A. Pendahuluan
Perkembangan
pesantren dari waktu ke waktu mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Perkembangan itu ditandai dengan adaptasi dan inovasi tiada henti dari berbagai
aspek menyesuaikan diri dengan tantangan dan kebutuhan zamannya. Pergumulan
pesantren dengan berbagai problematikanya dalam menghadapi perubahan dan
kemajuan zaman telah membantu membangun jati dirinya sebagai lembaga pendidikan
yang kokoh dan mengakar pada tradisi masyarakat di mana ia berada dan
dilahirkan. Keberadaannya di tengah – tengah masyarakat senantiasa menjadi
wadah perekat umat serta sebagai centre of agent, yaitu ; 1) agent of change
(agen perubahan), 2) agent of knowladge (agen ilmu pengetahuan),
dan 3) agent of culture (agen budaya).
Sembari
mengemban misinya tersebut pesantren terus bergulat di pentas sejarah
mengaktualisasi diri dengan proses evolusi dan inovasi, menyeimbangkan
eksistensinya dengan modernitas yang terjadi dari zaman ke zaman. Walaupun
tidak dipungkiri bahwa masih ada sebagian kecil pesantren yang konsisten pada
bidang garapan dakwah dan pelestarian tradisi salaf (tradisional) dengan
kajian kutub at turast (kitab kuning), focus pada kajian ilmu-ilmu agama
(ke-akhiratan) seperti tasawuf, fiqih, tauhid, tajwid, al-Qur’an berikut
tafsirnya, ilmu mantiq dan lainya,
serta menutup mata terhadap kemajuan dan kompleksitas tantangan global, dimana
generasi kita akan hidup di dalamnya. Padahal Rasulullah mengajarkan dalam
hadist nya ;
إعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل لأخرتك كأنك
تموت غدا
“ Bekerjalah dalam urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup
selamanya, dan bekerjalah untuk urusan akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”
Allah Swt pun
menuntun umat-Nya agar senantiasa memanjatkan doa dengan kalimat yang
meng-integrasikan antara dunia dan akhirat, dalam doa sapu jagat ;
Oßg÷YÏBur `¨B ãAqà)t !$oY/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$#
“ Dan diantara mereka berkata; Tuhan, berikan kami kehidupan
dunia yang baik, dan kehidupan akhirat yang baik pula, dan peliharalah kami dari
siksa api neraka” (Q.S. al-Baqarah, 2:201)
Ayat dan hadist
diatas seakan ingin memberikan penjelasan bahwa kehidupan dunia dan akhirat
adalah tujuan kehidupan manusia, meliputi tujuan jangka pendek, menengah dan
panjang. Islam juga memberikan pesan yang jelas mengenai pentingnya
keseimbangan hidup antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. Sebagaimana
firman Allah Swt dalam al-Qur’an ; “
“
Hendaklah kamu berbuat sebaik-baiknya untuk akhiratmu, tapi jangan melupakan
nasibmu di dunia ini” (Q.S. al-Qashas, 28:77)
Dalam konteks
perkembangan pesantren dan perjuangannya melakukan metamorphosis, baik pada
aspek kesejarahan, sistem pendidikan dan modernisasi yang dilakukannya dalam
rangka menjawab tantangan dunia global, pesantren telah, sedang dan berusaha
terus menerus meng-inovasi dirinya agar senantiasa eksis menebarkan visi dan
misinya, dengan tetap berpegang teguh pada falsafah ; “al muhafadzatu ‘ala
al qadimi al shalih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah”(memelihara tradisi
lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Bertitik tolak
dari konsep diatas, pesantren memerankan dirinya sebagai lembaga pendidikan
yang fleksibel, dinamis dan terbuka terhadap perubahan yang mengarah pada
kemanfaatan peningkatan keilmuan,
tanpa harus meninggalkan tradisi kajian kitab kuningnya. Menyongsong gelombang
kehidupan modern ini, pesantren perlu melakukan diversifikasi keilmuan khusus
atau keahlian praktis, seperti ke-wirausahaan, pertanian, industry,
keterampilan dan penguasaan teknologi tepat guna, agar alumni pesantren dapat
berdaya guna serta berdaya saing dalam percaturan kehidupan politik, birokrasi,
interpreounership dan profesi.
B.
Pergulatan Pesantren Klasik Menuju Modernitas
Jika
meneropong jauh ke belakang, pesantren yang kemudian menjadi salah satu trade
merk pendidikan Islam di Indonesia, sesungguhnya merujuk kepada sistem
pendidikan keagamaan yang berlangsung pada awal dakwah Rasulullah Saw di masjid
Nabawi- Madinah, dimana pada masa itu telah dikenal adanya kelompok ahl
al-shuffah, yaitu para sahabat yang menginap di salah satu tempat dalam
masjid Nabawi dengan tujuan memperdalam Islam. Salah satu tokohnya adalah Abu
Hurairah.
Pola
belajar para sahabat dengan menetap di bagian tertentu dalam masjid terus
berlangsung sampai masa pemerintahan khulafa’u al-rasyidin dan mengalami
modernisasi pada masa Bani Umaiyah, serta mengalami puncak kejayaannya pada
masa Daulah Abbasiyah, ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu aqliyah dan
munculnya madrasah serta memuncaknya perkembangan kebudayaan Islam. Sedangkan
periode kemundurannya dimulai sejak jatuhnya Bagdad dan Mesir ke tangan
Napoleon, ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan
berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat. Berakhirnya
kekuasaan Napoleon Bonaparte di Mesir, juga menjadi awal pembaharuan pendidikan
Islam ditandai dengan kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.
Di Indonesia
sendiri, pendidikan Islam (khususnya pesantren) telah mengalami fase-fase,
yaitu ; 1) Fase datangnya Islam ke Indonesia, 2) Fase pengembangan melalui
proses adaptasi, 3) Fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, 4) Fase Kedatangan
orang barat (masa penjajahan Belanda), 5) Fase penjajahan Jepang, 6) Fase
Indonesia merdeka, dan 7) Fase pembangunan.
Dalam pengamatan
penulis bahkan saat ini sudah memasuki fase modernisasi ditandai dengan
munculnya Sekolah Islam Terpadu (SIT) dengan berbagai klaim keunggulannya,
Pesantren Modern (PM) yang diprakarsai oleh Gontor dengan mendobrak paradigma
lama masyarakat, antara lain membangun tradisi baru dengan memakai celana,
kemeja dan dasi, pembudayaan bahasa Inggeris dan pembaharuan metode
pembelajaran yang dahulu oleh masyarakat dianggap tradisi penjajah yang
menurutnya kafir, dan pesantren yang mulai memasukkan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) ke dalam kurikulum pendidikannya, dan bahkan sebagian
pesantren telah menggunakan media Information and Communacation Teknology (ICT)
dalam proses pembelajarannya, seperti; Computer, Laptop, LCD, Proyektor dan
lacer pointer presenter, sebagai media hardware-nya. Sedangkan softwere-nya
sebagian pesantren telah menggunakan office-windows, exel, power point, dan
lebih jauh telah masuk ke dunia maya melalui media internet semisal ; facebook,
e-learning, e-labrary, e-mail, video telecomfreance, video call dan e-book.
Damanhuri dalam
bukunya, membagi periodisasi pesantren di Indonesia dalam dua fase, yaitu, pertama
; periode Ampel Denta (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara
komprehensif, meliputi cara hidup, sistem pengelolaan pendidikan, metode
pengajaran dan bangunan yang sangat sederhana serta apa adanya. Kedua ;
periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem pendidikan, metode
pengajaran dan fisik bangunan.
Penamaan periodisasi ini bukan berarti menafikan pesantren yang berdiri
sebelumnya. Seperti Ampel Denta misalnya, ia berdiri jauh setelah berdirinya
pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Sedangkan
Gontor berdiri sebagai buah inspirasi Pondok Pesantren Thawalib Padang, tempat
dimana KH. Imam Zarkasyi menimba ilmu. Penyebutan nama diatas didasarkan pada
besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Fakta sejarah
yang paling fenominal, yang menunjukkan adanya upaya modernisasi dan inovasi di
berbagai aspek adalah kemajuan-kemajuan yang dicapai pendidikan Islam di zaman
klasik. Dari sistem halaqah dengan materi berfokus kepada ilmu-ilmu agama,
sampai kepada sistem madrasah yang berkembang pada abad ke-8 M, sampai dengan
abad 14 M, dimana umat Islam mencapai puncak peradaban dunia dan tidak
tertandingi oleh bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk Barat.
Lompatan
spektakuler peradaban muslim itu, terjadi setelah sebelumnya para sarjana
Muslim mengolah dan mengembangkan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi
Yunani klasik. Pada masa itu muncul lembaga pendidikan Islam yang besar dan
ternama, antara lain ; Madrasah Nizamiyah di Bagdad, Baitul Hikmah, Universitas
Cordova di Andalusia, Universitas Al-Azhaar di Kairo-Mesir. Lahir juga pada
masa itu nama-nama besar filosof dan ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina,
Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Rusy, Ibnu Tufail, Ibnu Majah,
Al-Khawarizmi dan Jabir Ibnu Hayyan,
dengan karya-karyanya di bidang kedokteran, kimia, matematika, filsafat,
tasawwuf dan karya lainnya.
C.
Dialektika Pesantren Menyongsong Perubahan
Berangkat dari
sejarah besar pendidikan dan peradaban Islam masa lalu, tidak selayaknya umat
Islam kerdil dalam menghadapi tantangan global. Umat Islam harus dan wajib
keluar dari ketertinggalan. Umat Islam wajib membekali diri dengan
kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dunia industry. Umat Islam wajib
mempelajari metode-metode baru pembelajaran dan sistem pendidikan agar lahir
generasi-generasi yang berdaya saing di masa yang akan datang. Allah Swt
menganjurkan umat-Nya untuk melakukan perubahan, sebagaimana difirmankan dalam
Al-Qur’an ;
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S.
Ar-Ra’d:13:11)
Ayat diatas
merupakan pilihan-pilihan hidup bagi umat, apakah akan berdiri pada satu titik
(statis), atau bergerak dinamis
melakukan inovasi pembaharuan dan modernisasi pada berbagai aspek kehidupan.
Sehingga pesantren kedepan dapat melepaskan diri dari stigma buruknya sebagai
lembaga pendidikan kumuh, kolot, jumud, tradisional dan stagnan.
Steenbrink,K.A, dalam sebuah studinya menyatakan bahwa sejak tahun 70-an
pendidikan Islam mulai menunjukkan perubahan-perubahan dari bentuk
“non-formal-tradisional” menuju “formal-modern”, bahkan pada decade tersebut
pesantren-pesantren di Indonesia mulai menerima pelajaran umum.
Menurut Madjid, Pondok Pesantren Mambaul Ulum Surakarta pada masa kesultanan
Paku Bowono tahun 1906, telah menerima mata pelajaran umum sebagai bagian dari
kurikulum pendidikannya dengan memasukkan mata pelajaran al-jabar dan
berhitung. Pondok Pesantren Teboireng mengiringinya pada tahun 1916 dengan
memasukkan mata pelajaran bahasa Melayu, ilmu bumi dan menulis huruf latin,
serta telah menggunakan gedung madrasah, bangku, meja belajar dan papan tulis.
Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya, Tradisi Pesantren, membantah
bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang sangat statis.
Dalam banyak kajiannya tentang pesantren, ia menemukan dinamika kehidupan
pesantren yang sangat dinamis, berkembang dan maju. Pernyataan tersebut
dibuktikan dengan banyaknya varian sistem pengelolaan pesantren, dari yang
bertahan pada sistem tradisonalnya (salaf), pesantren kombinasi dan
pesantren modern (khalaf).
Pada
perkembangan terkini, pesantren telah lebih berani masuk ke sistem pendidikan
formal yang modern, walaupun tidak berarti melepaskan atribut
tradisionalismenya. Pesantren juga mampu meramu antara tradisi dan modernitas,
sehingga menghasilkan generasi-generasi yang handal dan berkarakter. Bahkan
belakangan terlihat tren yang sangat kuat sekolah-sekolah umum justru merubah
sistem pendidikannya dengan sistem pesantren. Terungkap dari banyaknya sekolah
umum berasrama, seperti SMA Dwi Warna di Jakarta, MAN 3 Pakjo Palembang, MAN
Insan Cendikia di Serpong-Tangerang dan Ambon serta sebagian sekolah umum telah
memberlakukan fullday school seperti SDIT, SMPIT, SMAIT dan bahkan muncul
program non formal yang kita kenal dengan pesantren kilat.
Tren ekspansi
sistem pesantren yang kini mewarnai sekolah-sekolah umum, menurut pengamatan
penulis, adalah akibat merosotnya nilai moral dan hilangnya karakter generasi
muda yang nota-bene produk sekolah. Penerapan mata pelajaran umum 70% dan agama
30% di sekolah umum berdampak kepada melemahnya nilai-nilai religious dan nilai
moral-etika. Akibatnya sekolah umum kering aqidah, nilai religious dan moral.
D.
Sikap Pesantren Terhadap Perubahan
Futurolog
ternama di dunia, John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam
bukunya yang berjudul ; Megatrends 2000, meramalkan bahwa abad 21 adalah
era baru. Suatu era dimana ekonomi global dan informasi merupakan bagian
kehidupan sehari-hari. Suatu era dimana relasi menggantikan hierarki
sebagai model utama untuk menyelesaikan segala persoalan kehidupan. Daya
magnitiknya mampu memperbesar emosi, mempercepat perubahan, meningkatkan
kesadaran, dan memaksa kita memeriksa diri, nilai-nilai dan institusi-institusi
kita.
Melihat
tantangan global yang demikian komplek, pesantren sudah saatnya mengambil
fungsi dan perannya sebagai agent of change, agent of culture dan agent of
knowledge, untuk membangun kembali sistem pendidikan Islam sehingga mampu
memasuki ruang cultural, teologis dan filosofis manusia secara keseluruhan.
Yaitu sistem pendidikan Islam yang berwawasan Ulu al-Albab (QS. Ali Imran;
3:189-190), yakni orang yang senantiasa sibuk mengingat Allah sembari duduk,
berdiri dan berbaring; dan sibuk merenungkan ciptaan-Nya di langit dan di bumi,
baik di waktu siang maupun di waktu malam. Atau sistem pendidikan yang
berorientasi kepada terbentuknya intellectual cociaty, di mana mereka
diharapkan mampu mengusung “revolusi kebudayaan” secara komprehensif.
Menurut Abdul
Adhim, dalam bukunya Ahmad Barizi; pendidikan madrasah dan Pondok Pesantren di
bawah Kementerian Agama RI harus mampu merevitalisasi dan mereposisi diri
kearah penciptaan lulusan yang memiliki tiga karakter sekaligus, yaitu pertama,
religious skillfull people ialah insan muslim yang akan menjadi
tenaga-tenaga terampil, ihklas, cerdas, mandiri, memiliki iman yang tangguh dan
utuh, religious dalam sikap dan prilaku, mampu mengisi kebutuhan tenaga kerja
di pelbagai sector pembangunan secara professional dan suportif; kedua, religious
community leader ialah insan muslim yang ikhlas, cerdas dan mandiri
sebagai penggerak dinamika dan transformasi social-budaya-ekonomi-politik yang
berkeadaban; dan ketiga, religious intelektual ialan insan
muslim yang memiliki integritas yang kokoh dan cakap melakukan analisis ilmiah
dan secara manusiawi memiliki kepekaan social yang objektif tidak dibatasi oleh
kepentingan sepihak seperti razizme, etnisisme dan komunalisme.
E.
Realitas Outcome Pendidikan Kita
Kualitas pendidikan di Indonesia saat
ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000)
tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu
komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per
kapita yang
menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di
antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99
(1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic
Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan
ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data
yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya
saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia
hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.
Fenomina ini sangat mengejutkan mengingat Indonesia pada
decade 70-an menjadi pusat studi pelajar Malaysia. Indonesia pada masa itu
berhasil memproduk human resourses (Sumber Daya Manusia) yang mengagumkan,
walaupun hanya pada wilayah regional asia. Data diatas justru menunjukkan
sebaliknya, kualitas pendidikan Indonesia semakin tahun semakin rendah, pada
dunia kedepan, termasuk Indonesia akan menghadapi tantangan yang semakin
kompleks.
Dedi Halomoan Hasibuan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dalam media ‘Tropong UMSU’ (01/11/2011)
menyatakan bahwa lembaga pendidikan di Indonesia hanya menghasilkan pencari
kerja, bukan pencipta lapangan kerja. Penyebab utama pengangguran terdidik adalah kurang
selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan berkembangnya lapangan kerja
yang tidak sesuai denagn jurusan mereka, sehingga para lulusan yang berasal
dari jenjang pendidikan atas baik umum maupun kejuruan serta perguruan tinggi,
tidak dapat terserap ke dalam lapangan kerja yang tersedia. Padahal, untuk
menjadi seorang lulusan yang siap kerja, mereka perlu tambahan keterampilan di
luar bidang akademik yang mereka kuasai. Disisi lain para pengangguran terdidik
lebih memilih pekerjaan yang formal dan mereka maunya bekerja di tempat yang
langsung menempatkan mereka di posisi yang enak, dapat banyak fasilitas, dan
maunya langsung dapat gaji besar.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal,
sebagaimana dikutip Republika (15/2/2011), bahwa salah satu faktor yang menyumbangkan
besarnya pengangguran terdidik ialah karena ketidaksesuaian kualifikasi yang
diminta oleh dunia kerja dengan lulusan dunia kampus. "Ini lebih kepada
tidak mix and match, antara lulusan kampus dengan permintaan dunia kerja,"
papar Fasli Jalal kepada Republika, Selasa (15/2). Hal ini membuat lulusan
perguruan tinggi kesulitan mencari lowongan kerja yang sesuai. Fasli juga
menambahkan hasil pemetaan dari Kemendiknas menunjukkan beberapa jurusan sudah
jenuh oleh lulusannya. Beberapa diantaranya jurusan manajemen dan hukum.
"Implikasinya kepada lulusan ialah tidak sesuai dengan dunia kerja,"
tuturnya.
Selain itu juga dunia kerja terus bergerak
secara dinamis dan mungkin saja kurikulum kampus tak mampu memenuhi hal
tersebut. "Nah tugas kita ialah terus mengupdate kurikulum, jadi makin
dinamis permintaan lulusan kita juga makin dinamis," ucapnya.
Agar pesantren
ke depan, meminjam bahasanya Prof. Yudian Wahyudi, tidak melakukan “bunuh diri
peradaban”, ia harus meningkatkan sistem pendidikan Islam dengan
kecenderungan masa depan global. Pertama, umat Islam harus mampu
memanfaatkan sarana teknologi sebagai alat perjuangan (jihad)-nya. Artinya,
sarana teknologi perlu dijadikan sebagai alat perjuangan umat Islam dalam
meningkatkan kualitas pendidikan, dan bukan sebaliknya sebagai penghalang bagi
kreativitas berfikir dan berbuat bagi perubahan untuk kemajuan. Kedua,
umat Islam harus secara terus menerus meningkatkan SDM yang berkualitas iptek
dan imtak secara bersamaan, atau peningkatan diri ke arah kekokohan
spiritual, moral dan intelektual. Ketiga, proses modernisasi adalah
sesuatu yang meniscayakan bagi perombakan sistem pendidikan Islam, mulai dari
paradigma, konsep, kerangka kerja dan evaluasi. Artinya, seluruh civitas
akademika pendidikan Islam harus memiliki sense of depelopment
ke arah yang lebih baik, sehingga lembaga pendidikan Islam ke depan akan
menjadi laboratorium masa depan yang harmoni.
Tim peneliti
Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, dalam hasil
penelitiannya, “ Pola Pengembangan Pondok Pesantren” yang diterbitkan tahun
2011, menyatakan bahwa pondok pesantren sesungguhnya belum memiliki kurikulum,
jika yang dimaksud adalah kurikulum sebagaimana yang diterapkan pada lembaga
pendidikan formal. Tetapi jika yang dimaksud dengan kurikulum itu sebagai ‘
manhaj’ (arah pembelajaran tertentu), pondok pesantren melakukannya sejak
pesantren itu ada. Kurikulum atau manhaj yang diterapkan di pondok pesantren
adalah sistem ketuntasan belajar kitab kuning dengan kitab-kitab yang menjadi
rujukan masing-masing pondok pesantren.
F.
Kondisi Real Pesantren Saat Ini
Kondisi inilah
juga yang berlangsung di hampir mayoritas Pondok
Pesantren di Indonesia.
Dikatakan demikian karena sejak pendidikan
pesantren dikenal di masyarakat sampai saat ini belum
menyusun kurikulum baku, melalui mekanisme penyusunan kurikulum standar pendidikan
nasional dan jarang sekali pesantren yang
secara sadar mulai me-redesain kurikulum pendidikannya sesuai kebutuhan dan
tuntutan masyarakatnya. Yang adalah pesantren menyiapkan kurikulum baku,
biasanya mengikuti pengalaman atau latar belakang pendidikan kiai, dan
merekomendasikan kitab-kitab serta pola-pola pendidikan sesuai pengalaman
belajarnya, tanpa melalui analisis SWOT
(Strength, Weaknees, Opportunity, threats).
Menurut
pengamatan penulis, Pondok
Pesantren menghadapi obyek masyarakat
yang hampir sama antara pesantren yang secara geografis berada di pedesaan,
pegunungan, pinggiran pantai maupun perkotaan. Sebab masyarakat pengguna
pesantren cenderung berdatangan dari tempat lain dan bukan penduduk sekitar. Dan
rata-rata masyarakat pesantren adalah masyarakat ekonmi menengah ke bawah
sehingga dapat dibayangkan bagaimana kehidupan sosial masyarakat yang berada
pada garis ekonomi tertentu.
Berdasar
pada analisis inilah maka pesantren memiliki tantangan dan kendala yang hampir
sama satu dengan lainnya, antara lain ; 1) Perbedaan latar belakang
pesantren para pendidik dan pengasuhnya, 2) Rendahnya rata-rata pendidikan
agama masyarakat, 3) Kurangnya tenaga pendidik yang sesuai dengan
kompetensinya, 4) Kurang tersedianya sarana dan prasarana,dan 5) Biaya pendidikan bergantung kepada bayaran
santri.
Perbedaan
latar belakang pendidikan pesantren berdampak pada perbedaan kajian kitabnya
sehingga menyulitkan pesantren menetapkan kitab-kitab apa saja yang akan
digunakan. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan agama
berpengaruh kepada selektifitas penerimaan santri, sehingga pondok pesantren
mengambil kebijakan menerima seluruh calon santri yang mendaftar. Karena kalau
berdasarkan standar seleksi input, maka tidak akan banyak yang bisa diterima,
sementara kuantitas pada sisi lain dibutuhkan untuk eksistensi pendidikan di semua
lini. Artinya, standar penerimaan santri tidak bisa distandarkan dengan Pondok
Modern atau Pondok Salafy yang telah maju.
Ditambah lagi dengan kurangnya kompetensi guru dan kurangnya sarana. Kondisi
itu mendorong dilakukannya inovasi kurikulum, terutama yang terkait dengan
materi pelajaran dan metodenya.
Persoalan
mendasar yang dihadapi Pondok Pesanatren bukan terletak pada perkembangan fisik
dan kuantitas santri dan tenaga pendidiknya, tetapi justru pada
persoalan-persoalan vital pendidikan yang menjadi ruh pesantren, yaitu
bagaimana civitas akademika Pondok Pesantren menstandarkan kualitas pendidikannya
dengan Pondok Modern, bila standar input, standar SDM, standar biaya, standar
waktu, standar pengelolaan dan standar evaluasinya berbeda. Ini artinya, ada
rentang derivasi yang cukup jauh untuk mengahasilkan output atau outcome yang
sama dengan pondok modern yang selama ini menjadi barometer keberhasilan pendidikan
pondok pesantren secara umum.
Terkecuali pengurus
dengan kesatria membuat standar sendiri yang lebih proporsional sesuai dengan
standar input dan pengelolaannya.
Hal lain yang
juga menjadi hambatan dalam pengelolaan pendidikan adalah sulitnya menyatukan
visi dan misi dalam pelaksanaan pendidikan, akibat perbedaan latar belakang
pendidikan para pendidiknya. Sementara
Pondok Modern, telah berhasil merekrut tenaga
pendidik dan tenaga kependidikannya dari alumninya sendiri. Kondisi tersebut
tentu akan sangat berpengaruh kepada penggunaan otoritas pimpinan pondok pada
saat menjalankan kebijakannya. Ada perbedaan psikologis antara menyuruh alumni
sendiri dengan alumni pesantren lain.
Kebijakan
menerima calon santri tanpa seleksipun menjadi persoalan lain yang turut
memperkeruh persoalan pendidikan. Pondok
Modern Gontor misalnya, dengan segala kelebihan dan
kebesarannya melakukan seleksi ketat terhadap calon santri, dengan
syarat-syarat yang terukur. Walaupun demikian, puluhan ribu calon santri
berbondong-bondong antri setiap tahun ingin menimba ilmu disana. Sedangkan di
Pondok Pesantren pada umumnya,
bila melakukan standar seleksi yang sama dengan Pondok Modern Gontor, maka sulit akan mendapatkan
santri, karena, pertama; calon santri yang mendaftar di Pondok Pesantren
biasanaya sisa-sisa orang yang telah mengukur kemampuan dirinya tidak mungkin
diterima di Gontor dan pesantren besar lainnya, kedua; calon santri
rata-rata orang yang kurang mampu secara financial, ketiga; calon santri
kebanyakan orang yang bermasalah dalam rumah tangganya secara akhlak, keempat;
rata-rata calon santri belum bisa menbaca al-Qur’an, kelima; belum
terbangunnya tradisi kepesantrenan yang kuat dan mengakar, yang menyebabkan
seringnya terjadi perubahan-perubahan sistem.
Intinya, Pondok
Psantren sampai saat ini belum menemukan formula pendidikan atau kurikulum
baku, yang berbasis pada landasan filosofis, geografis, domografis, ekonomis,
politis, serta berdasar analisis swot, bila dihubungkan dengan
persoalan-persoalan diatas. Sehingga
dengan semangat falsafah “al-muhafadzatu ala al-qadimi as-shalih wa
al-akhdzu bil jadidi al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil
hal yang baru yang lebih baik), terus berusaha mencari identitas dirinya
dengan terus menerus melakukan evaluasi dan inovasi pada sistem dan pengelolaan
pendidikannya.
G.
Bagaimana Strategi Menghadapi Modernitas
Pimpinan
pondok dan steak holder lainnya perlu membuka ruang
diskusi terhadap perubahan kurikulum dan perlu mengambil langkah-langkah
produktif berbasis analisis swot yang telah dilakukan sebelumnya, misalnya 1)
Meng-inovasi kurikulum beserta seluruh komponen yang menyertainya, 2)
Me-re-strukturisasi kelembangaan, khususnya Direktorat Pendidikan dan
Pengajaran, 3) Melakukan seleksi kembali tenaga pendidik sesuai dengan
kompetensi yang dibutuhkan, 4) Menyiapkan metode pembelajaran baru yang
humanistik, integralistik dan komprehensif berbasis ICT, dengan penerapan pendidikan berbasis masalah (problem
solving), penanaman nilai – nilai religious dan pendidikan keteladanan (behaviouristik)
dengan tetap mempertahankan tradisi yang menjadi ruh dan ciri khas pesantren
yang merujuk kepada al-Qur’an dan hadist.
Secara sederhana
roadmap rencana modernisasi dan inovasi pendidikan dan pengajaran dapat dilakukan sebagaimana gambar berikut
;
Pimpinan
bersama pengurus kemudian dihadapkan pada bagaimana dan apa saja
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk merealisasikannya. Untuk itu
pengurus pondok perlu membentuk
tim yang ditugaskan mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan guna terlaksananya
program modernisasi dan inovasi pendidikan beserta tahapan-tahapan
pelaksanaannya. Langkah – langkah yang
mungkin bisa ditempuh antara lain ; 1) melakukan rekrutmen tenaga pendidik dan
kependidikan yang dibutuhkan sesuai hasil analisis, 2) melakukan seleksi ulang
terhadap tenaga pendidik dan kependidikan yang tidak sesuai kompetensinya, 3)
membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) pada aspek – aspek administrasi, 4)
membuat silabus dan perencanaan pembelajaran, 5) membuat perencanaan evaluasi,
6) membuat budget anggaran, 7) dan lain-lain.
Langkah-langkah
inovasi merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap
warga Negara, termasuk warga pesantren, berkewajiban memberikan kontribusi
dalam mere-desain atau memberikan solusi, guna meningkatkan mutu pendidikan
nasional, sebagaimana amanat Undang-Undang Sisdiknas; “Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan
semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan”.
Apalagi UU
Sisdiknas memberikan peluang melakukan inovasi dan elaborasi terhadap system
pendidikan nasional, sebagaimana dinyatakatan; “Warga negara
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”.
Dan pada pasal berikutnya; “‘Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan
belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan”.
Peluang
melakukan pengembangan, inovasi dan atau re-desain system pendidikan menurut
undang-undang ini, telah ditindaklanjuti oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) dengan menerbitkan buku Panduan Penyelenggaran Sistem Kredit Semester
Untuk Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah. Itu artinya, pintu warga Negara untuk berperan serta
dalam pemberdayaan, pelayanan dan pengendalian mutu pendidikan, sangat terbuka
lebar.
H.
Penutup
Melakukan
inovasi dan modernisasi terhadap manajemen, sistem dan kurikulum pendidikan,
termasuk pesantren adalah sebuah keharusan di tengah persaingan global yang
semakin ketat. Outcome pondok pesantren satu sisi memang harus tetap
mempertahankan kualitas pendidikan keagamaanya, tapi pada sisi lain sudah
semestinya juga memiliki standar kualifikasi yang dibutuhkan oleh pasar kerja,
birokrasi, politisi dan akademisi.
Sejarah
pendidikan Islam klasik telah memberikan contoh kecemerlangan keilmuan Islam
pada masanya. Maka tidak seharusnya para intelektual muslim dan pelaku
pendidikan Islam, terutama pesantren berdiam diri dalam pergulatan modernitas
yang terjadi di depan mata, disaat kita memiliki ruang amat luas untuk membuat
arus baru bagi transpormasi pendidikan yang modern dan islami.
Penulis adalah Dosen Tetap Institut Agama
Islam (IAI) Al-Azhaar Lubuklinggau.
Merangkap beberapa jabatan; Wakil Rektor 1 IAI Al-Azhaar, Pimpinan Pondok
Pesantren Al-Azhaar, Ketua Yayasan Permata Nusantara Al-Azhaar dan Ketua
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Lubuklinggau.