. Sesekali tangan-tangan mereka menyentuh dinding maqbaroh dan kemudian menciumnya dengan takdzim, dengan penuh kerinduan dan cinta.
Sungguh ini sebuah ilustrasi cinta penuh makna. Cinta yang teramat dalam. Cinta yang mengakar dan menancap ke jantung hati. Cinta yang tulus nan suci. Cinta yang tak lekang oleh panas dan tak lebur oleh badai. Cinta sejati kepada Rasulullah Saw. Muncul gelitik Tanya dari dasar hati kita; kenapa sedemikian dalam dan mulia cinta umat kepada Rasulnya? Kenapa sedemikian melangit kerinduan umat kepada pemimpinnya? Jawabannya ternyata sangat sederhana sekali, yaitu; karena Rasulullah Saw mendidik umatnya dengan cinta dan kasih sayang maka lahirlah pribadi-pribadi penuh cinta dan kasih. Karena Rasul memimpin umat manusia dengan cinta maka lahirlah budaya masyarakat yang ber-tradisi dan bersendikan cinta.
Seorang pemimpin, siapapun dan di Negara manapun ia berada, bila dalam kepemimpinannya mengaplikasikan nilai-nilai dan ajaran Rasul, bila dalam menerapkan kebijakannya berpihak kepada keinginan masyarakatnya, bila prilaku kesehariannya menampilkan sosok ‘akhlakul karimah’, bila stigma konsistensi, konsekwensi dan kometmen dilekatkan padanya, maka bersiaplah menjadi orang yang panjang umur. Panjang umur dalam artian jasanya akan dikenang oleh pengikutnya selama hidupnya, bahkan sampai ia meninggalkan dunia fana ini. Ibarat pepatah ; “ Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meningglkan nama”.
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw adalah ibroh yang luar biasa untuk diteladani dan diimani, jika para pemimpin dunia menginginkan Negaranya subur makmur, sejahtera lahir bathin dan bahagia dunia akhirat. Ibarat pepatah; “ gemah ripah loh jenawi, toto tentrem kerto raharjo”. Rasulullah manawarkan sebuah konsep tata Negara, konsep kehidupan sosial kemasyarakatan dan konsep rahmatan lil ‘alamin, dengan lankah – langkah sebagai berikut ;
Pertama ; dalam rangka membangun Negara yang kuat Rasulullah menjadikan masjid Nabawi sebagai pusat pemerintahan. Ini agar semua hasil musyawarah yang terkait dengan kebijakan Negara berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, berlandaskan nilai-nilai tauhed kepada Rabb, Allah Swt. Sehingga puncaknya dapat dicapai Negara yang “baldatun thoyyibatun warobbun ghafur”.
Kedua ; dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang harmoni, saling menghargai dan saling mencintai, Rasulullah Saw mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar, menanamkan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, baik sebagai hamba kepada khaliqnya, maupun sebagai manusia kepada sesama, termasuk sebagai makhluk kepada makhluk yang lainnya.
Ketiga ; dalam rangka membangun kehidupan masyarakat madani, yaitu sebuah masyarakat yang saling menghargai perbedaan ras, suku, golongan dan bahkan agama, Rasulullah Saw menyusun dan mendeklarasikan ‘Piagam Madinah’, dimana dalam piagam tersebut Rasulullah memberikan hak-haknya kaum Yahudi dan Nashrani untuk beribadah menurut kepercayaannya, men-fasilitasi komunikasi antar suku dan tidak memaksakan agama Islam (la ikroha fiddin). Dalam kepemimpinan beliau Islam benar-benar melaksanakan fungsinya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Keempat : dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan serta cinta tanah air, beliau membangun komitmen bersama antar penduduk kota Madinah, meliputi agama Islam, Yahudi dan Nashrani dan  keterlibatan suku-suku yang ada di Madinah, untuk sama-sama berjuang mempertahankan kota Madinah dari serangan musuh dan ancaman orang-orang luar Madinah.
Sebuah teladan yang luar biasa dari seorang Nabi yang ummi. Seorang Nabi yang tidak secara khusus bersekolah di lembaga pendidikan formal. Seorang manusia biasa yang mengawali hidupnya dengan tidak melihat ayahnya. Seorang pengembala yang kering dari kehidupan akademik menurut pandangan kasat mata. Tetapi tentu bila dipandang pada dimensi kenabian, sejarah kehidupan apapun yang dialami langsung oleh Rasul adalah proses pendidikan yang langsung ditangani oleh Allah Swt. Misalnya lahir tanpa merasakan kasih sayang seorang ayah, adalah pendidikan mendewasakan diri. Mengembala kambing punya pamannya adalah pendidikan kepemimpinan, membawa dagangan Siti Khadijah ke negeri Syam adalah pendidikan kejujuran dan tanggung jawab, dan banyak lagi peristiwa – peristiwa yang dialami Nabi Muhammad Saw adalah merupakan proses pendidikan Allah.
Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar Lubuklinggau dan kandidat Doktor Pendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar